News

“Jalan Tol VS Jalan Rusak”: Jalan Bolong di Era “Bapak Pembangunan Infrastruktur”

Tujuan untuk memperlancar hubungan antarwilayah dan transportasi barang membuat pembangunan infrastruktur dikebut pemerintahan Jokowi dalam dua periode pemerintahannya. Mengapa lebih terfokus pada jalan tol dan meminggirkan sisi pelayanan pemerintah terhadap warga negara?

“Zulkifli Hasan: Jalan Rusak di Lampung Bikin Malu!”, demikian judul berita yang ditulis detik.com, Jumat, 05 Mei 2023 itu. Zulhas, begitu Zulkifli biasa disapa, memang tokoh nasional kelahiran Lampung. Tapi berita itu jelas tidak ditulis untuk mempermalukan dirinya.

Sekian banyak berita bertema sejenis di berbagai laman berita nasional dan lokal hari itu dengan segera menjelaskan siapa sesungguhnya yang dibidik serangan tuts keyboard para jurnalis. “Jokowi Lewati Jalan Rusak Parah di Lampung, Publik: Cara Elit Permalukan Gubernur,” tulis Suara.com, misalnya. Tak berhenti hari itu, esoknya sekian banyak media masih mengulas adventure Presiden Jokowi dan Gubernur Lampung, Arinal Djunaidi, menjelajahi jalanan rombeng itu. “Gubernur Lampung Ikut Tepuk Tangan Saat Jokowi Ambil Alih Perbaikan Jalan, Warganet : Kuat mental dan Malu!” tulis AyoBandung, kelompok media daring yang memiliki jaringan di hampir setiap kota besar. Nadanya tak berbeda jauh dengan kelompok media Tribun, yang menulis,”Bukannya Malu, Arinal Djunaidi Girang Jokowi Perbaiki 15 Jalan Lampung, Tepuk Tangan & Ucap Syukur”.

Di media sosial, nyaris tak ada yang melihat penjelajahan Jokowi ke jalanan Lampung itu kecuali sebagai sebuah cum buat Presiden. Apalagi manakala Jokowi menjanjikan untuk mengambil-alih perbaikan. “Terimakasih Pak Jokowi, telah bersedia memperbaiki jalan kami. Terimakasih untuk semua yang telah berani bicara”, tulis sebuah billboard di satu titik strategis di Bandar Lampung, tiga hari setelah itu.  Sementara Gubernur penguasa wilayah, tak hanya di pemberitaan, dalam semua meme yang beredar di medsos pun ia laiknya antagonis yang menjadi persona non grata publik.

Padahal, bukankah Lampung pun merupakan bagian dari wilayah Indonesia yang tengah dipimpin Jokowi? Benar ada kewenangan dan—sebaliknya, tanggung jawab khusus di pundak penguasa daerah, termasuk bupati setempat. Tapi, tidakkah visi-misi pemerintah pusat seharusnya sampai ke semua wilayah NKRI? Lampung, kita tahu tergolong tetangga wilayah dengan ibu kota Jakarta.

Padahal, bukankah jalan rombeng di satu wilayah, sebagaimana pula manakala korupsi masih jadi budaya yang merajalela, tetaplah sebuah cacat yang menjadi cela pemimpin sebuah negara? Apalagi di saat visi-misi sebuah pemerintahan adalah pembangunan infrastruktur. Belum lagi dikaitkan dengan pernyataan Presiden sendiri pada sidang paripurna kabinet di awal periode keduanya memegang amanah rakyat.

“Yang pertama, ini perlu saya ulang bahwa tidak ada visi misi menteri,”ujar Presiden Jokowi, di Istana Negara pada 24 Oktober 2019 itu. “Yang ada adalah visi misi presiden-wakil presiden. Jadi tolong dicatat.” Bila menteri saja tak berhak memajukan visinya sendiri, tentunya aparat yang lebih operasional semacam gubernur dan bupati, seharusnya menyerap dan mengimplementasikan visi-misi Presiden itu sebagai acuannya dalam bekerja melayani rakyat.  Apakah visi-misi pemerintah yang seharusnya terang benderang itu gagal diserap di level aparat daerah?

Dengan mapannya keberadaan Bappenas, sangat mustahil kalau negara ini tidak memiliki grand design dalam pembangunan infrastrukturnya. Belum lagi kalau mengaitkannya dengan semangat Presiden membangun aneka rupa infrastruktur, yang membuatnya kadang digadang-gadang pendukungnya sebagai “Bapak Pembangunan Infrastruktur”. Sementara kalangan professional saja berkonsoli-dasi membangun Grand Desain Infrastruktur Indonesia (GDII) 2055. Konsep mereka itu berisi pemikiran berbagai kalangan professional independent yang mengkaitkan infrastruktur sebagai kebutuhan,  baik infrastruktur sosial maupun ekonomi.

