Kanal

Koalisi Perubahan, Anies, dan Masa Lalu yang Menjanjikan AHY

“Politik adalah seni kemungkinan,” kata negarawan Jerman abad ke-19, Otto von Bismarck. Sebuah seni yang tampaknya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) masih berjuang untuk menguasainya. Mantan perwira militer Indonesia ini, yang sempat dijagokan sebagai sosok yang akan membawa angin segar ke peta politik Indonesia, kini terjepit dalam labirin koalisi.

Seiring berjalannya waktu, nama AHY dalam bursa koalisi tampaknya semakin terpinggirkan. Sekuat apapun aura putra sulung dari mantan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini, ia ternyata tak mampu bertahan di antara dinamika politik yang kian kompleks. Bagaimana bisa nasib AHY berubah sedemikian rupa, padahal di awal ia diberi ruang yang cukup terbuka?

Pada fase awal, AHY disebut sebagai salah satu nama yang berpotensi membawa angin segar dalam konstelasi politik Indonesia. Meski digadang sebagai 'the last resort', ia muncul dalam pertemuan-pertemuan penting koalisi sebagai tokoh yang berpotensi meredam kegaduhan politik.

Memasuki Agustus, datang kabar yang cukup mengejutkan. Sumber dari dalam mengindikasikan adanya ultimatum dari pihak Koalisi Perubahan untuk deklarasi Anies-AHY sebelum tanggal 3 September. Tenggat waktu ini, yang awalnya disebut sebagai langkah strategis, mulai menciptakan gesekan. Nasdem, salah satu partai penting dalam koalisi, merasa gerah.

Wakil Ketua Umum Partai NasDem, Ahmad Ali, menegaskan bahwa mandat eksplisit telah diberikan kepada Anies Baswedan untuk memilih wakilnya. “Pilihan wakil ini harus bisa memaksimalkan dukungan di wilayah di mana Anies belum kuat,” kata Ali saat dihubungi inilah.com.

Sebagai contoh, jika Anies Baswedan menunjukkan kelemahan dalam meraih dukungan di wilayah tertentu atau dari kelompok demografis tertentu, pilihan calon wakil presidennya harus mampu menyeimbangkan dan mengatasi kekurangan tersebut.

Dalam dunia politik, keputusan seperti ini seringkali menjadi rumit dan penuh pertimbangan. Nasdem, yang dipimpin oleh Surya Paloh, dikenal dengan independensinya. “Nasdem tidak mau tekanan politik mempengaruhi keputusan strategis mereka,” kata Direktur Eksekutif Indonesian Presidential Studies (IPS), Nyarwi Ahmad.

Tidak ada yang bisa memastikan faktor spesifik apa yang membuat AHY kehilangan momentum ini, namun satu hal yang jelas: Nasdem merasa kehilangan kemandirian. Kelemahan AHY di mata Nasdem bisa jadi lebih dari sekedar ketidaknyamanan terhadap ultimatum; ia mungkin dianggap tidak cukup kuat untuk menjadi sosok yang bisa memimpin dan menyatukan beragam kepentingan dalam koalisi.

“AHY memiliki karisma, tetapi dalam politik, karisma saja tidak cukup,” ungkap Nyarwi Ahmad. “Anda perlu kekuatan dalam negosiasi dan diplomasi, sesuatu yang mungkin kurang dari AHY,” tambahnya.

post-cover

Selain itu, pertimbangan lain yang mungkin mempengaruhi nasib AHY adalah kecenderungan basis suara PKB yang besar di Jawa Timur.

“Pilihan bagi koalisi menjadi arena pertempuran tiga poros koalisi dalam pemilihan presiden 2024,” kata Peneliti bidang politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Siti Zuhro.

Basis suara PKB berada di Jawa Timur. Dalam Pemilu 2019, PKB meraih 4,19 juta suara di Jawa Timur dan hanya berselisih 121 ribu dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang berada di urutan pertama.

“Faktor ini kenapa NasDem mendadak meminang PKB karena NasDem punya kelemahan suara di Jawa Timur,” kata Zuhro.

“Memang dilematis untuk Demokrat. Tapi Demokrat pastinya sudah menghitung juga. Menghitung Ketika dia sudah mengatakan out dari koalisinya Anies, itu dia menghitung juga nanti akan kemana,” tambah Zuhro.

Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno, sependapat dengan Siti Zuhro. Adi mencontohkan bagaimana Partai NasDem yang memilih mengusung Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar sebagai calon wakil presiden untuk mendampingi Anies Rasyid Baswedan sebagai calon presiden. Muhaimin merupakan cucu pendiri Nahdlatul Ulama, KH Bisri Syansuri.

“Karena Jawa Timur dikonotasikan sebagai markas NU, tidak mengherankan jika calon presiden, seperti Prabowo Subianto dan Anies Baswedan maupun Ganjar Pranowo, mencari figur pendamping yang dapat diidentifikasi sebagai NU,” kata Adi.

post-cover

Politikus Demokrat, Santoso menegaskan alasan di balik keputusan Demokrat yang menjadikan AHY sebagai cawapres bersama Anies Baswedan. “Pertama, karena elektabilitas AHY yang tinggi dibanding cawapres lain saat itu. Ditambah, sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, AHY juga mewakili kaum muda atau milenial,” kata Santoso kepada inilah.com. Ini, disebutnya, adalah perpaduan antara popularitas dan representasi demografis yang dianggap Demokrat sebagai kunci sukses.

Tak hanya itu, kursi yang dimiliki oleh Partai Demokrat di parlemen juga menjadi pertimbangan. “Kami memiliki kursi sebanyak 54, sementara PKS, yang juga menjadi anggota koalisi, mempunyai 51 kursi,” lanjut Santoso.

Saat ditanya tentang langkah ke depan partainya, mengingat AHY sudah terdepak dari koalisi, Santoso menyatakan, “Kami tetap konsisten menjaga integritas atas apa yang sudah diputuskan.” Keputusan ini juga berpengaruh pada masa depan partai. Menurut UU Pemilu 2017, jika sebuah partai tidak mencalonkan capres-cawapres, maka partai tersebut tidak bisa mencalonkan capres-cawapres pada pemilu lima tahun ke depan. “Pilihannya tinggal dua: ke Pak Prabowo bergabung dengan KIM atau ke Ganjar yang bakal capres dari PDIP,” papar Santoso.

Demokrat, menurut Santoso, memprioritaskan tagline “Perubahan & Perbaikan” dalam setiap keputusannya. “Ini mencerminkan tujuan kami untuk membawa perubahan dan perbaikan bagi NKRI untuk kepentingan rakyat,” jelasnya.

post-cover

Kemudian, Santoso membantah kabar yang menyebutkan bahwa Demokrat enggan bertemu Anies. “Yang benar itu adalah Anies memutuskan Muhaimin sebagai cawapres tanpa mengajak bicara Demokrat,” katanya. Bahkan, menurutnya, nama Muhaimin tidak pernah muncul sebagai nominator cawapres Anies selama satu tahun pembentukan koalisi. “Anies bagi Demokrat adalah masa lalu yang tidak perlu diungkit lagi,” tegas Santoso.

Pada akhirnya, nama Muhaimin Iskandar atau yang lebih akrab dikenal sebagai Imin, muncul sebagai pilihan yang lebih 'aman'. Sebagai Ketua Umum PKB, Imin dianggap mampu membawa keseimbangan dalam dinamika koalisi.

Mungkinkah AHY akan memetik pelajaran dari kegagalannya ini? Ataukah Nasdem akan menyesal telah melewatkan seorang tokoh dengan potensi besar? Pertanyaan-pertanyaan ini mungkin akan terjawab di masa mendatang. Namun, satu hal yang pasti: politik adalah ladang yang penuh dengan ketidakpastian. Anda bisa menjadi bintang di satu momen, dan kehilangan semua itu dalam sekejap.

Dengan keputusan ini, skenario politik Indonesia masih akan berubah, dan kita hanya bisa menunggu dan melihat. Bagi AHY, ini mungkin adalah babak baru yang perlu ditulis dengan lebih hati-hati dan penuh perhitungan. Bagi Nasdem dan koalisi, ini adalah tes untuk melihat apakah keputusan mereka akan berbuah manis atau pahit. [Mihardi/Diana/Reyhanaah] 

Back to top button