Market

Kerugian Ekonomi Gara-gara Peredaran Produk Palsu Capai Rp291 Triliun

Secara nominal, kerugian ekonomi yang disebabkan oleh peredaran produk palsu mencapai lebih dari Rp291 triliun. Angka tersebut belum termasuk kerugian atas pajak sebesar Rp967 miliar serta lebih dari 2 juta kesempatan kerja.

Demikian terungkap dalam diskusi virtual yang diselenggarakan oleh Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) pada Selasa (21/12/2021). Diskusi tersebut mengambil topik tentang “Upaya Perlindungan Kekayaan Intelektual melalui Sosialisasi Hasil Studi Dampak Pemalsuan Terhadap Perekonomian Indonesia Tahun 2020”.

Hasil studi tersebut diperbaharui oleh MIAP yang bekerjasama dengan Institute for Economic Analysis of Law & Policy Universitas Pelita Harapan (IEALP UPH).

MIAP Executive Director Justisiari P. Kusumah mengatakan, upaya-upaya perlindungan kekayaan intelektual secara berkesinambungan dilakukan oleh seluruh pemangku kepentingan kekayaan intelektual.

Berbagai upaya perlindungan dijalankan baik melalui peraturan dan kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah maupun pelaku usaha dalam melindungi produknya dari praktik-praktik pemalsuan alias pembajakan.

“Begitu juga masyarakat umum yang memahami kerugian yang disebabkan apabila  menggunakan produk palsu atau ilegal,” kata Justisiari.

Dia menegaskan, seluruh upaya yang telah dilakukan oleh para pemangku kepentingan kekayaan intelektual patut diapresiasi. Penghargaan itu sebagai langkah konkret dalam menegakkan perlindungan terhadap kekayaan intelektual.

“Hal tersebut yang terus mendorong semangat positif dalam upaya berkelanjutan penegakan perlindungan kekayaan intelektual di Indonesia,” tambah Justisiari.

MIAP secara berkala melakukan Studi Dampak Pemalsuan Terhadap Perekonomian di Indonesia 5 (lima) tahun sekali. Sejak tahun 2005, MIAP melakukan studi dampak pemalsuan terhadap perekonomian Indonesia.

Hal ini sebagai salah satu upaya memahami bagaimana kecenderungan praktik-praktik pelanggaran kekayaan intelektual di Indonesia dan dampaknya terhadap perekonomian.

“Melalui studi ini kami berharap dapat memberikan manfaat dan gambaran bagi para pelaku usaha atau industri secara luas. Sekaligus juga, dapat menjadi masukan untuk menstimulasi langkah-langkah perbaikan dari semua pemangku kepentingan untuk terus bekerja sama menghadirkan ekosistem yang lebih aman bagi masyarakat,” ungkap Sekretaris Jenderal MIAP Yanne Sukmadewi.

Hasil Studi Dampak Pemalsuan Terhadap Perekonomian di Indonesia Tahun 2020 menjadi pembaharuan studi yang dilakukan oleh MIAP secara berkala.

Melalui kerjasama dengan Institute for Economic Analysis of Law & Policy – Universitas Pelita Harapan (IEALP UPH), studi ini mencakup 8 (delapan) komoditi, yaitu: produk farmasi, kosmetik, barang dari kulit, pakaian, makanan dan minuman, pelumas dan suku cadang otomotif, catridge, dan software di beberapa kota besar di Indonesia.

“Menyikapi kondisi pandemi dan kemudahan mobilisasi, lebih kurang 500 responden diperoleh untuk mengisi kuesioner yang disiapkan di Jakarta dan Surabaya, serta beberapa kota lainnya,” tutur Henry Soelistyo Budi, perwakilan IEALP UPH.

“Selain data dari hasil kuesioner tersebut, kami juga menggunakan data input-output tahun 2010 Badan Pusat Statistik sebagai rujukan,” tambah Henry.

Berdasarkan hasil rekapitulasi olah data, studi ini menemukan software masih menempati urutan tertinggi rentan dipalsukan hingga 84,25%, diikuti oleh kosmetik 50%, produk farmasi 40%, pakaian dan barang dari kulit sebesar masing-masing 38%, makanan dan minuman 20%, serta pelumas dan suku cadang otomotif sebesar 15%. Data pemalsuan ini menunjukkan seberapa besar kecenderungan permintaan terhadap produk palsu/ilegal di pasar.

Yanne Sukmadewi, Sekretaris Jenderal MIAP mengatakan, melalui update tersebut, MIAP mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk tidak menyerah dalam setiap upaya yang dilakukan dalam memberantas pemalsuan.

“Sebab, hingga saat ini baik pemerintah maupun pelaku usaha telah bahu-membahu mengurangi dampak yang disebabkan oleh pelanggaran terhadap kekayaan intelektual termasuk peredaran barang palsu melalui tugas dan fungsinya masing-masing,” lanjut Yanne.

Sejauh ini, pemerintah telah berupaya secara serius dan terus menerus melakukan tindakan dan menyusun kebijakan untuk memberantas produksi dan peredaran produk palsu. Dari segi regulasi, pemerintah dan DPR RI telah menyusun Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis untuk menggantikan Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek.

Demikian juga penggantian Peraturan Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2012 dengan Peraturan Mahkamah Agung No. 6 Tahun 2019 tentang Perintah Penangguhan Sementara (PERMA). Substansi Perma ini menjadi salah satu instrumen operasional di samping Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2017 tentang Pengendalian Impor atau Ekspor Barang yang Diduga Merupakan atau Berasal dari Hasil Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual.

Dari segi operasional, Peraturan Pemerintah Tahun 2017 ini telah ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Keuangan sebagai landasan pelaksanaan tugas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mencegah peredaran barang palsu melalui kepabeanan.

MIAP Executive Director Justisiari P Kusumah mengatakan, seluruh kebijakan dan peraturan yang disusun oleh pemerintah tersebut merupakan hasil pemahaman terhadap pola atau praktik-praktik pemalsuan yang seolah-olah berpacu dengan begitu cepatnya perubahan pola atau praktik-praktik pemalsuan yang saat ini terjadi.

“Untuk itulah mengapa upaya perlindungan kekayaan intelektual harus terus ditegakkan dengan partisipasi seluruh pemangku kepentingan kekayaan intelektual,” pungkas Justisiari.

Back to top button