Hangout

Kesehatan Mental Kian Menggerogoti Kehidupan Kita

Setiap tanggal 10 Oktober diperingati sebagai Hari Kesehatan Mental Dunia. Masalah kesehatan jiwa sering kali terabaikan padahal terjadi peningkatan masalah mental seiring adanya pandemi dan situasi perekonomian yang semakin sulit. Waspadalah karena tingkat depresi dan bunuh diri kian tinggi.

Penanganan masalah kesehatan mental sering kali tertinggal dibandingkan kesehatan tubuh baik di tingkat dunia maupun di Indonesia. Padahal warga yang terkena masalah mental dan gangguan jiwa semakin bertambah akhir-akhir ini dan membutuhkan penangangan segera.

Mungkin anda suka

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, hampir satu miliar orang di seluruh dunia mengalami beberapa bentuk gangguan kesehatan mental. Di tahun 2020, diperkirakan gangguan kecemasan meningkat secara signifikan menjadi 26 persen, dan depresi sebanyak 28 persen akibat pandemi COVID-19.

Sementara di tahun 2019, sebanyak 970 juta orang di seluruh dunia dilaporkan hidup dengan gangguan mental, paling umum yang dialami adalah gangguan kecemasan dan depresi.

WHO mendefinisikan gangguan mental sebagai gangguan secara klinis terkait fungsi kognisi, regulasi emosi, atau perilaku seseorang. Beberapa gangguan mental yang dapat dialami seseorang antara lain gangguan kecemasan, bipolar, depresi, post-traumatic stress disorder (PTSD), schizophrenia, hingga gangguan makan.

Sedangkan di Indonesia, berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, lebih dari 19 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami gangguan mental emosional, dan lebih dari 12 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami depresi. Ini berarti Indonesia belum dapat menyelesaikan masalah kesehatan mental secara tepat.

Angka ini akan meningkatkan lebih banyak lagi mengingat pandemi justru meningkatkan penderita gangguan jiwa. Sementara situasi perekonomian masyarakat yang juga memburuk menyebabkan PHK karyawan dan tutupnya sektor usaha, maupun kesulitan mendapatkan penghasilan bisa memperburuk kondisi kesehatan mental masyarakat.

Kala risiko fisik pandemi menjadi lebih baik berkat kemajuan vaksin, tapi kegelapan mental dari krisis akan lebih sulit diatasi.

“Aspek fisik pandemi benar-benar terlihat. Namun kami tidak memiliki vaksin untuk kesehatan mental seperti yang kami lakukan untuk kesehatan fisik kami,” kata Lisa Carlson, mantan presiden Asosiasi Kesehatan Masyarakat Amerika dan administrator eksekutif di Sekolah Kedokteran Universitas Emory di Atlanta.

Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kementerian Kesehatan dr. Maxi Rein Rondonuwu masyarakat dua tahun terakhir berusaha mengendalikan penyebaran virus COVID-19. Namun, di sisi lain telah menyebar perasaan kecemasan, ketakutan, tekanan mental akibat dari isolasi, pembatasan jarak fisik dan hubungan sosial, serta ketidak pastian.

“Hal-hal tersebut tentu berdampak terhadap terjadinya peningkatan masalah dan gangguan kesehatan jiwa di masyarakat,” katanya.

Peningkatan masalah gangguan kesehatan jiwa ini tentu harus menjadi perhatian di Indonesia apalagi angkanya terus bertambah. Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Dr. Celestinus Eigya Munthe menjelaskan masalah kesehatan jiwa di Indonesia terkait dengan tingginya prevalensi orang dengan gangguan jiwa.

Untuk saat ini Indonesia memiliki prevalensi orang dengan gangguan jiwa sekitar satu dari lima penduduk, artinya sekitar 20 persen populasi di Indonesia itu mempunyai potensi-potensi masalah gangguan jiwa.

“Ini masalah yang sangat tinggi karena 20 persen dari 250 juta jiwa secara keseluruhan potensial mengalami masalah kesehatan jiwa,” kata Dr. Celestinus

Dalam sebuah survei, di lima bulan awal pandemi COVID-19 terungkap, satu dari lima orang di Indonesia usia 15 sampai 29 tahun terpikir untuk mengakhiri hidup. Kemudian dalam survei yang berbeda, 1 tahun pascapandemi terungkap dua dari lima orang memikirkan untuk bunuh diri. Dan di tahun awal 2022 itu sekitar satu dari dua orang memikirkan untuk mengakhiri hidup.

