News

Kisah 3 Murid Tjokroaminoto yang Punya Nama Besar tapi Beda Haluan

Indonesia memiliki banyak sekali pahlawan yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Salah satunya Haji Omar Said (HOS) Tjokroaminoto.

Tjokroaminoto adalah orator ulung. Pidatonya mampu menyentuh hati untuk menggerakkan massa. Ia juga peracik siasat yang jitu, serta bapak pergerakan nasional yang ulung. 

Mungkin anda suka

Ia juga dikenal sebagai guru pemimpin-pemimpin besar Indonesia. 

Rumahnya di Kampung Peneleh VII, Surabaya pernah menjadi tempat tinggal bagi tokoh-tokoh pergerakan mulai dari Soekarno, Alimin, Muso, Semaoen, Kartosowirjo, hingga Tan Malaka. 

Rumah Tjokroaminoto tak begitu luas. Bagian depan rumah didiami Tjokroaminoto bersama istrinya Soeharsikin serta empat anaknya Oetari, Oetarjo Anwar, Harsono, dan Sujud Ahmad. 

Sementara bagian belakang dibuat kamar-kamar berukuran kecil yang ditepati para tokoh pergerakan.

Kisah Murid Tjokroaminoto: Soekarno, Semaoen, Kartosoewirio

Tjokroaminoto memiliki banyak murid dan selalu mengadakan diskusi di rumahnya. 

Tetapi yang paling menarik adalah kisah Soekarno, Semaoen dan Kartosoewirjo.

Ketiganya merupakan pemimpin besar tetapi memilih jalan berbeda dalam memperjuangkan Indonesia.

Soekarno membentuk Partai Nasional Indonesia, Kartosoewirjo berjuang melalui Darul Islam, sementara Semaoen mendirikan Partai Komunis Indonesia (PKI). 

Berikut kisah Soekarno, Semaoen, Kartosoewirio yang berbeda haluan.

1. Soekarno

murid Tjokroaminoto
Soekarno Belajar Pidato dari HOS Tjokroaminoto (Foto: Net)

Soekarno ‘mondok’ di rumah Tjokroaminoto pada usia 15 tahun

Salah satu pesan Tjokroaminoto yang selalu diingat Soekarno adalah: “Jika kalian ingin menjadi pemimpin besar, menulis lah seperti wartawan, dan bicara lah seperti orator.”

Soekarno memang sangat bersemangat belajar berpidato.

Namun suaranya yang lantang sangat mengganggu kawan-kawannya yang juga tinggal di rumah Tjokroaminoto seperti Muso, Alimin, Kartosoewirjo, dan Darsono. 

Tetapi, Soekarno tetap melanjutkan pidatonya di depan kaca, di dalam kamarnya yang gelap. 

Salah seorang kawan Soekarno di rumah Tjokroaminoto yang tidak pernah bosan memberikan kritik atas pidato-pidatonya adalah Kartosoewirjo. 

Soekarno tidak memperdulikannya. Soekarno mengatakan, ia berlatih pidato untuk persiapan menjadi orang besar.

Soekarno bahkan balik membalas ejekan Kartosoewirjo, dengan mengatakan Kartosoewirjo orang yang kurus, kecil, pendek, keriting, tidak bisa jadi orang besar.

Peristiwa itu terus berulang di rumah Tjokroaminoto, hingga keduanya tumbuh dewasa. 

Impian Soekarno untuk menjadi orang besar terwujud. Meletusnya pemberontakan komunis 1926-1927, membukakan jalan baginya untuk mendirikan partai politik yang bercorak nasionalis.

2. Kartosoewirjo

murid Tjokroaminoto
Kartosoewirjo (Foto: Net)

Kartosoewirjo terus berjuang bersama Tjokroaminoto setelah Soekarno sibuk mendirikan partai politik.

Ia bahkan menjadi sekretaris pribadi Tjokroaminoto, dan memilih Islam sebagai ideologi perjuangannya. 

