Hangout

Kenapa Makanan Jawa dan Jogja Cenderung Manis? Ternyata Ada Jejak Sejarahnya

Ditulis oleh: Kanty Atmodjo

Kuliner Indonesia dikenal kaya akan variasi rasa dan aroma yang memikat lidah, dan tiap daerah memiliki keunikan makanan tersendiri. 

Mungkin anda suka

Salah satu ciri khas kuliner Jawa (termasuk Yogyakarta atau Jogja) yang memukau adalah kecenderungan rasa manis yang terasa lebih kuat dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. 

Dan di balik fenomena makanan Jawa yang dominan manis, ternyata terdapat jejak sejarah dan kearifan budaya yang turut membentuk identitas kuliner khas Jawa.

Mengutip dari sejumlah sumber, Guru Besar Ilmu Budaya di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Prof Bani Sudardi mengungkapkan, masyarakat Jawa terbagi menjadi tiga golongan besar, yakni orang Jawa di sekitar keratonan yang berada di Solo dan Yogyakarta, orang Jawa Banyumasan, dan orang Jawa Brangwetan atau di Jawa Timur.

Namun menurutnya, di Pulau Jawa didominasi masyarakat Jawa yang dekat dengan keraton. Dan mereka inilah yang menyukai kuliner dengan rasa manis.

Mereka suka memakan dan memasak makanan manis lantaran rasa manis memiliki filosofi bagi masyarakat Jawa Keraton sebagai simbol kenikmatan.

Selain itu, cita rasa manis sudah terjadi secara turun-temurun dari Zaman Majapahit. Kesukaan masyarakat Jawa terhadap cita rasa manis juga terjadi karena kondisi alam di Pulau Jawa, di mana dahulu wilayah Pulau Jawa melimpah akan pohon kelapa.

Karena itulah, masyarakat setempat memanfaatkan pohon tersebut dengan berbagai inovasi. Mereka terbiasa membuat gula kelapa (gula Jawa) yang menciptakan rasa manis. 

Pewarisan Sejarah Panjang: Perdagangan dan Kedatangan Bangsa Asing 

Sejarah kuliner Jawa menyimpan cerita panjang tentang perdagangan dan pertukaran budaya yang telah membentuk keberagaman rasa makanan di pulau ini. 

Pada masa lampau, Jawa telah menjadi bagian dari jalur perdagangan rempah-rempah yang sangat penting. Pulau ini menjadi tempat bertemunya para pedagang dari berbagai belahan dunia, termasuk Tiongkok, India, dan Arab.

Salah satu komoditas perdagangan yang menjadi sangat berharga adalah gula. Sejak abad ke-8 hingga ke-14, Jawa telah menjadi produsen dan eksportir utama gula di Asia Tenggara.

Gula Jawa, yang diproduksi dari tebu yang tumbuh subur di tanah Jawa, sangat dihargai dan menjadi daya tarik bagi pedagang dari berbagai bangsa. 

Pengaruh dari budaya-budaya asing ini tak hanya membawa rempah-rempah dan bahan makanan eksotis, tetapi juga penggunaan gula sebagai bumbu makanan.

Penggunaan gula dalam berbagai hidangan, seperti gudeg, serabi, klepon, dan beberapa kue tradisional Jawa lainnya, menjadi bukti nyata bagaimana sejarah telah menyuntikkan rasa manis ke dalam kuliner Jawa. 

Kehadiran gula dalam masakan Jawa membawa perubahan signifikan dalam preferensi rasa masyarakat setempat, menggabungkan cita rasa lokal dengan sentuhan manis dari budaya asing.

Tanam Paksa Zaman Penjajahan

Dikutip dari buku bertajuk Antropologi Kuliner Nusantara: Ekonomi, Politik, dan Sejarah di Belakang Bumbu Makanan Nusantara, Pulau Jawa pada masa penjajahan Belanda atau sekitar 1830 mendapatkan banyak suplai gula. Hal itu terjadi karena sistem tanam paksa yang diterapkan pemerintah Hindia Belanda.

Kala itu pemerintah Belanda mewajibkan petani di Jawa menanam tanaman komoditas ekspor seperti tebu, kopi, dan teh.

Para petani di kawasan Jawa Tengah hingga Jawa Timur dipaksa menanam tebu karena kondisi lahan yang sangat ideal untuk menanam tanaman penghasil gula tersebut.

