Market

Lawan Diskriminasi Sawit Uni Eropa, Malaysia Ancang-ancang Setop Ekspor

Jumat, 13 Jan 2023 – 10:58 WIB

Seorang pekerja membongkar tandan buah kelapa sawit dari truk di dalam pabrik kelapa sawit di Bahau, Negeri Sembilan, Malaysia, 30 Januari 2019. (Foto: Antara/Reuters).

Malaysia merespons keras undang-undang baru Uni Eropa (UE) yang melarang perdagangan minyak sawit karena dianggap penyebab deforestasi. Negeri jiran itu, bakal setop ekspor minyak sawit.

Menteri Komoditas, Fadillah Yusof pada Kamis (12/1/2023), mengatakan, Malaysia dan Indonesia akan membahas UU Uni Eropa yang melarang perdagangan minyak sawit dan komoditas lain, terkait deforestasi. larangan itu ada pengecualian kepada importir yang bisa menunjukkan bahwa produk yang diperdagangkan, tidak merusak hutan.

“Jika kita perlu melibatkan para ahli dari luar negeri untuk melawan langkah apa pun yang dilakukan UE, kita harus melakukannya,” kata Menteri Fadillah kepada wartawan di sela-sela seminar, Kamis (12/1/2023).

Asal tahu saja, Uni Eropa merupakan salah satu pasar ekspor minyak sawit dari Indonesia maupun Malaysia. Hanya saja, porsinya tidaklah sebesar India atau China. Pada Desember 2022, Uni Eropa telah mensahkan UU yang menyudutkan minyak sawit dari kedua negara tersebut.

Sejumlah aktivis lingkungan sempat menuding industri sawit Indonesia dan Malaysia berkontribusi terhadap rusaknya hutan hujan di Asia Tenggara. Padahal, baik Indonesia maupun Malaysia telah mewajibkan adanya standar sertifikasi keberlanjutan kepada seluruh perkebunan sawit.

Fadillah, yang juga wakil perdana menteri, mendesak anggota Dewan Negara-negara Penghasil Minyak Sawit atau Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) semakin solid untuk melawan UU dari UE yang sangat mendiskreditkan industri sawit.

Jelas-jelas tudingan industri sawit sebagai biang kerok defosrestasi tidak berdasar. Di balik UU ciptaan UE dan Amerika Serikat (AS) ini, kental persaiangan bisnis yang tak sehat. Sebelumnya, CPOPC yang dipimpin oleh Indonesia dan Malaysia, sempat menuduh UE secara tidak adil menargetkan minyak sawit.

Menanggapi pernyataan Menteri Fadilah, Duta Besar UE untuk Malaysia, Michalis Rokas mengatakan, tidak ada larangan impor minyak sawit asal Malaysia. Tidak pula UE menuduh sawit sebagai pemicu deforestasi, sehingga menghambat ekspor Malaysia.

“(Hukum) berlaku sama untuk komoditas yang diproduksi di negara mana pun, termasuk negara anggota UE, dan bertujuan untuk memastikan bahwa produksi komoditas tidak mendorong deforestasi dan degradasi hutan lebih lanjut,” kata Rokas dikutip dari Reuters.

Rokas berharap bisa bertemu dengan Menteri Fadillah guna menjelskan masalah ini. Sehingga bisa meredakan kekhawatiran Malaysia.

Permintaan UE untuk minyak sawit diperkirakan akan menurun secara signifikan selama 10 tahun ke depan, bahkan sebelum undang-undang baru itu disetujui. Pada 2018, arahan energi terbarukan UE mengharuskan penghapusan bahan bakar transportasi berbasis kelapa sawit secara bertahap pada 2030 karena dianggap terkait dengan deforestasi.

Indonesia dan Malaysia telah meluncurkan kasus terpisah dengan WTO, mengatakan langkah bahan bakar diskriminatif dan merupakan hambatan perdagangan.

Pada pekan ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim sepakat untuk memerangi diskriminasi terhadap industri sawit yang getol dilancarkan UE dan AS. Kedua pemimpin ini juga sepakat untuk memperkuat kerja sama melalui CPOPC.

Uni Eropa adalah konsumen minyak sawit terbesar ketiga di dunia, menurut data Dewan Minyak Sawit Malaysia. UE menyumbang 9,4 persen dari ekspor minyak sawit dari Malaysia, mengambil 1,47 juta ton pada 2022, turun 10,5 persen dari tahun sebelumnya.

Back to top button