Dasar dari Kesejahteraan

Kesehatan mental adalah dasar dari kesejahteraan setiap orang yang memungkinkan untuk berperan dalam kehidupan sehari-hari, merasa percaya diri, dan siap menghadapi tantangan. Orang dengan kesehatan mental yang baik biasanya percaya diri, serta sangat mensyukuri keberadaannya dan menikmati hidup.

Mereka juga tidak terganggu oleh perasaan negatif seperti cemas, depresi, marah, tidak bahagia, benci, dan cemburu. Atau perasaan tidak nyaman yang bertahan lama dan berlangsung terus-menerus.

Warga yang sehat secara mental juga dapat menemukan makna dan tujuan dalam hidup dan mampu mengatasi berbagai persoalan. Bagi mereka, segala sesuatu selalu dapat dikendalikan, lingkungan adalah saluran untuk mengekspresikan potensi mereka secara penuh.

Banyak faktor yang berpengaruh terhadap kesehatan mental seperti faktor genetik, perubahan hormon, hingga pengalaman traumatis, percintaan, pertemanan, keluarga maupun tekanan hidup. Gejala yang timbul yaitu mudah marah, merasa putus asa, rendah diri, merasa cemas dan khawatir yang berlebihan. Kesadaran akan kesehatan mental perlu disadari setiap individu untuk mencegah berbagai dampak negatif yang terjadi.

Tantangan Isu Kesehatan Mental

Ada beberapa tantangan tentang masalah kesehatan mental di Indonesia. Yang mudah terlihat adalah masih rendahnya pemahaman mengenai kesehatan mental. Minimnya pengetahuan tentang kesehatan mental membuat penilaian masyarakat terhadap pengidap gangguan kesehatan mental menjadi negatif. Akibatnya, terjadi salah penanganan terhadap penderita kesehatan mental.

Tak heran muncul stigma atau nilai buruk yang diberikan kepada pengidap kesehatan mental. Labelling, pengucilan, dan stereotip terhadap pengidap gangguan kesehatan mental membuat orang yang menderita gangguan mental memilih bungkam atau tidak berkonsultasi kepada ahli.

Keterbatasan pemahaman dan pengetahuan mengenai kesehatan mental di Indonesia tidak terlepas dari nilai-nilai tradisi budaya atau kepercayaan masyarakat. Sebagian masih mempercayai penyebab kesehatan mental berasal dari hal-hal supernatural atau takhayul sehingga pengidap gangguan kesehatan mental menganggapnya sebagai aib. Akibatnya, mereka tak mau diobati bahkan merasa malu untuk berada di masyarakat.

Kesadaran masyarakat yang rendah tidak jarang mengakibatkan munculnya diskriminasi terhadap pengidap gangguan kesehatan mental. Bentuk diskriminasi tersebut dapat berupa perlakuan kasar, penghinaan, maupun perundungan. Tak jarang pula masyarakat menjauhi pengidap gangguan kesehatan mental serta keluarganya.

Tantangan lainnya adalah terbatasnya akses terhadap pemulihan kesehatan mental di Indonesia. Anggaran pemerintah untuk kesehatan mental, kapasitas rumah sakit jiwa, serta bangsal psikiatri di rumah sakit umum masih belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia. Di Indonesia, ada delapan provinsi yang tidak memiliki rumah sakit jiwa dan tiga provinsi tidak memiliki seorang pun psikiater.

Selain terbatasnya sarana prasarana, masalah sumber daya manusia profesional untuk tenaga kesehatan jiwa juga masih sangat kurang. Jumlah psikiater sebagai tenaga profesional untuk pelayanan kesehatan jiwa kita hanya mempunyai 1.053 orang. Artinya, satu psikiater melayani sekitar 250 ribu penduduk. Ini merupakan suatu beban yang sangat besar dalam upaya meningkatkan layanan kesehatan jiwa di Indonesia.

Dunia termasuk Indonesia memiliki sejumlah masalah kesehatan mental yang selama ini tidak ditangani dengan benar. Padahal investasi untuk kesehatan mental adalah investasi untuk kehidupan dan masa depan yang lebih baik untuk semua. Yang bisa kita lakukan saat ini adalah selalu menjaga kesehatan mental dengan mengelola stress secara baik, menciptakan suasana yang aman dan nyaman bagi seluruh anggota keluarga.

Back to top button