News

Jabar Kaji Ulang Rencana Penerbitan Obligasi Daerah Senilai Rp2 Triliun


Pemerintah Provinsi Jawa Barat akan mengkaji ulang rencana penerbitan obligasi daerah senilai Rp2 triliun. Kebijakan tersebut, sebelumnya sempat diwacanakan mantan Gubernur Ridwan Kamil pada awal Juli 2023. Uang hasil penjualan obligasi ditujukan untuk mengakselerasi pembangunan infrastruktur penunjang BIJB Kertajati dan beberapa rumah sakit.

Dalam pandangan Penjabat (Pj) Gubernur Jawa Barat Bey Triadi Machmudin, sejauh ini Pemprov Jabar belum membutuhkan obligasi daerah dalam membantu proses pembangunan, karena sampai saat ini masih tercover melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

“Provinsi Jawa Barat juga termasuk mampu untuk mengeluarkan obligasi, tapi saya sebagai kepala daerah masih minta dikaji. Apakah perlu atau enggak, karena apakah sudah perlu dan cocok? Karena jangan sampai ada masalah di kemudian hari,” ujar Bey, di Bandung, Rabu (20/12/2023). 

Terlebih, kata dia, bunga yang menjadi beban pinjaman dari penerbitan obligasi daerah tidak kecil, sehingga dikhawatirkan akan memberatkan APBD di kemudian hari.

“Tingkat rate 8 persen relatif cukup tinggi. Apakah perlu seperti itu? Jadi kami juga ingin berdiskusi dengan pihak yang memiliki pemahaman tentang obligasi itu. Apakah sudah saatnya? Dan jumlahnya bagaimana? Saya lebih baik pelajari dulu, termasuk dampak kepada masyarakat seperti apa,” ucap Bey.

Sejauh ini Bey mengatakan apabila penerbitan obligasi daerah diperuntukkan untuk pembangunan infrastruktur penunjang BIJB Kertajati dan rumah sakit, sejatinya mampu ditindaklanjuti secara bertahap melalui APBD maupun bantuan dari APBN.

Kecuali untuk produktivitas, kata dia, baru memungkinkan melalui obligasi daerah karena sumber pembayarannya jelas, tidak harus dianggarkan melalui APBD.

“Ada prioritas atau misalnya obligasi digunakan untuk bangun LRT. Itu produktif tidak apa-apa. Tapi kalau seandainya rumah sakit atau pendidikan dan kesehatan harusnya cukup dipenuhi dari APBD atau APBN. Kami masih jauh, jadi kami ingin dipelajari dulu dengan seksama termasuk dampaknya. Nanti di APBD ada beban, walaupun mendapatkan dana,” ujarnya.

Terlepas dari itu, dia mengakui dengan kemampuan menerbitkan obligasi daerah, menunjukkan bahwa keuangan Pemprov Jabar sangat sehat dan tidak sulit mendapatkan pinjaman dari investor.

“Tapi apakah seperlu itu? Memang obligasi menunjukkan bahwa keuangan Jawa Barat sehat. Tapi saya minta dipertimbangkan betul, jangan sampai nanti menjadi beban. Kalau ratusan miliar, lebih baik gunakan APBD. Masih banyak pertimbangan, kalau saya lebih baik berhati-hati, jangan dulu diputuskan tahu-tahu ke depannya ada pendanaan yang lebih murah atau menjadi beban,” ujarnya.

Sebelumnya, mantan Gubernur Jabar Ridwan Kamil mengatakan Jawa Barat akan menjadi pilot project penerbitan obligasi daerah dari kementerian, dalam mengakselerasi pembangunan.

Menurut dia, kebutuhan Jawa Barat dalam membangun infrastruktur secara merata dan representatif, dibutuhkan anggaran paling tidak sekitar Rp800 triliun.

Bila dalam lima tahun, pembangunan infrastruktur mengeluarkan biaya Rp50 triliun dari APBD, maka butuh waktu hingga 80 tahun supaya infrastruktur betul-betul layak seperti yang dicita-citakan.

Oleh karena itu, butuh skema lain dalam mengakselerasi pembangunan infrastruktur, salah satunya memanfaatkan obligasi daerah.

“Kalau hanya mengandalkan APBD saja, waktunya terlalu panjang. Maka harus ada inovasi untuk mempercepat itu. Khususnya infrastruktur. Kalau infrastruktur dibangunnya di awal, maka dia akan mengakselerasi ekonomi yang menjadi fasilitasi infrastruktur,” ucap Ridwan Kamil.

Guna merealisasikan ini, dia mengatakan tinggal membuat kesepakatan bersama dengan DPRD Jawa Barat dalam mengambil keputusan, dia berharap, cita-cita ini dapat sejalan dengan DPRD sehingga percepatan pembangunan dapat segera tercipta.

Selain itu, Ridwan Kamil turut meminta faktor-faktor politis tidak dilibatkan dalam upaya ini, supaya pembangunan Jawa Barat tidak terhambat, sebab menurut dia, siapapun pemimpin Jawa Barat kelak pasti sepakat dalam percepatan pembangunan yang secara merata.

“Ini kan sifatnya jangka panjang. Masa jabatan gubernur hanya lima tahun. Hal-hal yang sifatnya politis begini yang menghalangi kemajuan pembangunan. Pembangunan tidak bisa diukur lima tahun, ada sekian persen berkelanjutan siapapun pemimpin daerah,” katanya.

Back to top button