Market

Jatam: Catatan Hitam Freeport Sepanjang Zaman

Jumat, 03 Feb 2023 – 05:09 WIB

Freeport - inilah.com

Truk diparkir di tambang terbuka kompleks tambang tembaga dan emas Grasberg milik PT Freeport dekat Timika, di wilayah timur Papua, 19 September 2015 (Reuters/Muhammad Adimaja/Antara Foto)

Menghadapi PT Freeport Indonesia (Freeport/PTFI), pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkesan tak berkutik. Alhasil, kejahatan lingkungan dan sosial yang diduga dilakukan Freeport terus berlangsung sepanjang zaman.

Kepala Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), M Jamil berpandangan, akuisisi saham Freeport sebesar 51 persen yang selalu dibanggakan Presiden Jokowi, tidak berdampak kepada menguatnya kedaulatan Indonesia untuk mengatur Freeport, agar taat dan patuh kepada hukum dan aturan yang berlaku.

“Sedang berlangsung pagelaran pelanggaran hukum yang dilakukan secara bersama oleh korporasi dan negara dengan melakukan pembiaran atas praktik kejahatan tanpa adanya penegakan hukum. Hal ini jelas menunjukkan pembangkangan oleh korporasi-negara secara terang-terangan terhadap konstitusi UUD 1945,” kata Jamil, di Jakarta, Kamis (2/2/2023).

Menurut dia, pembiaran atas seluruh tindak kejahatan itu tidaklah mengherankan, sebab, pemerintah Indonesia telah berkali-kali kehilangan akal sehat dan tunduk pada Freeport.

Pada 2004, Presiden Megawati Soekarnoputri menerbitkan Keppres yang melegalkan 13 perusahaan tambang yang lahannya tumpang tindih dengan hutan lindung, diizinkan melanjutkan kegiatan operasionalnya di kawasan tersebut hingga kontraknya berakhir. Di mana, Freeport menempati nomor urut pertama.

Kedua, Kementerian ESDM, menghapus Permen ESDM Nomor 11/2014 dengan mengeluarkan Permen ESDM Nomor 5 Tahun 2016, yang akhirnya memberikan keleluasaan bagi Freeport untuk tetap melakukan ekspor bahan tambang mentah konsentrat ke luar negeri.

Ketiga, pada 2018. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) mulai kehilangan akal sehat, saat menemukan 22 kegiatan melanggar Amdal. Salah satunya perluasan ukuran tambang terbuka Grasberg dari 410 hektare menjadi 584 hektare.

“Menjadikan lima sungai sebagai tempat pembuangan limbah beracun (merkuri dan sianida), bukannya melakukan penegakan hukum, justru malah menerbitkan surat agar Freeport menyusun Dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup (DELH),” papar Jamil.

Keempat, lanjut dia, temuan BPK yang menyebutkan terdapat kerugian negara Rp185 triliun, akibat saat operasi produksi, Freeport menggunakan kawasan hutan lindung seluas minimal 4.535 ha, tanpa Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH).

Adapun terkait konflik horizontal akibat siasat Freeport yang hanya memilih orang-orang tertentu untuk membicarakan AMDAL yang menjadi syarat terbitnya perizinan lingkungan dan dokumen-dokumen lain terkait aktivitas tambang, juga menyalahi aturan.

“Model pelibatan masyarakat ala Freeport adalah salah secara hukum, melanggar ketentuan Pasal 26 UU PPLH 32/2009 dan turunannya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup 17/2012 Tentang Pedoman Keterlibatan Masyarakat dalam Proses AMDAL dan Izin Lingkungan,” ujar Jamil.

Menurut dia, jika proses tersebut tetap diteruskan oleh Freeport bersama Menteri LHK, maka amdal dan perizinan lingkungan yang dihasilkan, cacat prosedur dan cacat yuridis. “Sehingga harus batal demi hukum,” tegas Jamil.

Back to top button