Hidup di tengah jalan rusak

Bila merujuk pernyataan Wakil Ketua Bidang Pemberdayaan dan Penguatan Kewilayahan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Djoko Setijowarno, urusan jalan rusak bukanlah masalah kecil.  Menurutnya, keberadaan jalan rusak bahkan nyaris dominan. “Ada sekitar 52 persen jaringan jalan rusak di Indonesia,”kata Djoko. Di wilayah dekat ibukota saja, bukan satu dua ruas yang jelek. “Salah satu daerah dengan jalan rusak itu ada di Parung Panjang, jadi wajar kalau banyak masalah. Sementara daerah tersebut tidak punya banyak anggaran.”

Badan Pusat Statistik (BPS) bahkan mencatat data yang lebih buruk. Dari panjang jalan Indonesia, yang pada 2021 mencapai 546.116 kilometer di luar tol, hanya 42,6 persen atau 232.644 kilometer yang berada dalam kondisi baik. Artinya, proporsi jalan yang rusak, apapun kondisinya adalah 57,4 persen, atau lebih besar dibanding angka MTI.

Hidup dengan jalanan yang rusak tak sekadar membuat berkendara menjadi jauh dari nyaman, tentu. Hal itu erat berhubungan dengan masalah ekonomi, karena harga-harga kebutuhan di daerah berjalan buruk biasanya jauh lebih mahal.

Pada saat kunjungan kerja ke Pasar Natar, Lampung Selatan, pada hari yang sama dengan inspeksinya meninjau jalanan Lampung, Presiden Jokowi mengatakan, infrastruktur jalan sangat penting untuk menurunkan biaya logistik.

Itu karena para pelaku usaha transportasi akan mematok harga lebih mahal untuk muatan logistik. Wajar, kendaraan mereka harus sering dibawa ke bengkel perawatan, bahkan untuk perbaikan kerusakan mesin akibat buruknya kondisi jalanan. Semua itu adalah biaya yang pasti pada akhirnya akan dibebankan kepada konsumen.

Di sisi ekonomi, dampaknya juga langsung berkaitan dengan inefisiensi. Yang menarik, dibandingkan era Presiden SBY, inefisiensi di era Jokowi tercatat lebih tinggi. “Jadi dampak ekonomi dari infrastruktur jalan yang rusak bukan persoalan sederhana,” kata Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira. Ia menunjuk, pada era SBY, ICOR atau parameter ekonomi makro yang menggambarkan rasio investasi kapital/modal terhadap output, tercatat 4,2. Saat ini, ICOR di zaman Presiden Jokowi justru 6,2.

Tidak hanya itu, menurut Bhima, rusaknya infrastruktur jalan juga bisa mempengaruhi Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) suatu daerah. “Maka bisa dicek apakah PMTB di daerah yang jalannya rusak, itu juga kecil, karena ada korelasi. Seseorang akan malas berinvestasi ketika infrastruktur yang ada tidak mendukung,”kata dia.

Belum lagi mahalnya barang-barang juga dikarenakan waktu tempuh yang lama akibat buruknya jalan.

Fokus ke tol

Dari perhatian yang diberikannya pada sektor ini, Presiden Jokowi sadar betul soal pentingnya infrastruktur. Persoalannya, mengapa beliau tampaknya lebih fokus membangun jalan tol, dan bukan jalan umum yang– karena tak harus bayar—lebih mencerminkan pelayanan pemerintahannya terhadap rakyat?

Pengamat Kebijakan Publik dan Infrastruktur Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, punya pendapat sendiri tentang hal itu. Menurut Trubus, semua itu karena faktor kemudahan pembiayaan. “Terkait pembangunan infrastruktur jalan, pemerintah memang lebih prioritaskan jalan tol. Jalan tol pembiayaannya tidak sepenuhnya APBN, ada BUMN dan korporasi swasta yang bisa terlibat,”kata dia kepada INILAH.COM. Salah satu aspek pemicu lain dari jadinya tol sebagai prioritas, karena jalan tol adalah jalan berbayar sehingga akan ada nilai ekonomi untuk mengganti biaya pembangunan jalan yang luar biasa mahal itu.

Trubus sendiri menilai, pembangunan jalan tol dianggap tepat, sesuai kebutuhan mobilitas publik serta logistik, dan di sisi lain memiliki nilai ekonomi bagi pemerintah serta semua pihak yang ikut berinvestasi. Ia tampaknya tidak keberatan bahwa konsep pembangunan jalan tol yang pada dasarnya semata bisnis.

Presiden Jokowi sendiri pernah ‘menjawab’ soal prioritas pembangunan jalan tol tersebut. Hal itu ia ungkapkan saat silaturahmi paguyuban pengusaha Jawa Tengah di Semarang Town Square, di masa-masa kampanye Pilpres, Februari 2019. Saat itu Jokowi mengatakan, kepemimpinannya memang fokus terlebih dulu pada sektor infrastruktur, terutama tol. Pada 1978, kata Jokowi, Indonesia sudah memulai pembangunan jalan tol Jagorawi sepanjang lebih kurang 50 kilometer. Menurut dia, banyak negara lain seperti Malaysia, Thailand, Vietnam, Cina, dan Filipina ingin melihat seperti apa manajemen, konstruksi, dan pengelolaan jalan tol tersebut.