Buku-buku Marxisme yang dibacanya sama sekali tidak memengaruhinya untuk menjadi merah dan ke kiri-kirian seperti kebanyakan temannya.

Sebaliknya, ideologi Islam yang diperjuangkannya justru semakin kuat. 

Namun, perpecahan muncul antara murid Tjokroaminoto setelah kemerdekaan Indonesia. 

Soekarno yang menjabat presiden dianggap melenceng karena terlalu banyak menerima ideologi mulai dari nasionalis, Marxis, agama hingga komunis. 

Pemberontakan Kartosoewirjo mulai terjadi pada tahun 1949 dan mulai diproklamasikannya Negara Islam Indonesia (NII). 

Gerakan separatis ini bahkan telah tersebar luas di berbagai wilayah seperti Pulau Jawa, Aceh, dan Sulawesi Selatan. 

Pada tahun 1962 akhirnya pemberontakan Kartosoewirjo mampu ditumpas. 

Mirisnya pada saat itu Soekarno sendirilah yang harus menandatangani surat hukuman mati sahabatnya. 

Perizinan tentang hukuman mati itu bahkan sempat tak disentuh Soekarno selama kurang lebih tiga bulan hingga pada akhirnya dia membuang rasa persahabatannya demi profesionalisme dalam mengemban tugasnya. 

Akhirnya pada tanggal 5 September 1962 di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu, Jakarta, Kartosoewirjo harus ditembak mati.

3. Semaoen

murid Tjokroaminoto
Semaoen (Foto: Net)

Semaoen adalah Ketua Partai Komunis Indonesia (PKI) pertama. 

Kemunculannya di panggung politik pergerakan dimulai di usia belia, 14 tahun. Saat itu, tahun 1914, ia bergabung dengan Sarekat Islam (SI) wilayah Surabaya. 

Pertemuannya dengan Henk Sneevliet tokoh komunis asal Belanda pada 1915, membuat Semaoen bergabung dengan Indische Sociaal-Democratische Vereeniging, organisasi sosial demokrat Hindia Belanda (ISDV) cabang Surabaya.

Aktivitasnya yang tinggi dalam dunia pergerakan membuatnya berhenti bekerja perusahaan kereta Belanda

Saat pindah ke Semarang, dia menjadi redaktur surat kabar VSTP berbahasa Melayu, dan Sinar Djawa-Sinar Hindia, koran Sarekat Islam Semarang.

Pada tahun 1918 dia juga menjadi anggota dewan pimpinan di Sarekat Islam (SI). 

Sebagai Ketua SI Semarang, Semaoen banyak terlibat dengan pemogokan buruh. 

Bersama Alimin dan Darsono, Semaoen mewujudkan cita-cita Sneevliet untuk memperbesar dan memperkuat gerakan komunis di Hindia Belanda. 

Sikap dan prinsip komunisme yang dianut Semaoen membuat renggang hubungannya dengan anggota SI lainnya. 

Pada 23 Mei 1920, Semaoen mengganti ISDV menjadi Partai Komunis Hindia. 

Tujuh bulan kemudian, namanya diubah menjadi Partai Komunis Indonesia dan Semaoen sebagai ketuanya.

PKI pada awalnya adalah bagian dari Sarekat Islam, tapi akibat perbedaan paham akhirnya membuat kedua kekuatan besar di SI ini berpisah pada bulan Oktober 1921.

Pada akhir tahun itu juga dia meninggalkan Indonesia untuk pergi ke Moskow, dan Tan Malaka menggantikannya sebagai Ketua Umum. 

Setelah kembali ke Indonesia pada bulan Mei 1922, ia mendapatkan kembali posisi Ketua Umum dan mencoba untuk meraih pengaruhnya kembali di SI tetapi kurang berhasil.

.

.

Baca berita dan artikel menarik lain Inilah.com di Google News.

Back to top button