Market

INILAHREWIND: Ironi Minyak Goreng di Negeri Penghasil CPO Terbesar Dunia

Aneh bin ajaib, bisa-bisanya minyak goreng curah dan kemasan mendadak raib dari pasaran di Indonesia. Ini jelas ironi karena Tanah Air notabene merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia.

Gelar produsen sawit terbesar di dunia itu mendapat dukungan dari besarnya area penanaman kelapa sawit. Baik panjang maupun lebarnya, perkebunan sawit selalu meluas setiap tahunnya. Angka ekspor kelapa sawit pun mencapai angka yang tertinggi di dunia.

Produksi minyak sawit Indonesia hingga akhir 2022 sudah diprediksi naik 8-10% ketimbang tahun 2021. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mencatat, total produksi minyak sawit Indonesia 2021 mencapai 51,30 juta ton.

Dari jumlah tersebut, produksi minyak sawit mentah atau crude palm oil alias CPO tercatat sebanyak 46,88 juta ton. Sedangkan, 4,41 juta ton lainnya merupakan minyak inti sawit mentah atau crude palm kernel oil alias CPKO.

Total konsumsi lokal tahun 2021 adalah 18,42 juta ton, sedangkan 34,23 juta ton lainnya dipasok ke pasar ekspor. Sebanyak 8,95 juta ton konsumsi lokal adalah untuk pangan, sisanya merupakan oleokimia dan biodiesel.

Sejauh ini Indonesia pun berhasil menciptakan tak kurang dari 46.500 produk komoditas minyak sawit. Hasil ini meningkat sebanyak 2,20 persen dari tahun sebelumnya. Akibatnya, banyak negara yang mengimpor hasil sawit tersebut, di antaranya Uni Eropa, India, Pakistan, dan Afrika.

Namun sayang disayang, penghasil CPO terbesar dunia ini mengalami ironi. Ironi kelangkaan minyak goreng yang terjadi sejak awal-awal 2022. Minyak goreng yang notabene berbahan baku CPO. Penghasil CPO terbesar tinggal gelar dan tidak berkorelasi positif dengan ketersediaan pasokan dan stabilitas harganya saat itu.

Antrean panjang pembelian minyak goreng curah yang mengular terjadi di mana-mana di berbagai daerah. Itu bukan hanya menjadi pemandangan lumrah di Jakarta tapi juga nyaris ada di seluruh pelosok Tanah Air.

Dua orang emak-emak di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, bernama Sandra (41) dan Rita Riyani (49) bahkan meninggal dunia saat mengantre minyak goreng di salah satu pusat ritel di Kecamatan Teluk Bayur, Sabtu (12/3/2022). Keduanya kembali ke alam baka gara-gara urusan minyak goreng.

Ini jelas tragedi sekaligus ironi di Kalimantan Timur, yang juga merupakan produsen terbesar CPO di Indonesia.

Padahal, sebelum kejadian nahas itu pemerintah sudah menetapkan harga eceran tertinggi (HET) untuk minyak goreng berdasarkan jenisnya yang berlaku mulai 1 Februari 2022. Sebelumnya juga berlaku minyak goreng satu harga, Rp14 ribu per liter mulai 19 Januari 2022.

Kebijakan itu ditempuh lantaran lonjakan harga minyak goreng akibat terus menguatnya harga CPO hingga cetak rekor. Pada akhir April 2022, harga CPO ditutup di MYR7.104 per ton yang merupakan rekor tertinggi sepanjang sejarah.

Dalam sebulan, harga CPO meroket 24,52%. Ini adalah kenaikan bulanan tertinggi dalam 10 tahun terakhir.

Meski pemerintah sudah menetapkan HET, faktanya di lapangan pasokan minyak goreng tetap raib alias gaib. Inilah yang menyebabkan bantuan subsidi minyak goreng curah selalu memicu kerumunan dan antrean panjang di mana-mana.

Penyebab antrea itu lantaran distribusinya dilakukan melalui dinas-dinas tertentu termasuk kepolisian. Sementara pedagang pasar yang sejatinya dapat memecah konsentrasi antrean, tidak tidak dilibatkan.

Yang terjadi adalah tak jarang emak-emak dan mungkin juga bapak-bapak dari kelompok orang-orang kaya turut mengantre. Mereka membeli minyak goreng murah untuk dijual kembali alias menjadi spekulan. Sejatinya, minyak bersubsidi itu juga didistribusikan melalui para pedagang pasar sehingga tidak terjadi penumpukan pembeli.

