Market

Indonesia Ngebet Gabung OECD, Apa Keuntungannya?

Indonesia tengah menjajaki secara serius untuk menjadi anggota Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) ngebet ingin cepat bergabung dengan organisasi bergengsi ini. Apa saja keuntungannya jika menjadi anggota OECD?

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, Presiden Jokowi menginginkan agar proses keanggotaan OECD berjalan dengan teratur tetapi tetap cepat. “Presiden menyampaikan Indonesia ingin proses membership itu bisa berjalan cukup baik dan cepat dan juga manfaat membership itu harus diyakini karena akan memperbaiki kualitas kebijakan dan juga birokrasi di Indonesia,” katanya usai mendampingi Presiden menerima Sekretaris Jenderal OECD Mathias Cormann, Kamis (10/8/2023).

Sementara Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan bergabungnya Indonesia menjadi anggota OECD akan memberikan beberapa manfaat, salah satunya Indonesia harus mengikuti standar-standar yang diberlakukan bagi negara anggota. Dengan mengikuti standar yang diterapkan, produk-produk kebijakan yang dihasilkan nantinya akan lebih baik. Hal ini akan mendukung peningkatan pendapatan per kapita Indonesia.

“Tentunya mendorong pendapatan per kapita masyarakat karena anggota OECD itu rata-rata [GNI per kapita] di atas US$10.000. Ya, balik lagi kita dari US$5.000 mau di atas US$11.000. Berarti kalau di US$11.000 rakyat semakin sejahtera,” jelas Airlangga.

Keinginan Indonesia bergabung menjadi anggota OECD telah mendapatkan respons positif dari ke-38 negara anggota lembaga tersebut. Jika disetujui, maka Indonesia akan menjadi negara pertama di Asia Tenggara atau negara ketiga di Asia yang bergabung di OECD, menyusul Korea Selatan dan Jepang.

Menteri Luar Negeri (Menlu) RI Retno Marsudi mengatakan hubungan erat Indonesia dan OECD memang telah terjalin lama. Sejak 2007 Indonesia sudah menjadi key partner dari OECD. Bahkan, turut berkontribusi dalam enhanced engagement program dan OECD sudah memiliki kantor di Indonesia sejak 2015. Pada September 2023, OECD akan menggelar pertemuan, yang di antaranya, membahas pengajuan keanggotaan dari Indonesia. “Apabila sudah oke mendapatkan political agreement maka proses teknis akan dimulai,” jelas Retno.

Namun Indonesia sempat dijegal OECD dalam masalah perpajakan dan menunda implementasi Pilar 1: Unified Approach terkait perpajakan internasional hingga 2025. Padahal Indonesia telah siap dalam implementasi pajak internasional pilar I lantaran memiliki Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Sebagai informasi, Pilar 1 dalam mengatasi perpajakan internasional tersebut berisi sistem dan prinsip perpajakan untuk perusahaan digital dan multinasional. Sementara Pilar 2 berkaitan dengan minimum tax ratio sebesar 15 persen yang akan diberlakukan. UU HPP telah mencakup kedua pilar tersebut.

OECD menunda implementasi Pilar 1: Unified Approach akibat ada banyak negara yang belum memiliki instrumen regulasi di lingkup domestik untuk melegalisasi ratifikasi dari Pilar 1. Alhasil, implementasinya pun terkendala. Pilar 1 bersifat wajib dan 138 negara yang sepakat terkait pajak global tersebut wajib menandatangani MLC maksimal pada akhir 2023, jika tak ingin lagi ada penundaan.

Forum yang Unik

OECD dibentuk pada 1961 dengan tujuan mempromosikan kebijakan yang meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosial masyarakat. OECD muncul setelah berfungsi selama 12 tahun sebagai Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi Eropa (OEEC), yang didirikan guna membantu melaksanakan Rencana Marshall untuk rekonstruksi Eropa setelah Perang Dunia Kedua.

Mengutip conexionintal.iadb.org, organisasi ini menjadi forum unik di mana pemerintah dari 38 negara dengan ekonomi berbasis pasar berkolaborasi untuk mengembangkan standar kebijakan guna mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. OECD menyediakan pengaturan di mana pemerintah dapat membandingkan pengalaman, mencari jawaban atas tantangan bersama, mengidentifikasi praktik yang baik, dan mengembangkan standar yang tinggi untuk kebijakan ekonomi.

