Kanal

Jokowi’s Legacy of Ashes Atau Warisan Puing-puing Jokowi

Tetapi karena demokrasi memiliki adab dan anggah-ungguhnya sendiri, upaya telanjang seorang bakal mantan kepada calon penerusnya, apalagi di tingkat kekuasaan paling tinggi di Republik ini, senantiasa mendatangkan kekuatiran tersendiri bagi publik. Kurang elok bila seorang presiden terpilih membawa kesan sulit dihapus bahwa ia semata seorang subordinat presiden sebelumnya. Bukan tak mungkin, seorang berlidah pedas dan pahit nanti akan menyebutnya kacung, dan tentu melukai hati seluruh warga Republik ini.

Oleh   :  Darmawan Sepriyossa

Barangkali ini persamaan dan perbedaan antara Presiden AS, Presiden Dwight D. Eisenhower, dengan Presiden Joko Widodo di akhir masa tugasnya. Keduanya tampak peduli dengan ‘warisan’ kepemimpinan masing-masing yang akan mereka tinggalkan untuk negaranya. Bedanya, Eisenhower mengesankan kepedulian itu datang dari kekuatiran bahwa warisan kepemimpinannya akan meninggalkan persoalan yang “rujit”—kata Sunda untuk kompleksitas dan jalin kelindan persoalan yang menjijikan—di masa depan. Kekuatiran Pak Jokowi tampaknya datang dari kepedulian yang lebih pribadi, juga untuk hal yang lebih pribadi dibanding urusan publik. Sekali lagi, barangkali.

Salah satu bukti itu terlihat, antara lain, kalau kita membuka ulang buku lama “Legacy of Ashes: The History of CIA” yang ditulis Tim Weiner.  Di masa-masa awal kelahiran CIA, Presiden Eisenhower merasa bahwa struktur organisasi, garis komando dll dari bakal CIA itu salah. “Struktur organisasi intelijen kita salah,”kata Presiden kepada Direktur Central Intelligence, Allen Dulles. Jika itu diteruskan, kata Presiden, pinasti ia akan meninggalkan “warisan abu (puing-puing)” kepada penerusnya.

Presiden Jokowi juga punya kekuatiran yang sama akan masa-masa setelah dirinya tilem dari kekuasaan.  Hanya yang membedakannya dengan Eisenhower, publik menangkap kesan Presiden Jokowi ikut cawe-cawe agar warisannya yang belum selesai itu bisa dipertahankan dan dilanjutkan. Dan mungkin karena terlalu serius, perilaku cawe-cawe itu terlihat telanjang di muka publik. Apakah sebuah dosa, bila seorang bakal mantan memastikan agar penerusnya melanjutkan legacy kepemimpinannya? Tentu saja tidak. Apalagi bila yang dikuatirkan dibikin mangkrak itu sebuah pekerjaan besar yang berkait erat dengan hajat hidup orang banyak.

Tetapi karena demokrasi memiliki adab dan anggah-ungguhnya sendiri, upaya telanjang seorang bakal mantan kepada calon penerusnya, apalagi di tingkat kekuasaan paling tinggi di Republik ini, senantiasa mendatangkan kekuatiran tersendiri bagi publik. Kurang elok bila seorang presiden terpilih membawa kesan sulit dihapus bahwa ia semata seorang subordinat presiden sebelumnya. Bukan tak mungkin, seorang berlidah pedas dan pahit nanti akan menyebutnya kacung, dan tentu melukai seluruh warga Republik ini.

Di sisi lain, ada banyak warisan Presiden Jokowi yang memang nyata-nyata bermasalah dan membuat orang banyak kuatir. Saya tak punya cukup waktu untuk menginventarisasi secara detil, apa saja bakal warisan Presiden Jokowi yang potensial menjadi onak di perjalanan Indonesia ke depan.   Namun setidaknya, dengan cepat publik pun bisa menunjuk empat hal yang mereka kuatirkan.

Pertama, soal kereta cepat Jakarta-Bandung yang melibatkan Republik Rakyat Cina. Rasanya tak perlu lagi mengungkap segala macam borok di sepanjang persoalan KCIC—Kereta Cepat Indonesia Cina—yang kini lebih sering disebut Kereta Cepat Jakarta-Bandung itu. Tidak hanya karena biayanya yang melumat duit dalam kriteria “Gaban”, yakni Rp113,9 triliun, dari perhitungan awal Rp84,3 triliun. Tetapi urusan utang 80 tahun, yang artinya sampai tega membuat anak cucu kita menanggung utang, juga menjadi noda proyek ini.

Kedua, warisan Omnibus Law yang sejak akhir Maret lalu telah menjadi Undang-undang Cipta Kerja, yang bagi banyak pihak justru sangat berpihak pada kalangan kuat dan berkuasa. Banyaknya aturan di UU ini, yang secara common sense merugikan kaum alit telah dikupas di beragam tulisan, kreasi konten dan sebagainya, hingga tak perlu diulas ulang di sini.

Ketiga, aturan Hak Guna Usaha (HGU) yang pada Maret lalu diteken Jokowi, berisikan masa HGU 190 tahun, yang sangat merugikan Indonesia ke depan. Menurut Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, Peraturan Pemerintah Nomor 12 tahun 2023 itu bahkan lebih buruk dari hukum agraria kolonial. Lewat PP ini, Jokowi memberikan konsensi Hak Guna Usaha (HGU) sampai 190 tahun, serta Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pakai (HP) sampai 160 tahun, bagi investor di Ibu Kota Negara (IKN).

