News

Kekacauan COVID-19 di China, Menyebar ke Hong Kong

Setelah protes yang luas, China melakukan perubahan besar pada kebijakan nol-COVID. Pembatasan perbatasan dilonggarkan secara signifikan. Warga China pun dapat bepergian ke luar negeri dengan lebih mudah, sementara negara lain malah cemas.

China tiba-tiba mencabut banyak pembatasan COVID-19 di tengah penyebaran virus corona yang sekarang menyebar tidak terkendali di negara berpenduduk 1,4 miliar jiwa itu. Namun, statistik resmi China mengumumkan hanya sekitar 5.500 kasus lokal baru per hari.

Beberapa ahli asing sulit mempercayai data tersebut dan memperkirakan jumlah kasus bisa mencapai satu juta per hari bulan ini. Data pemerintah ini memicu keraguan di antara pakar kesehatan dan warga. Angka tersebut tidak konsisten dengan pengalaman negara-negara yang jauh lebih sedikit penduduknya setelah dibuka kembali pembatasan COVID.

Mengutip Reuters, dokter mengatakan rumah sakit kewalahan dengan pasien lima sampai enam kali lebih banyak dari biasanya, kebanyakan dari mereka sudah lanjut usia. Pakar kesehatan internasional memperkirakan jutaan infeksi setiap hari dan memprediksi setidaknya 1 juta kematian akibat COVID-19 di China tahun depan.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menekankan pentingnya transparansi, menyerukan perlunya gambaran yang lebih realistis pada pertemuan dengan para ahli China. Data lebih lanjut belum diumumkan. Minimnya informasi menyebabkan berbagai negara memberlakukan pembatasan terhadap turis China yang masuk.

AS dan Inggris adalah beberapa negara yang secara khusus mewajibkan wisatawan China untuk menunjukkan hasil tes COVID-19 negatif pra-keberangkatan. Sementara pengujian wajib dilakukan setibanya di Italia, setelah hampir setengah dari penumpang pada dua penerbangan dari China ke Milan dinyatakan positif pada akhir Desember.

Tetangga paling terdampak

Kebijakan pelonggaran pembatasan COVID-19 ini jelas akan sangat berdampak pada tetangganya. Hong Kong memiliki sembilan penyeberangan darat utama dan dulu memiliki ratusan penerbangan ke China sebelum pandemi.

Hanya saja Pemerintahan Hong Kong, mengutip Channel News Asia, memiliki pandangan yang berbeda dengan warganya tentang perubahan kebijakan China. Pemerintah Hong Kong telah memperjuangkan hubungan yang lebih baik dengan China selama berbulan-bulan dengan alasan kepentingan ekonominya. Sektor komersial dan pariwisata juga menerima langkah tersebut karena ekonomi kota sangat bergantung pada investasi dan turis China.

Hong Kong juga telah melonggarkan pembatasan perjalanan, terutama menghapus sistem ‘0+3’ di mana pelancong tidak diizinkan masuk ke ‘tempat berisiko tinggi’ seperti restoran, pub, dan taman hiburan pada tiga hari pertama kedatangan.

Hal ini sedikit berbeda dengan sikap masyarakat umum. Warga menilai saat ini waktunya tidak tepat mengingat kondisi China sedang kacau gara-gara lonjakan kasus COVID-19.

“Penduduk Hong Kong khawatir bahwa sejarah akan terulang kembali ketika orang China diizinkan bepergian ke Hong Kong dengan bebas, menyebabkan terbatasnya ketersediaan obat dan vaksin untuk memerangi potensi wabah,” ungkap Channel News Asia.

Saat ini saja, Hong Kong telah menghadapi kekurangan obat penghilang rasa sakit Panadol berbasis parasetamol sejak Desember setelah kasus COVID di China meningkat pesat. Beberapa apoteker mengatakan bahwa obat itu dibawa dan dikirim ke China daratan. Yang pasti saat ini jarang terlihat di apotek lokal. Dengan pasokan terbatas, sebungkus obat itu bisa berharga ratusan dolar Hong Kong.

Hal ini mengingatkan banyak warga Hong Kong pada krisis susu bubuk bayi tahun 2013, ketika permintaan China meningkat terhadap susu bubuk asing menciptakan pasar untuk impor paralel dari Hong Kong. Meskipun wisatawan yang keluar dibatasi hanya boleh membawa dua kaleng susu bubuk per kunjungan, para orang tua di Hong Kong masih harus menghadapi kesulitan mendapatkan susu bubuk bayi selama berbulan-bulan.

Reaksi Jepang

Merespons perubahan perbatasan China, pemerintah Jepang pun bergerak cepat. Ketika pemerintah Jepang mengumumkan pembatasan COVID-19 terhadap turis China, aturan yang sama juga diberlakukan pada pelancong Hong Kong. Akibatnya ratusan ribu orang yang telah merencanakan perjalanan Jepang menjadi kecewa. Selain itu Jepang memutuskan tidak ada lagi penerbangan langsung ke kota-kota di luar Tokyo, Osaka, dan Nagoya.

Pemerintah Jepang kemudian melonggarkan langkah-langkah tersebut setelah mendapat protes dari pemerintah Hong Kong. Hanya satu hari setelah pengumuman awal, Jepang kemudian mengizinkan penerbangan Hong Kong untuk mendarat di tiga bandara lagi, tetapi maskapai harus memastikan tidak ada pelancong asal China tujuh hari sebelum perjalanan.

Aturan baru juga memaksa beberapa penerbangan dibatalkan dan banyak perjalanan dijadwal ulang. Seorang pelancong mengungkapkan, perjalanan delapan harinya ke Sapporo yang dia pesan dipersingkat menjadi tiga hari.

Jepang adalah tujuan perjalanan paling populer bagi warga Hong Kong. Sebagian besar penerbangan dari Hong Kong penuh setelah melonggarkan tindakan karantina untuk pelancong yang datang pada Oktober 2022. Menurut Organisasi Pariwisata Nasional Jepang, 83.000 warga Hong Kong melakukan perjalanan ke Jepang pada November 2022, dua kali lipat dari bulan sebelumnya, meskipun masih 40 persen dari angka pra-pandemi November 2019.

Tetapi ketidakpuasan warga Hong Kong tidak ditujukan ke Jepang, melainkan ke China karena kebijakan pelonggaraan perbatasan ini waktunya tiba-tiba dan tidak tepat. Warga Hong Kong telah menyaksikan ketidakpercayaan negara-negara asing terhadap China dan membuat posisinya lebih sulit.

Untuk menyelamatkan kota dari resesi, pemerintah Hong Kong mengandalkan koneksi China untuk mendatangkan turis dan modal yang sangat dibutuhkan. Tetapi waktu pembukaan kembali yang tidak tepat telah meninggalkan luka di hati banyak warga Hong Kong dan mungkin membutuhkan waktu lama untuk sembuh.

Back to top button