Keengganan para pengusaha CPO untuk memasok cadangan sawit dan minyak goreng mereka ke pasar domestik salah satu akar masalah. Bagi eksportir, itu terlihat masuk akal lantaran harga di pasar ekspor jauh lebih mahal.

Namun, para pengusaha itu rupanya lupa, tanah yang mereka gunakan untuk menanam sawit merupakan konsesi dan milik negara. Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 33 ayat (3) menegaskan, bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Dalam konteks ini, sangat wajar pemerintah mengeluarkan peraturan terkait kewajiban pemenuhan dalam negeri atau domestic market obligation (DMO) bagi CPO sebesar 30 persen.

Akan tetapi, alih-alih dapat mengatasi kelangkaan, aturan DMO justru dituding jadi salah satu penyebab kelangkaan minyak goreng.

Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga, di Jakarta, Kamis (17/3/2022) malah menilai, kebijakan DMO CPO menjadi penyebab utama kelangkaan minyak goreng.

Menurut dia, seperti dikutip salah satu media online nasional, eksportir CPO terpaksa harus memenuhi kewajiban pasar domestik sebesar 30 persen terlebih dahulu. Setelah itu, baru mereka bisa melepasnya ke pasar luar negeri.

“Tapi yang tidak eksportir memang tidak bisa dapat sawit yang murah, jadi mereka mangkrak (produksi minyak goreng dari CPO),” timpal Sahat.

Eksportir disebutnya enggan melepas CPO ke pasar domestik lantaran justru merugi. Sebab, harga kekinian CPO saat itu jauh di atas ketentuan HET minyak goreng, yang sebelumnya dibanderol maksimal Rp14.000 per liter.

Mafia Minyak Goreng

Selain faktor keengganan pengusaha sawit memasok kebutuhan minyak goreng dalam negeri, dugaan mafia yang terbukti keberadaannya juga turut memperparah persoalan. Muhammad Lutfi, Menteri Perdagangan (Mendag) saat itu teriak-teriak soal mafia minyak goreng.

Namun, menteri yang pada akhirnya kena reshuffle dan digantikan Zulkifli Hasan itu seperti menepuk air di dulang tepercik muka sendiri. Peribahasa ini cocok untuk menggambarkannya karena ternyata anak buahnya sendiri yang diduga menjadi biang keladi.

Pertengahan Maret 2022, Mendag Lutfi menyebut ada mafia di balik kelangkaan minyak goreng, baik jenis curah maupun kemasan. Di berbagai kesempatan dan di depan anggota dewan, anak buah Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu mengatakan, praktik yang dilakukan oleh para mafia tersebut antara lain mengalihkan minyak subsidi ke minyak industri atau mengekspor minyak goreng ke luar negeri.

Namun, Lutfi tak kunjung mengumumkan siap mafia yang ia maksud sebagaimana ia janjikan. Pengumuman itu justru datang dari Kejaksaan Agung, bukan Mabes Polri seperti dijanjikan Lutfi. Korps Adhiyaksa itu mengumumkan adanya permufakatan jahat antara sejumlah pengusaha dan pejabat yang membuat minyak goreng menghilang dari pasaran.

Empat orang ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi. Salah satu tersangka yang dirilis Kejagung adalah Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag, Indrasari Wisnu Wardhana. Wisnu diduga menerbitkan izin ekspor kepada sejumlah perusahaan produsen kelapa sawit secara melawan hukum.

Tangan Dingin Mendag Zulhas

Singkat cerita, harga jual minyak goreng terpantau mulai turun. Penurunan ini terjadi bersamaan dengan momen larangan ekspor CPO dan minyak goreng, serta terungkapnya mafia kasus terkait komoditas ini oleh Kejaksaan Agung.

Penurunan harga itu paling tidak terlihat di Indogrosir Tangerang pada Minggu (24/4/2022). Harga minyak goreng merek Hemart kemasan satu liter dibanderol Rp24.700.

Persoalan kelangkaan minyak goreng semakin menemui titik terang setelah Presiden Joko Widodo menunjuk Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan sebagai Menteri Perdagangan menggantikan Muhammad Lutfi.

Hal itu diumumkan pada acara pelantikan di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (15/6/2022) siang. Jokowi memberikan mandat kepada Zulhas, sapaan akrabnya, untuk menyelesaikan kelangkaan dan mahalnya harga minyak goreng saat itu.

Zulhas pun usai dilantik berjanji untuk menyelesaikannya dalam waktu tak lebih dari dua pekan. Dengan tangan dinginnya itu, ia pun seoalah menjadi oase di tengah ironi kelangkaan salah satu barang kebutuhan pokok itu di negeri produsen minyak sawit terbesar dunia.

Back to top button