Market

Hikmah Ledakan Smelter di Morowali, FPKS Ungkap Alasan Hilirisasi harus Dievaluasi


Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto mengkritik keras pelaksanaan program hilirisasi sumber daya alam (SDA) di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) banyak merugikan negara dan merusak lingkungan hidup.  

Karena itu, belajar dari ledakan yang terjadi pada smelter PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel (ITSS), di kawasan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) pada Minggu (24/12/2023), ia berharap agar ke depan ada sosok presiden yang berani mengoreksi dan mengevaluasi program hilirisasi SDA ini.

“Tujuannya agar pengelolaan SDA dapat digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat,” tegas Mulyanto dalam keterangan yang diterima inilah.com di Jakarta, Rabu (27/12/2023).

“Kalau tidak ada tindakan korektif dari pemerintah kita khawatir, smelter ini akan menjadi mesin pembunuh para pekerja kita,” sambungnya.

Tak hanya itu, kasus PT ITSS juga menjadi evaluasi agar pemerintah dapat mengaudit total industri smelter, demi keselamatan pekerja.  “Selain itu Presiden dan Pemerintah ke depan harus mengkaji ulang program hilirisasi mineral yang digencarkan Presiden Jokowi,” ujarnya.

“Sudah banyak kritik yang diberikan berbagai pihak terhadap program hilirisasi ini namun kurang direspons dengan baik oleh pihak Pemerintah. Yang sering muncul hanyalah pembelaan,” katanya memaparkan.

Hingga Selasa (26/12/2023) petang kemarin, PT Kawasan industri Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) mencatat korban 51 korban. Dengan korban meninggal dunia berjumlah 18 orang terdiri dari 10 orang tenaga kerja Indonesia dan delapan tenaga kerja asing (TKA) asal China. Para korban meninggal telah diberangkatkan ke rumah keluarga mereka masing-masing.

Lebih lanjut, Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI ini menambahkan sampai hari ini industri smelter mendapat banyak keuntungan, mulai dari harga bijih ore yang murah, tax holiday, kemudahan mendatangkan peralatan dan mesin, TKA. Belum lagi sumber energi yang kotor, produk nikel yang bernilai tambah rendah berupa NPI (nickel pig iron) dan Feronikel dengan kandungan nikel kurang dari 10 persen, bebas bea ekspor, dan lainnya.

“Karena itu kita meragukan optimalitas penerimaan negara dari industri smelter ini. Memang nilai ekspornya tinggi, tetapi keuntungan yang diperoleh sebagian besar masuk ke negara asal investor, bukan menjadi penerimaan negara kita,” ungkap Mulyanto.

Padahal, lanjut dia, di sisi lain cadangan nikel kita makin menipis tinggal di bawah 10 tahun operasi. “Ketika terjadi kasus di Blok Mandiono dan dilakukan pelarangan penambangan nikel di blok itu, beberapa industri smelter terpaksa melakukan impor bijih nikel,” terangnya.

“Ke depan, yang perlu kita percepat adalah industrialisasi mineral dengan nilai tambah dan multiflier effect yang tinggi, bukan sekedar hilirisasi setengah hati dengan produk setengah jadi dengan nilai tambah rendah,” ujar Mulyanto menambahkan.

Ia mengingatkan bahwa jangan sampai nikel terlanjur habis, saat kelak dibutuhkan untuk industrialisasi.

Back to top button