News

Kasus Ibu WF, Nafkah Anak Berujung Pidana dan Tersangka oleh Mantan Suami

(Ilustrasi: Istimewa)

Seorang ibu dua anak (WF) sedang berjuang melawan ketidakadilan atas tuduhan kasus penipuan yang dilaporkan oleh mantan suaminya sendiri (RL). Selain dipidanakan, WF juga diintimidasi untuk menyerahkan hak asuh anak ke RL sebagai pilihan restorative justice. Padahal, itu berada di luar konteks kasus penipuan yang dituduhkan.

Restorative justice atau keadilan restoratif adalah semua pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran tertentu bertemu bersama untuk menyelesaikan secara bersama.

Situasi yang luar biasa dan berbanding terbalik dimana kewajiban seorang mantan suami untuk tetap memberi nafkah dijadikan dasar dan siasat untuk mempidanakan seorang ibu dengan 2 anak.

Lebih mencengangkan lagi karena tujuan sebenarnya proses pemidanaan dan laporan polisi tersebut adalah ‘untuk mengambil hak asuh anak’ yang telah diputuskan oleh pengadilan dan berkekuatan hukum tetap.

Kasus mencuat pada Agustus 2021 saat WF menerima Surat Laporan Polisi dari Polres Jakarta Barat atas laporan dari mantan suaminya mengenai dugaan Pasal 378 KUHP tentang Penipuan bahwa Ibu WF memperoleh sejumlah uang secara curang antara Maret hingga Agustus 2021, juga perihal pengabulan perceraian sepihak tanpa diketahui RL.

Fakta yang sebenarnya adalah Ibu WF dikirimi sejumlah uang oleh RL yang disimpulkan sebagai nafkah dari RL untuk anak-anaknya sebagaimana yang dianjurkan oleh peraturan. Sebelumnya, persidangan perceraian dan hak asuh anak untuk Ibu WF diputus verstek (putusan tanpa kehadiran tergugat) secara sah melalui Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada Maret 2021 dan telah berkekuatan hukum tetap.

Kejanggalan hukum yang harus digarisbawahi adalah Polres Jakarta Barat menetapkan Ibu WF sebagai tersangka terkait kasus tersebut pada Juli 2022 secara tiba-tiba tanpa ada mekanisme hukum yang seharusnya Ibu WF jalani.

Menurut Abdur Aflah pengacara senior dari kantor pengacara AM Oktarina Counsellor at Law, terdapat banyak kejanggalan dari proses administrasi kepolisian ini.

“Pertama, bukti yang dijadikan transfer tidak terkait dengan penipuan, tapi terkait dengan nafkah anak. Kedua, bukti transfer yang diberikan bukan bukti transfer yang dilakukan langsung oleh pelapor ataupun kuasa pelapor dimana hal ini jelas bertentangan dengan fakta hukum bahwa pelapor merupakan korban,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima Inilah.com di Jakarta, Rabu (19/10/2022).

Abdur menjelaskan, fakta juga menunjukkan bahwa proses mediasi malah digunakan oleh pelapor ‘sebagai mekanisme paksaan untuk memaksa Ibu WF untuk menyerahkan anaknya melalui suatu perjanjian’. Hal ini jelas bertentangan dengan hukum dan merupakan bentuk kriminalisasi yang dilakukan oleh pihak RL sebagai mantan suami Ibu WF,” papar dia.

Prosedur hukum yang ugal-ugalan kembali terjadi pada kasus ini. RL meminta kepolisian untuk mekanisme Restorative Justice (pemulihan kembali terhadap hak korban) dan berjanji akan mencabut laporan terhadap WF sebagai upaya untuk mencapai win-win solution bagi kedua pihak yang akan difasilitasi oleh pihak Kepolisian.

Namun, bentuk mediasi (restorative justice) yang dimaksudkan RL adalah ‘meminta hak asuh anak’, bukan soal substansi kerugian sejumlah uang yang didalilkan RL pada saat awal melakukan laporan ke Kepolisian.

“Sehingga, semakin terang bahwa ini bukan tentang penipuan tapi tentang ‘paksaan untuk mengambil hak asuh anak’ oleh RL dari tangan Ibu WF,” timpal Abdur.

Inkompatibilitas atau ketidakpahaman dalam menjalani proses Restorative Justice sebagaimana yang dilakukan RL adalah tindakan sewenang-wenang yang jika dibiarkan akan menindas seseorang yang tidak paham dengan hukum.

Sebagaimana yang telah ditentukan melalui Surat Edaran Kapolri Nomor SE/8/VII/2018 mengenai Restorative Justice, proses Restorative Justice tidak boleh bertentangan dengan muatan formil dan materil dari apa yang disangkakan dalam laporan pidana.

Ini menekankan bahwa dalam mengadakan konsensus atau kesepakatan berdamai juga harus menghindari hal-hal yang sifatnya melanggar hukum atau perjanjian yang dipaksakan (opgedrongen), seperti adanya bedrog (penipuan), dwaling (kekhilafan), dwang (paksaan), serta penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden).

Pada kasus ini, secara hukum RL telah memaksa pihak kepolisian mengikuti keinginannya untuk mengambil hak asuh anak yang telah diputuskan secara sah jatuh ke tangan Ibu WF melalui pengadilan, dan memenjarakan ibu WF dengan alasan apapun sehingga memisahkan Ibu WF dari anak-anaknya.

Ibu WF menyampaikan bahwa dirinya merasa cukup bingung dan pilu, seperti ada maksud lain dari mantan suami untuk melemahkan dan mengintimidasi hingga ingin merebut hak asuh anak. Sebelumnya, Ibu WF mengusulkan untuk membagi hak asuh anak dengan pihak RL secara adil namun ditolak.

Ibu WF juga menawarkan untuk mengembalikan uang nafkah yang disangkakan sebagai penipuan, namun RL juga menolak dan tetap berusaha mengambil hak asuh anak tanpa mempertimbangkan posisi ibu WF.

Alih-alih mengajukan permohonan hak asuh anak ke pengadilan, laporan palsu dan percobaan kriminalisasi oleh mantan suami (RL) dilakukan semata-mata bertujuan untuk memisahkan anak-anak dari ibu mereka–serta serangkaian tindakan diskriminasi yang dilakukan RL pada WF dari tahun 2021 hingga sekarang.

Integritas dan profesionalitas pihak Kepolisian kembali akan diuji dengan adanya kasus ini. Jangan sampai ada penyalahgunaan kekuasaan secara terang-terangan oleh pegawai pemerintah Indonesia dan pelanggaran hak-hak dasar dan konstitusional perempuan.

 

Ahmad Munjin

 

Back to top button