Kanal

Mewujudkan Khaer Ummah – (Bagian 3)

Pada bagian yang lalu dari tulisan ini disampaikan pilar keempat untuk membangun “Khaer Ummah” atau a community of excellence (Umat terbaik). Bahwa Umat ini tidak akan tampil sebagai Umat terbaik (best nation) ketika prilaku, baik pada tataran individu maupun kolektif, tidak terbenahi secara baik.

Khaer Umat itu termaknai salah satunya dengan ketauladanan (Al-Qudwah). Dan esensi Al-Qudwah ini berakar pada karakter atau prilaku yang baik. Atau yang lebih populer dalam agama dengan akhlak yang mulia (Al-Akhlaq Al-karimah). Terlebih lagi jika karakter ini dikaitkan dengan posisi Umat sebagai “pengajak” (da’i) kepada kebenaran dan kebaikan. Jalan terbaik dan terefektif untuk mengajak manusia ke jalan Allah adalah dengan ketauladanan.

Mungkin anda suka

Kelima, bahwa Umat ini harus mampu membawa atau menempatkan diri dalam tatanan dunia yang baru (new world) dan berubah secara konstan (terus menerus) dan secara tidak dikira-kira (unexpected). Tentunya ini menjadikan dunia kita semakin kompleks. Kompleksitas ini mencakup segala lini kehidupan manusia. Dari situasi politik, ekonomi, militer, hingga ke budaya dan agama.

Dalam bidang budaya misalnya terjadi relasi antar budaya yang saling mewarnai dan mempengaruhi (intercultural influence) di antara manusia. Kita melihat misalnya Jepang atau Korea yang pernah sangat ketat dengan kultur warisan mereka kini lebih terkenal dengan K-Pop yang selama ini lebih dikenal sebagai budaya Barat.

Tentu pertanyaan yang kemudian timbul adalah dalam dunia yang deeply interconnected ini di mana Umat memposisikan diri. Para Khatib, penceramah atau ustadz bisa saja menggelegar berapi-api dalam ceramah mengingatkan agar jangan terbawa arus. Jangan terpengaruh dengan budaya asing. Tapi apakah retorika-retorika itu akan terbukti sakti membentengi umat? Wallahu a’lam.

Dunia kita memang adalah dunia yang penuh ketidak pastian. Dengan kemajuan sains dan teknologi, khususnya di bidang informasi dan lebih khusus lagi bidang media sosial menjadikan dunia semakin mengecil. Kita seolah hidup dalam satu rumah kecil yang mungil. Rumah kecil itu kemudian dikotak-kotak menjadi bagian-bagian yang boleh jadi saling menyapa. Atau sebaliknya saling mengganggu dan mengucilkan.

Keadaan ini biasa disebut dengan interdependensi (interdependence) atau intekoneksi (interconnected) antar kelompok manusia dalam dunia (rumah) itu. Koneksi itu bisa saja berwajah dua. Koneksi dengan wajah manis, saling tersenyum, menyapa, saling membantu, bahkan sharing alat-alat perumahan.

Tapi boleh jadi sebaliknya. Koneksi antar manusia dalam rumah itu adalah koneksi dengan wajah buruk dan seram. Saling curiga, membenci, bahkan bermusuhan dan berusaha untuk saling menghancurkan.

Dengan situasi dunia yang demikian, sekali lagi, bagaimana seharusnya Umat menempatkan diri? Jawabannya hanya di dua kemungkinan tadi: menjadi bagian dengan wajah yang manis? Atau menjadi bagian dengan wajah seram dan menakutkan.

Tentu sebagai Umat yang sadar kita diingatkan oleh sebuah ayat dalam Al-qur’an di surah ke 48 (Al-Hujurat) ayat ketiga belas. Ayat ini mengingatkan kita tentang beberapa fakta kehidupan:

Satu, bahwa manusia itu sesungguhnya memiliki keluarga universal yang tunggal. Ini yang saya sebut rumah. Semua diciptakan dari satu lelaki (Adam) dan satu wanita (Hawa). Dan karenanya semua harus sadar bahwa ada ikatan mendasar yang mengikatnya sebagai satu keluarga.

Dua, kenyataan bahwa manusia semua terikat oleh satu keluarga besar, Islam juga mengakui adanya partikukaritas (keunikan-keunikan) pada masing-masing anggota keluarga. Manusia dijadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Bangsa dan suku adalah dua entitas yang populer di masa lalu. Kini tentu menjadi lebih ragam lagi, termasuk dijadikan dengan pendangan dan keyakinan agama yang ragam.

Tiga, keragaman yang merupakan tabiat alami dalam penciptaan Allah, perlu dikelolah dengan kesungguhan dan kehati-hatian. Hal itu karena manusia juga memiliki tendensi egoistik yang sering tak terbendung. Karenanya perlu dikelolah dengan proses “ta’aruf” atau saling belajar. Dengan belajar akan tahu apa dan siapa saja di antara anggota keluarga kemanusiaan itu.

Empat, karena tendensi atau dorongan egoisitk manusia menjadikannya sering “over proud” bahkan arogan dengan particularitasnya. Karakter rasis dan paham rasisme bisa terhinggap kepada siapa saja. Walaupun yang lebih terbuka saat ini adalah kaum putih. Tapi warga hitam atau yang lain juga bisa saja merasa lebih superior dari yang lain.

Perasaan superior ini terjadi tidak saja dalam hal ras atau warna kulit. Bahkan dalam beragama juga sering ada perasaan lebih hebat dari yang lain. Ada kasus Arab merasa lebih beragama karena Rasulullah terlahir di Arab. Lupa kalau Abu Lahab juga ternyata terlahir di daerah yang sama.

Atau sebaliknya karena ada asumsi umum yang terbangun jika manusia Nusantara lebih berakhlak (santun, sopan, ramah, dst) lalu terjadi “over pride” bahkan arogansi kenusantaraan. Terjadilah perasaan lebih hebat dengan klaim Islam Nusantaranya.

Di sìnilah kemudian Islam hadir dengan solusi: “sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di mata Allah adalah yang paling bertakwa”. Dan ketakwaan tidak terdefenisikan dengan apapun, selain iman dan amal. Intinya ada pada hati dan Karakter (karya).

Kesimpulannya Umat harus menentukan posisi dan memainkan peranan untuk ikut menata dunia yang semakin kehilangan orientasi (disoriented World). Umat harusnya tidak saja menjadi bagian. Tapi menjadi leading nation (imaaman linnas) dalam tatanan dunia yang semakin tidak menentu.

Hanya sadar posisi, menempatkan diri secara proporsional, bahkan jadi pemimpin dalam dunia global ini, Islam bisa diklaim sebagai solusi (Al-hallu) bagi ragam permasalahan yang sedang dihadapi oleh dunia saat ini.

Masanya menghentikan klaim-klaim yang cenderung bisa saja dinilai orang lain sebagai retorika kosong…. (Bersambung)…

NYC Subway, 21 September 2022

Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button