Tetapi, kata dia, setelah puluhan tahun sejak dimulainya pembangunan jalan tol, Indonesia baru membangun 780 kilometer sampai 2014. Jokowi mengatakan, panjang jalan tol bertambah 782 kilometer dalam empat tahun kepemimpinannya. Jika semua jalan tol sudah terbangun, seperti Trans Jawa danTrans Sumatera, Jokowi yakin kecepatan distribusi barang dan mobilitas orang di Indonesia bisa bersaing dengan negara lain.

Beberapa waktu lalu, Kepala Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Kementerian PUPR, Danang Parikesit, hingga Maret 2023 ada 70 ruas tol dibangun, meliputi panjang 2.623,51 km. Dari 2.623,51 km jalan tol yang beroperasi itu, ruas jalan tol di Pulau Sumatera sepanjang 738,46 km, di Jawa 1.716,15 km, Kalimantan 97,27 km, Sulawesi 61,46 km, serta Bali dan NTB 10,07 km.

‘Skandal Infrastuktur’

Tetapi apologi Jokowi tersebut berlawanan dengan pendapat wartawan nasional senior dan Ketua Dewan Riset Daerah (DRD) Kabupaten Wonosobo, Farid Gaban. Dalam opininya yang dimuat FNN, Februari 2023, mantan wartawan Majalah TEMPO, Editor dan salah seorang pendiri Harian Republika itu mempersoalkan cara pembiayaan pembangunan jalan tol.

Alih-alih setuju dengan suara yang membangga-banggakan keberadaan jalan tol sebagai tonggak sukses pembangunan infrastruktur di masa Jokowi, artikel Farid itu malah bertajuk “Skandal Infrastruktur”. “Salah satu pertanyaan penting di sini: bagaimana ambisi jalan tol dibiayai?”tulisnya dalam opini tersebut. Farid melanjutkan: “Ini rahasianya: Pemerintah meminta BUMN “karya” seperti Waskita Karya membangun tol dari utang.Tak cuma jalan tol, Presiden juga menugasi BUMN membangun infrastruktur lain seperti bandara dan fasilitas pariwisata.Alasan Presiden Jokowi memberi penugasan pada BUMN jelas: jalan tol dan bandara bisa dibangun tanpa memakai uang APBN (setidaknya bukan secara langsung).  Dan karena tidak dibiayai langsung dari APBN, proyek infrastruktur tidak perlu mendapat persetujuan DPR dan kelayakannya tidak harus diperdebatkan secara public,”tulis Farid. “Dengan cara itu, jalan tol bisa dibangun sesuai keinginan Presiden; bahkan jika keinginannya tak masuk akal.”

Menurut Farid, jalan pintas seperti itu menimbulkan “moral hazard” dalam diri Presiden: ambisi mewariskan legacy infrastruktur yang makin memabukkan, seperti pembangunan IKN, tanpa peduli dampaknya.

“Apa yang bisa kita simpulkan dari situasi ini? Upaya menjual pengelolaan jalan tol dan bandara ke swasta pada dasarnya adalah proses privatisasi layanan transportasi. Di situ, investasi publik dipakai untuk memberi  swasta peluang menjadikan publik sebagai pasarnya.”

Di bagian akhir, Farid menulis: “Konkretnya: rakyat menanggung utang (BUMN), sementara pengusaha jalan tol dan bandara diberi kesempatan menghisap uang rakyat dari tarif tol atau tarif bandara…”

Dengan cara berpikir tersebut, Farid yang dikutip dalam sebuah artikel berita  RMOL menjelaskan, jalan tol pada dasarnya dibangun atas dasar konsumen yang rutin membayar setelah masuk pintu tol. Ia tidak sependapat jika ada pandangan tol merupakan hadiah negara. “Jalan tol pada dasarnya dibangun oleh konsumen yang membayarnya; bukan hadiah negara, apalagi presiden,” kata dia.

Sementara Pengamat Perkotaan Universitas Trisakti, Yayat Supriyatna, menyatakan bahwa jalan pada dasarnya merupakan bagian dari pelayanan masyarakat. Namun, terwujudnya kondisi jalan yang ideal, yang merupakan bukti pelayanan pemerintah kepada rakyatnya itu tidak bisa diharapkan terwujud bila publik memilih berdiam diri. Apalagi manakala banyak jalan yang rusak.

“Makanya warga juga harus kritis. Harus berpikir seperti warga AS, kami ini pembayar pajak! Mana itu upaya yang dilakukan pemerintahan?”kata Yayat. Ia  menuntut masyarakat harus kritis, agar sisi pelayanan public yang harus dilakukan pemetintah pun tidak hilang satu persatu. “Masyarakat jangan hanya diam, tak berani menyuarakan hak yang tidak dilunasi,”kata Yayat. [Tim Inilah]

Back to top button