“Kebijakan ini jauh mundur ke belakang, sebab isinya lebih buruk jika dibandingkan saat bangsa Indonesia masih dijajah Belanda,” kata Dewi, Maret lalu. Jangan salah, KPA adalah mitra pemerintah dalam banyak persoalan agrarian, termasuk Reforma Agraria yang menjadi salag satu bahan pujian untuk pemerintahan saat ini.

Dewi mengatakan, UU Agraria Kolonial (Agrarische Wet 1870) saja hanya memberikan hak konsesi perkebunan kepada investor atau perkebunan kolonial paling lama 75 tahun. Di jaman kemerdekaan, Agrarische Wet dicabut sejak Undang-Undang Pokok Agraria 1960 diberlakukan. Saat itulah, kata Dewi, mulai didorong usaha-usaha pembaruan paradigma politik dan hukum agraria secara fundamental. Kini, usaha mulia itu justru dikhianati pemerintah sendiri. “Sungguh ironis,”kata Dewi dalam sebuah pernyataan pers Maret lalu,“Justru di alam kemerdekaan dan di masa reformasi ini, UU Pokok Agraria kembali dikhianati dengan membuat aturan yang lebih buruk dan lebih jahat dibandingkan kebijakan produk kolonial.”

Besaran 160 tahun itu, kata Dewi, didapat dari PP yang mengatur pemberian konsesi HGU langsung dalam satu siklus 95 tahun, yakni pemberian hak 35 tahun sekaligus dengan perpanjangan hak 25 tahun dan pembaruan haknya 35 tahun. “Semakin liberal, sebab investor langsung dijamin mendapat siklus kedua dengan tambahan 95 tahun lagi. Total 190 tahun, hampir dua abad konsesi,” kata dia.

Selain itu, Dewi juga menilai PP 12/2023 yang dinilainya pelanggaran fundamental terhadap UU Pokok Agraria itu melanggar Putusan MK Nomor 21-22/PUU-V/2007 terkait pemberian konsesi sekaligus di muka. Sebab sebelumnya telah ada Putusan MK yang menyatakan bahwa pemberian hak atas tanah sekaligus di muka (pemberian hak, perpanjangan  dan pembaruannya) berupa 95 tahun HGU, 80 tahun HGB dan 70 tahun Hak Pakai, melanggar Konstitusi.

Keempat, soal proyek Ibu Kota Negara (IKN). Jika istilah itu ada, tampaknya secara rasional semua orang tahu bahwa IKN adalah “giga proyek” yang haus akan pembiayaan. Konon, diperlukan sedikitnya dana Rp466 triliun untuk membangun IKN. Untuk tahun ini saja, bila rencana lancer dijalankan, APBN mengucurkan dana sekitar Rp 30 triliun. “Indikasi alokasi IKN tahun 2023 Rp27 triliun sampai dengan Rp30 triliun. Fokus pada pembangunan Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) tahap 1,”kata Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu), Suahasil Nazara dalam Rapat Koordinasi Pembangunan Pusat (Rakorbangpus), 2022 lalu. Alhasil, dana itu diambil dari cubitan dari pos-pos lain, yang mungkin saja berkaitan dengan kesejahteraan publik.

Sebelumnya, sesuai janji pemerintah, publik tahunya  dana pembangunan IKN itu datang dari investor swasta, meski soal ini pun sejatinya menimbulkan polemik dan perdebatan sengit. Namun kemudian, satu demi satu nama-nama besar mondial yang dikaitkan dengan pembangunan IKN itu tak lagi tertangkap radar public. Pemain bisnis kelas dunia, Softbank, yang digadang-gadang bakal menanamkan duit senilai 100 miliar dolar AS, atau setara Rp1.432 triliun pun, justru memilih mundur.

Soal itu pula yang dikatakan Rocky Gerung, bersamaan dengan pernyataannya yang mengundang polemik panas hingga berujung main lapor-laporan sesama warga Indonesia itu.  Saat itu Rocky menyebut IKN berpotensi dibatalkan di pemerintahan setelah Jokowi. Alasan Rocky, pembangunan IKN sangat membebani keuangan negara sekaligus membuat utang membengkak. “Nggak ada pemerintah yang mau bayar utang pemerintahan sebelumnya,”kata Rocky dalam pernyataan khusus kepada TEMPO di kantor media tersebut, Selasa (8/8/2023). Bagi Rocky, proyek IKN adalah proyek yang tidak masuk akal. “Kalau pemerintah berikutnya masuk akal, maka harus dianggap bahwa proyek IKN itu tidak masuk akal,” ujar dia.

Empat hal itu bahkan bisa diutarakan publik dengan cara mencongak—menghitung di luar kepala. Namun tentu kita tak perlu menginventarisasi secara detil, apalagi melakukan riset. Yang perlu kita lakukan justru berdoa, agar mayoritas warga Indonesia bisa berpikir jernih, rasional dan ikhlas memperhitungkan nasib warga negara seluruhnya.

Dalam ilmu ekonomi, sejak semester satu diajarkan bahwa scarcity alias kelangkaan adalah hukum besi. Solusi paling dasarnya adalah menggunakan sumber daya yang langka—dana, modal—itu dengan bijak dan hati-hati. [dsy]

Back to top button