Kelompok ini telah disebut sebagai “klub negara kaya” karena anggotanya mewakili sekitar 70% dari pasar global. Saat ini, negara-negara anggota OECD menyumbang tiga perempat perdagangan dunia, lebih dari 90 persen bantuan pembangunan resmi global, separuh konsumsi energi dunia, dan 18 persen populasi dunia.

OECD telah menjadi sumber analisis kebijakan dan data ekonomi berbasis bukti yang dapat diandalkan. Organisasi ini membantu mitranya menuai keuntungan dan menghadapi tantangan ekonomi global dengan mempromosikan kebijakan ekonomi yang sehat, pasar yang lebih bebas, penggunaan sumber daya yang lebih efisien, dan inovasi yang lebih baik melalui sains dan teknologi.

OECD menyediakan forum di mana pemerintah dapat bekerja sama untuk berbagi pengalaman dan mencari solusi untuk masalah bersama. Tugasnya juga termasuk mengembangkan indikator produktivitas dan arus perdagangan dan investasi global, menganalisis dan membandingkan data untuk memprediksi tren, dan menetapkan standar internasional untuk berbagai masalah kebijakan publik.

Anggota OECD menjadi negara benchmark yang menetapkan standar kualitas di berbagai bidang perdagangan dan investasi. Dalam hal ini, OECD membuat rekomendasi kebijakan setelah penilaian yang dilakukan para ahlinya di negara-negara anggota. Aspek ini mirip dengan review yang dilakukan International Monetary Fund (IMF) dalam kerangka Pasal IV Articles of Agreement-nya. Hal lain yang sama dengan IMF adalah bahwa OECD menerbitkan tinjauan makroekonomi dua kali setahun (OECD Economic Outlook), yang menganalisis tren global utama dan memeriksa kebijakan ekonomi yang diperlukan untuk mendorong pertumbuhan yang tinggi dan berkelanjutan di negara-negara anggota.

Untuk melakukan tinjauan ini, OECD mengirimkan pakar ke negara tertentu—umumnya dari negara anggota lain, itulah sebabnya proses ini disebut sebagai “peninjauan sejawat”—yang melakukan kontak dengan agen berbeda mengenai masalah tertentu, seperti kebijakan kesehatan atau pendidikan, di antara bidang terkait pembangunan lainnya.

Menjadi anggota OECD juga mengarah pada lebih banyak variasi statistik yang tersedia di negara yang bersangkutan. Organisasi tersebut menerbitkan informasi mengenai anggotanya dalam spektrum topik yang luas, termasuk pertanian dan pangan, pembangunan, pendidikan, studi gender, dan data ekonomi makro. Ada juga area kerja yang melibatkan pertemuan teknis tentang kebijakan yang telah disepakati negara anggota.

Namun, salah satu poin yang paling signifikan bagi negara-negara anggota adalah pengakuan internasional yang datang dengan keanggotaan, khususnya kemungkinan menarik investasi asing langsung (FDI). Untuk beberapa organisasi, keanggotaan OECD adalah salah satu syarat yang diperlukan saat berinvestasi di negara tertentu.

Bisa diibaratkan OECD adalah ‘segel kualitas’. Terlepas dari itu, jelas bahwa keanggotaan OECD merupakan faktor penting untuk meningkatkan FDI, meskipun bukan satu-satunya. Ketika Meksiko dan Chile menjadi anggota OECD, FDI meningkat, tetapi hal ini juga terjadi di negara-negara seperti Brazil, yang bukan merupakan bagian dari organisasi tersebut.

Organisasi ini akan mengevaluasi institusi negara mana pun yang ingin bergabung, serta kebijakan yang diterapkan di berbagai bidang. Negara calon anggota seperti Indonesia diminta untuk memenuhi berbagai standar kualitas OECD (seperti memenuhi standar statistik tertentu). Langkah terakhir dalam proses aksesi menjadi kenyataan ketika negara kandidat menyerahkan instrumen aksesi ke Konvensi OECD. Proses yang harus dijalani Indonesia setidaknya memakan waktu satu tahun.

Back to top button