News

Kepala Paramiliter Rusia Wagner Peringatkan ‘Tragedi’ Bila Ukraina Lakukan Serangan Balik

Kepala kelompok tentara bayaran Rusia, Wagner, Yevgeny Prigozhin, pada Ahad (30/4) memperingatkan bahwa serangan balasan Ukraina dapat berubah menjadi “tragedi” bagi Rusia.  Prigozhin juga mengeluh bahwa para personelnya di lapangan mengalami kekurangan amunisi.

Sebagaimana diketahui, selama berbulan-bulan kelompok Wagner telah mempelopori serangan Rusia di Bakhmut, kota timur Ukraina, menjadi kekuatan utama Rusia di pusat pertempuran.

Prigozhin adalah sekutu utama Presiden Vladimir Putin. Tetapi sebagai kepala kelompok militer swasta, ia telah terlibat dalam perebutan kekuasaan dengan Kementerian Pertahanan Rusia.

“Kami (Wagner) hanya memiliki 10-15 persen dari peluru yang kami butuhkan,” kata Prigozhin, sambil menyalahkan pimpinan tentara Rusia. Keluhan itu ia sampaikan dalam sebuah wawancara dengan koresponden perang Rusia, pro-Kremlin, Semyon Pegov.

Prigozhin mengatakan dia memprediksi serangan balik Ukraina akan datang pada pertengahan Mei. “Serangan balasan ini bisa menjadi tragedi bagi negara kita,” katanya.

Pihak Ukraina mengatakan baru-baru ini, bahwa mereka sedang menyelesaikan persiapan untuk serangan balasan yang telah lama diharapkan.

Pada hari yang sama, gubernur wilayah Bryansk barat Rusia mengatakan Ukraina telah menembaki sebuah desa perbatasan, menewaskan empat orang dan melukai dua lainnya. Sehari sebelumnya, sebuah drone menghantam depot bahan bakar di Crimea yang dianeksasi Moskow dan menyebabkan kebakaran besar di depot bahan bakar itu.

Para personel Wagner Group tidak sedang ‘baik-baik saja’ dalam perang Ukraina-Rusia. Meski kelompok tentara bayaran yang berperang di Ukraina itu tak pernah merilis korban jiwa di pihaknya, kuburan personel mereka yang tewas tersebar di banyak tempat.

The Moscow Times akhir pekan lalu memberitakan tujuh kuburan tentara bayaran Wagner Group ditemukan di wilayah terpencil Rusia dan wilayah Ukraina yang diduduki.

Berbeda dengan kuburan personel miltier Rusia, tempat peristirahatan terakhir tentara bayaran Wagner Group mudah dikenali karena berupa timbunan tanah ditutupi pohon cemara hijau, dua karangan bunga; satu dengan bendera Rusia dan lainnya warna merah-kuning plus simbol Wagner Group. Setiap kuburan, selain ditandai salib kayu, terdapat tulisan; ‘Darah, Kehormatan, Ibu Pertiwi, Keberanian; PMC Wagner.’

Penemuan tujuh kuburan massal tentara Wagner Group cukup untuk menjelaskan terjadinya peningkatan jumlah korban tewas yang diderita di Ukraina selama perang yang memasuki bulan ke-15. Meski tidak ada angka resmi berapa jumlah personel Wagner Group yang tewas, analis memperkirakan ribuan tentara bayaran tewas dalam pertempuran di Bakhmut. Februari lalu pejabat AS mengklaim 30 ribu personel Wagner Group terluka dan terbunuh.

Menariknya, kuburan personel Wagner Group terletak jauh dari garis depan. Salah satunya di Irkutsk, Siberia. Lainnya di Luhansk, kota di Ukraina timur yang diduduki Rusia.

Yevgeny Prigozhin, CEO dan pendiri Wagner Group, secara terbuka mengakui kuburan-kuburan itu. Beberapa kuburan Wagner Group lainnya ditemukan jurnalis, aktivis, dan penduduk setempat.

The Moscow Times, mengutip sejumlah sumber, menulis kebanyakan personel Wagner Group adalah para penjahat yang direkrut dari penjara tahun lalu. Perekrutan terjadi ketika jumlah personel Wagner Group di medan tempur menipis.

Mereka yang direkrut hanya diberi pelatihan militer singkat, dan diterjunkan ke Bakhmut sebagai umpah meriam. Akibatnya, medan tempur Bakhmut dikenal sebagai penggilingan daging.

Jurnalis independen Rusia secara total mendokumentasikan lebih 1.000 kuburan personel Wagner Group. Pada 14 April, BBC Rusia dan outlet media independen Mediazona menginformasikan kematian 1.112 personel Wagner Group. Keduanya juga menginformasikan kematian 3.080 narapidana yang direkrut Wagner Group dan milliter Rusia. Wagner Group, menurut Olga Romanova dari kelompok hak asasi narapidana Rusia Behind Bars, diyakini merekrut 30 ribu tayanan dan semuanya terbunuh di Ukraina. [Al-Arabiya/The Moscow Times/BBC Rusia]

Back to top button