Market

Kaitkan Ekonomi dengan Utang, Ekonom Senior Dorong Sri Mulyani Dicopot

Pernyataan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani bahwa utang adalah faktor utama pendorong pertumbuhan ekonomi, adalah kebohongan publik. Banyak yang kena, termasuk Badan Anggaran (Banggar) DPR. Seharusnya, Sri Mulyani dipecat.

Disampaikan Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), saat rapat dengan Banggar DPR pada Selasa (30/5/2023), Sri Mulyani menegaskan bahwa Produk Domestik Bruto/PDB tumbuh US$276,1 miliar, disebabkan tambahan utang pemerintah sebesar US$260,5 miliar.

“Seolah-olah, faktor pertumbuhan ekonomi lainnya, seperti konsumsi rumah tangga atau investasi, menurut Sri Mulyani, tidak berperan sama sekali. Alias nihil. Tentu saja, pernyataan Sri Mulyani ini, tidak masuk akal. Bermakna membodohi publik, dan membohongi anggota Banggar DPR secara langsung,” papar Anthony.

Faktanya, kata dia, kontribusi terbesar daripada pertumbuhan ekonomi adalah konsumsi rumah tangga, investasi dan net ekspor (ekspor-impor). Besar kontribusinya, masing-masing 39,8 persen; 19,1 persen; dan 18,2 persen, untuk periode 2018-2022.

Sedangkan sumber pertumbuhan ekonomi dari konsumsi pemerintah, lanjut Anthony, cukup kecil. Hanya 3,5 persen, atau setara Rp168,2 triliun dari total pertumbuhan ekonomi (PDB) sebesar Rp4.751,0 triliun. “Perlu dicatat, pertumbuhan konsumsi pemerintah Rp168,2 triliun, sudah termasuk penambahan utang pemerintah Rp3.272,2 triliun, untuk periode yang sama,” terangnya.

Dengan kenaikan konsumsi pemerintah Rp168,2 triliun, dan kenaikan ekonomi Rp4.751 triliun, menurut Anthony, bukan berarti, setiap kenaikan konsumsi pemerintah Rp1, membuat ekonomi naik Rp27,2.

Angka ini dihasilkan dari Rp4.751 triliun dibagi Rp168,2 triliun. “Pernyataan seperti itu sangat menyesatkan. Karena, banyak faktor lainnya yang menjadi sumber pertumbuhan ekonomi: konsumsi rumah tangga, investasi dan net ekspor,” ungkapnya.

Lebih menyesatkan lagi, menurut Anthony, penambahan utang (defisit anggaran) Rp3.272,2 triliun, seharusnya sudah termasuk bagian dari penambahan konsumsi pemerintah Rp168,2 triliun, membuat ekonomi naik Rp4.751 triliun. Seolah-olah, ada korelasi antara tambahan utang dengan kenaikan ekonomi. Atau setiap tambahan utang Rp1 membuat ekonomi tumbuh Rp1,45, mengikuti logika dari pernyataan Sri Mulyani di rapat bersama Banggar DPR.

“Dalam hal ini, Banggar DPR seharusnya memanggil Sri Mulyani untuk menjelaskan bagaimana cara kerja ekonomi, atau model ekonomi yang dimaksudnya. Bahwa setiap tambahan utang membuat ekonomi naik. Sekaligus minta notasi dan model matematikanya,” imbuhnya.

Kalau Sri Muluyani tak jelaskan, menurut Anthony, pernyataan Sri Mulyani hanya untuk publik dan Banggar DPR. Sebagai konsekuensi, Sri Mulyani harus dicopot dari seluruh jabatan publik. “Harus diberhentikan kalau tidak bisa jelaskan itu,” tandasnya.

Sekedar mengingatkan saja, saat rapat dengan Banggar DPR, Sri Mulyani membeberkan efektivitas dari menggunungnya utang pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2018-2022. Di mana, total kenaikan utang sebesar US$206,5 miliar sedangkan pertumbuhan PDB nominal Indonesia mencapai US$276,1 miliar. “Untuk utang 206,5 miliar dolar AS, kita lihat Indonesia mampu menaikkan nominal PDB menjadi 276,1 miliar dolar AS,” kata Sri Mulyani.

Selanjutnya, Sri Mulyani membandingkan korelasi pertumbuhan utang dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan negara lain. Misalnya, Vietnam berhasil mengerek PDB nominal lebih tinggi ketimbang kenaikan utangnya. Yakni, utang Vietnam naik US$18,2 miliar, menghasilkan kenaikan PDB hingga US$102,0 miliar.

“Vietnam juga termasuk yang cukup efektif. kenaikan PDB-nya sangat tinggi di 102 miliar dolar. Ini karena kenaikan FDI (Foreign Direct Investment), capital inflow, investment yang keluar dari China ke Vietnam lumayan besar,” jelasnya.

Back to top button