News

Syarat Wujudkan Pemerintahan yang Beretika, Mahfud: Jangan Takut Hukum tapi Ditaati

Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan semua pihak baik masyarakat maupun aparat pemerintahan harus merubah mindset soal hukum. Karena pola pikir yang tertanam saat ini, hukum harus ditakuti. Padahal, menurutnya, hukum itu seharusnya jangan ditakuti tapi ditaati. Maka etika akan tumbuh dengan sendirinya.

“Kok hidup hanya takut pada hukum, tidak boleh. Hukum itu hanya sebagian dari pengontrol, sedangkan sebagian lainnya ada di (hati). Itu yang disebut dengan integritas,” jelasnya dalam Peluncuran dan Dialektika Buku Etika Pemerintahan, di Jakarta Pusat, Jumat (5/5/2023).

Dengan demikian, harapan masyarakat untuk bisa mewujudkan pemerintahan yang beretika, akan terealisasi. “Seringkali saya bilang sudahlah kalau mau hidup bernegara dengan baik, mau taat kepada Pancasila, itu jangan hanya taat kepada aturan hukumnya, tapi taatilah nilai-nilai etika dan moralnya,” tegasnya.

Ia mengingatkan etika dalam pemerintahan bukan saja penting tapi juga merupakan prasyarat terwujudnya pemerintahan yang bersih dan baik. “Jika kita masih banyak menemukan korupsi, abuse of power, maraknya industri hukum, pelanggaran HAM, tidak adanya transparansi dan akuntabilitas dalam kerja-kerja pemerintahan, hal itu menunjukkan bahwa etika pemerintahan kita belum diimplementasikan dengan baik,” tutur dia Mahfud.

Mahfud menyebut sering kalinya etika diabaikan oleh pemerintah karena etika tidak dikemas dalam bentuk hukum. Tapi di sisi lain hukum pun saat ini sudah menjadi produk politik yang bisa dipermainkan oleh siapa saja. Rujukannya, tutur dia, bisa dilihat dari turunnya indeks persepsi korupsi.

“Kaget kita, apa yang banyak terjadi? Terjadinya sesudah saya undangkan transparansi internasionalnya, kenapa sih pemerintah sudah berusaha memberantas korupsi, tapi indeks korupsinya turun,” ujarnya.

Mahfud berkesimpulan bahwa dalam prosesnya banyak terjadi pelanggaran etika, seperti adanya rangkap jabatan yang didasarkan adanya konflik kepentingan di dalamnya. “Bikin proyek dengan pemerintah dinego dengan ketua DPR-nya, ketua DPR atau ketua DPRD tidak punya perusahaan, tapi dia membuat memo kalau nanti proyek disetujui harap yang garap (pihak) ini,” jelas Mahfud.

“Pemerintah daerah banyak yang begitu, di pusat ada temuannya dari transparansi internasional. Kenapa? Ya karena korupsi di bidang perundang-undangan, aturan-aturan itu sudah bisa dipesan,” sambungnya.

Pada kasus lainnya, pelanggaran etika juga ditemukan pada lembaga pajak atau kepabeanan. Menurut temuan yang Mahfud dapatkan ada saja oknum yang membuat kesepakatan terhadap wajib pajak untuk mencari keuntungan.

“Kepabeannya berapa bawa barang ini, pajak kamu berapa, Rp50 Miliar, oke bayar Rp5 Miliar, Rp45 Miliar bagi dua oleh aparat diperpajakan, ini temuan loh bukan saya yang memfitnah,” tegasnya.

Hal-hal seperti ini, tambah Mahfud yang justru membuat indeks persepsi korupsi Indonesia menurun. Selain itu, fenomena ini menunjukkan bahwa masyarakat hanya takut kepada hukum bukan menaatinya.

“Saudara itu artinya apa? Orang kalau hanya takut kepada hukum, negara tidak akan beres. Oleh sebab itu, orang itu harus mentaati etika, bukan hanya mentaati hukum,” pungkas Mahfud.

Back to top button