Market

Kisruh Jaminan Hari Tua, Gerindra Desak Permenaker 2/2022 Dicabut

Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Heri Gunawan mendesak Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mencabut Permenaker 2/2022 pemicu kegaduhan.

Dia bilang, Permenaker No 2 Tahun 2022 yang merubah aturan pencairan Jaminan Hari Tua (JHT) BP Jamsostek atau BPJS Ketenagakerjaan, yakni baru bisa dicairkan saat usia 56 tahun, sangat merugikan buruh yang terkena PHK.

Ketua DPP Partai Gerindra ini, mengatakan, JHT memang bukan merupakan Jaminan Hari Muda, namun JHT merupakan akumulasi dana pekerja/buruh yang setiap bulan dipotong dari gaji dengan harapan akan dipergunakan ketika sudah tidak bekerja atau di-PHK.

Politikus yang biasa disapa Hergun melanjutkan, JHT harus diberikan saat pekerja/buruh sudah tidak bekerja lagi. Permenaker yang menahan JHT hingga usia 56 tahun harus dibatalkan. Hak pekerja/buruh tidak boleh disandera.

“Permenaker 2/2022 harus dibatalkan. Uang JHT merupakan uang pekerja/buruh, bukan uang negara. Mereka berhak mengambilnya saat sudah tidak bekerja lagi,” kata Hergun yang juga menjabat sebagai Kapoksi Badan Legislasi DPR, dikutip Kamis (17/2/2021).

Hergun menambahkan, berdasarkan UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) Pasal 35 ayat 2, Jaminan hari tua diselenggarakan dengan tujuan untuk menjamin agar peserta menerima uang tunai apabila memasuki masa pensiun, mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia. “Masa pensiun tidak bisa dimaknai usia pensiun harus 56 tahun. Masa pensiun lebih tepat dimaknai jika pekerja/buruh sudah tidak bekerja lagi. Hal tersebut sejatinya sudah diatur dalam Permenaker 19/2015,” katanya.

Hergun membeberkan Pasal 3 Permenaker 19/2015 menyatakan manfaat JHT bisa diberikan kepada pekerja/buruh yang sudah tidak bekerja lagi baik karena mengundurkan diri, terkena PHK, maupun meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya. “Pasal 5 dan 6 menyatakan manfaat JHT bisa dibayarkan secara tunai dan sekaligus setelah melewati masa tunggu 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal pengunduran diri atau PHK. Namun sayangnya, aturan ini diganti menjadi usia 56 tahun oleh Permenaker 2/2022,” kata Hergun.

Hergun melanjutkan, kehadiran Permenaker 2/2022 bagai petir di siang bolong. Kurang sosialiasi, tiba-tiba Permenaker diumumkan sepihak. Wajar jika mayoritas pekerja/buruh menolaknya. “Perlu diingat, saat ini kita masih dalam kondisi terpapar Covid-19. Dampaknya kemana-mana, antara lain menyebabkan terjadinya PHK dan pengurangan jam kerja secara besar-besaran,” katanya.

Menurut data BPS per Agustus 2020 sebanyak 29,12 juta penduduk usia kerja terdampak Covid-19, baik itu karena di-PHK, dirumahka, atau dikurangi jam kerjanya. Lalu per Agustus 2021, turun menjadi 21,32 juta. “Dengan kondisi yang sudah sedemikian susah, para pekerja/buruh tidak boleh ditambah lagi kesusahannya. Seharusnya pemerintah membuat kebijakan yang meringankan para buruh/pekerja,” ujar Hergun.

“Apalagi sebagian besar pekerja/buruh saat ini merupakan pegawai outsourcing yang mudah direkrut dan juga mudah diberhentikan. Tidak logis, jika diberhentikan saat berusia 30 tahun harus menunggu hingga 26 tahun untuk memperoleh dananya kembali,” lanjutnya.

Iwan Purwantono

Mati dengan kenangan, bukan mimpi
Back to top button