News

Komnas HAM Bakal Serahkan Hasil Investigasi TPPO di NTT ke Presiden Jokowi

Koordinator Sub Komisi Pemajuan HAM Komnas HAM Anis Hidayah mengatakan, pihaknya sedang berupaya merampungkan hasil investigasi terkait kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Saat rampung nanti, laporan itu akan diserahkan ke Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Kasus TPPO di NTT memang sudah sangatlah parah dengan angka korbannya disinyalir mencapai ribuan orang. Mayoritas dari korban dijual ke negara seperti Malaysia, mereka dieksploitasi dari sisi ekonomi, seksual, hingga ke fisik.

“Ini kita sedang mengkonsolidasi seluruh laporan kita dan segera akan kami sampaikan ke presiden untuk ditindaklanjuti secara lebih serius ke depan,” jelas Anis kepada Inilah.com di gedung Komnas HAM, Jakarta, Senin (5/6/2023).

Anis menilai, instruksi Presiden Jokowi kepada Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM RI Mahfud MD untuk membentuk satuan tugas operasi khusus TPPO sudah baik, namun perlu lebih digalakkan lagi dalam pelaksanaannya di lapangan. Karena tak sedikit yang pulang dalam keadaan tak bernyawa.

“Kalau TPPO di NTT ya ribuan, kemarin saja sepanjang berapa tahun itu saja jenazah sudah mau seribu yang dikirim yang beberapa di antaranya, mereka adalah korban TPPO,” tambahnya.

Ia menjelaskan pada periode 2020-2022, Komnas HAM mencatat sudah ada ribuan korban jiwa yang diduga menjadi korban TPPO, mayoritas kasus berasal dari wilayah NTT. Atas data ini, pihaknya mulai penyelidikan hingga ditemukan beberapa faktor pemicunya.

“Pertama adalah NTT ini memang situasinya sangat darurat TPPO, karena tingkat kerentanan masyarakat menjadi korban TPPO makin meningkat. Karena upaya-upaya pencegahan yang dilakukan pemerintah daerah, baik melalui OPD maupun satgas kelembagaan kurang berjalan,” tutur Anis.

Ia melanjutkan, pemicu kedua disebabkan oleh pola migrasi kultural NTT ke luar negeri yang dianggap sesuai prosedur karena dilakukan turun temurun. Sehingga potensi tak terdatanya warga NTT yang keluar negeri menyeruak dan kondisi ini, menurut Anis, menjadi pintu masuk sindikat TPPO di sana.

“Ketiga adalah dari aspek penegakkan hukum yang masih sangat lemah. Jadi vonis-vonis kasus TPPO di sana itu sangat lemah, banyak juga yang tidak menggunakan undang-undang TPPO tapi menggunakan undang-undang keimigrasian. People smuggling jatuhnya, dan vonisnya lebih ringan dibandingkan undang-undang TPPO,” ucapnya.

Lebih lanjut ia menjelaskan, Komnas HAM bahkan juga menemukan pelaku TPPO yang masuk kategori residivis. Yang bersangkutan, ungkap dia, sudah dua kali tertangkap tapi tetap nekat merekrut warga NTT untuk dijual ke luar negeri.

“Empat adalah penegakkan hukumnya itu ada indikasi imunitas, kejahatan tanpa penghukuman terhadap oknum aparat negara dan korporasi. Karena yang dijatuhi hukuman itu hanya aktor lapangannya seperti calo,” sambung Anis.

Pemicu terakhir yang membuat warga NTT semakin rentan jadi korban TPPO adalah kurangnya program reintegrasi sosial yang tidak berjalan dengan baik. Anis menambahkan, karena kurangnya program tersebut, mereka yang sudah jadi korban TPPO tidak mendapatkan pemberdayaan sehingga keadaan memaksa kembali jadi korban demi mendapatkan pundi-pundi rupiah dengan dijual ke Malaysia, Singapura, dan Hong Kong.

Back to top button