Market

Ini Alasan Ekonom Ragukan Ganjar Serius Wujudkan Transisi Energi Hijau

Calon presiden (Capres) Ganjar Pranowo menyatakan sangat dukungan terwujudnya energi ramah lingkungan atau energi hijau. Namun bagaimana peluangnya?

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira meragukan komitmen Ganjar dalam merealisasikan transisi energi fosil ke hijau. “Dengan track record di bidang lingkungan yang tidak terlalu baik, mungkin Ganjar butuh kerja keras, ya. Terutama meyakinkan dunia internasional untuk membantu Indonesia,” kata Bhima, Jakarta, dikutip Rabu (29/11/2023). 

Di sisi lain, Bhima sepakat bahwa transisi energi perlu modal besar. Ganjar menyebut angkanya Rp1.300 triliun. “Pendanaan sebenarnya bisa didorong lewat kebijakan pemerintah dan kerja sama internasional. Evaluasi dulu semua subsidi dan insentif APBN untuk sektor energi fosil. Alihkan bertahap ke energi terbarukan. Ini butuh keberanian politik,” kata Bhima.

Untuk mendorong transisi energi di level komunitas, lanjutnya, bisa dengan meningkatkan alokasi KUR khusus untuk energi baru terbarukan (EBT) sebesar 30 persen dari total program. “Revisi taksonomi hijau yang tidak memberikan ruang bagi peningkatan kredit ke sektor ekstraktif juga bisa membantu bank fokus menambah porsi kredit ke sektor EBT,” ungkapnya.

Taksonomi hijau, lanjut Bhima, jangan memberi ruang misalnya batubara dapat kategori kuning. Hal itu justru membuat perbankan malas menyalurkan kredit sektor energi terbarukan. “Kemudian bisa juga lewat realokasi dana desa. Misalnya 20 persen dari total anggarannya yang mencapai Rp70 triliun per tahun, difokuskan untuk pembangkit skala mikro di desa,” kata Bhima.

Dari sisi kerja sama internasional, menurut Bhima, tersedia Green Belt Road Initiative yang nilai komitmennya mencapai US$56 miliar, atau sekitar Rp873,6 triliun.

“Dan, program JETP (Just Energi Transition Partnership) perlu diarahkan untuk memberi dana hibah lebih besar. Tantangan yang sering mengganjal dari sisi pendanaan adalah berbagai regulasi di level kementerian dan arah reformasi PLN yang seringkali inkonsisten dengan percepatan bauran EBT yang lebih besar,” pungkasnya.

Sebelumnya, Ganjar menyatakan siap menjalankan transisi energi fosil menuju energi hijau, menuju energi baru dan terbarukan (EBT). Namun untuk wujudkan perlu modal, sekitar Rp1.300 riliun. “Kalau kita mau memperbaiki, mencegah, mengurangi kerusakan lingkungan dan seterusnya, kita butuh Rp 1.300 triliun,” ujar Ganjar.

Dia menekankan setiap kali melakukan transisi, harus dibarengi dengan penciptaan lapangan pekerjaan baru. “Kenapa? karena itu yang dibutuhkan. Upaya dari transisi menuju energi hijau ini nantinya berpotensi menyerap 3,7 juta lapangan pekerjaan baru,” kata dia.

Di samping itu, pembaruan dan perkembangan pendidikan juga dibutuhkan untuk memaksimalkan penyerapan tenaga kerja ini. “Tapi yang dibutuhkan lapangan kerja, skill set itu juga mesti ditingkatkan. Teknik lingkungan, teknik pangan, data scientiest, recyclable material,” tuturnya.

Back to top button