Sistem tanam pakasa itu pun berlangsung sekitar Sembilan tahun dan berdampak pada 70% lahan pertanian yang disulap menjadi perkebunan tebu.

Pada perkembangan selanjutnya, muncul ratusan pabrik gula di Jawa Tengah dan Timur. Hingga kemudian pada sekitar 1830-1870 terjadi krisis pangan yang menyengsarakan kehidupan masyarakat pribumi di Pulau Jawa.

Mereka pun bertahan hidup dengan mengolah tebu menjadi bahan baku aneka makanan. Hal inilah yang membuat orang Jawa pada umumnya akrab dengan cita rasa makanan manis, bahkan hingga sampai saat ini.

Dari sekian banyak daerah di Pulau Jawa, kawasan Solo dan Jogja menjadi yang paling akrab dengan cita rasa makanan manis.

Itu karena salah satunya dipengaruhi oleh produksi gula yang terus berlanjut atas Kerjasama pihak Belanda dengan pecahan Kerajaan Mataram Islam, Keraton Surakarta Hadiningrat, dan Kasultanan Ngayohjokarto Hadiningrat.

Produksi gula yang terus dilakukan membuat keraton mendapat keuntungan berlipat. Cita rasa makanan manis itu diperkenalkan melalui Keraton Solo dan Jogja pada para tamu yang datang.

Olahan makanan di dua kota kembar itu pun himpir mirip, karena berakar dari kerajaan yang sama. Pada akhirnya, cita rasa makanan Solo dan Jogja yang manis pun terkenal ke pelosok negeri.

Kearifan Budaya: Simbol Keharmonisan dan Kebahagiaan

Selain pengaruh sejarah, kearifan budaya Jawa juga berperan dalam menciptakan hidangan manis. Dalam masyarakat Jawa, makanan yang manis memiliki makna yang lebih dalam daripada sekadar rasa.

Manis sering kali dihubungkan dengan suasana kebahagiaan, harmoni, dan kerukunan.

Momen-momen penting dalam kehidupan seperti upacara adat, pernikahan, atau perayaan tradisional sering dirayakan dengan hidangan manis sebagai simbol kegembiraan dan keberkahan. 

Makanan-makanan manis ini tidak hanya memanjakan lidah, tetapi juga memberikan arti filosofis yang mengajak orang untuk menghargai dan mensyukuri setiap peristiwa bahagia dalam kehidupan.

Konsep “tembang sekar” yang sering digunakan dalam puisi Jawa, juga merefleksikan pandangan tentang keindahan yang dihubungkan dengan manisnya gula.

Dalam puisi-puisi Jawa, rasa manis menjadi kiasan bagi keindahan, kelembutan, dan kasih sayang yang ada dalam hubungan sosial dan alam semesta. 

Melalui tradisi lisan dan sastra, pandangan tentang manisnya kehidupan dan keharmonisan dalam hidup tercermin dalam kue-kue tradisional Jawa, mencerminkan kearifan budaya yang mendalam.

Kesinambungan Tradisi dalam Era Modern

Meskipun zaman terus berubah, nilai-nilai budaya dalam kuliner Jawa tetap dijaga dan diwariskan secara turun-temurun.

Para pengrajin kuliner di Jawa menjunjung tinggi keaslian tradisi dalam setiap hidangan yang mereka sajikan. 

Dan meskipun penyesuaian dan inovasi terjadi, rasa manis tetap menjadi elemen tak terpisahkan dari identitas kuliner Jawa yang khas.

Dapat disimpulkan, rasa manis yang kuat dalam panganan tradisional Jawa tidak lepas dari sejarah panjang perdagangan dan pertukaran budaya di pulau Jawa.

Selain itu, kearifan budaya yang mengaitkan manis dengan makna yang mendalam dan ketersediaan bahan-bahan lokal yang manis turut memengaruhi kreasi kuliner Jawa. 

Dalam era modern, keunikan kuliner Jawa ini tetap menjadi bagian penting dalam melestarikan warisan budaya dan kekayaan rasa Indonesia yang tiada duanya.

Disclaimer: Kanal Penulis Lepas disediakan untuk tujuan informasi umum dan hiburan. Isi dari blog ini hanya mencerminkan pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Inilah.com.

Back to top button