Market

Garap Ekonomi Kelautan, Paslon Ganjar-Mahfud Siap Hadapi Konflik Kepentingan?

Pasangan calon (Paslon) Ganjar Pranowo dan Mahfud MD dalam program kerjanya, menaruh perhatian pada tata kelola laut yang inklusif dan berkelanjutan dengan pengoptimalan pemanfaatan sektor kelautan.

Namun, Pengamat Maritim dari Ikatan Alumni Lemhannas Strategic Center (ISC), Marcellus Hakeng Jayawibawa mengatakan ada beberapa tantangan jika program ini dilakukan ke depan.

Pertama, persepsi masyarakat. Masyarakat Indonesia masih memiliki persepsi Indonesia adalah negara agraris sehingga kurang menyadari potensi maritimnya. “Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan sosialisasi dan edukasi untuk mengubah persepsi masyarakat,” ujar Marcellus kepada inilah.com saat dihubungi di Jakarta, Minggu (22/10/2023).

Tantangan kedua, yakni kebijakan pemerintah yang tidak mendukung pengembangan sektor kelautan sehingga menghambat implementasi program ini. Ketiga, tentu jika program ini berjalan akan terdapat konflik kepentingan antara berbagai pihak yang berkepentingan dengan sektor kelautan, yang dapat menghambat implementasi program ini.

Selanjutnya, luas wilayah lautan Indonesia yang begitu besar. Dua pertiga wilayah Indonesia adalah lautan tentunya menjadi tantangan tersendiri dalam Pembangunan sektor Maritim.

Apalagi di dalamnya terdiri dari 17.508 pulau, dan hanya 6.000 pulau-pulaunya saja yang berpenghuni. Dari 6.000 pulau yang berpenghuni tersebut baru memiliki 3.000 pelabuhan.

“Jadi kebutuhan anggaran untuk membangun Infrastruktur kita menuju negara maritim sangatlah besar,” jelasnya.

Di sisi lain, ia menilai tentu program menjadikan Indonesia sebagai negara maritim yang kuat dan berkelanjutan sangat relevan, dengan situasi saat ini. “Hal ini karena Indonesia sebagai negara memiliki potensi maritim yang sangat besar, namun belum sepenuhnya dimanfaatkan secara optimal,” imbuh dia.

Menurut data World Bank, lanjutnya, potensi ekonomi kelautan Indonesia mencapai US$1,4 triliun per tahun. Potensi ini mencakup berbagai sektor, seperti perikanan, pariwisata, energi, dan logistik.

Namun, pemanfaatan sektor-sektor tersebut masih terhambat oleh berbagai faktor, seperti kemiskinan, infrastruktur yang tidak memadai, dan konflik kepentingan. “Jika pemanfaatan sektor maritim ini dioptimalkan, tentu dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kemakmuran bangsa,” tuturnya.

Selain itu, Marcellus setuju dengan pandangan Ganjar-Mahfud terkait Indonesia adalah negara maritim. Untuk itu harus membangun kesadaran terhadap kekuatan dan posisi Indonesia yang akan membentuk paradigma baru.

Laut adalah pemersatu, laut adalah jalan masa depan sekaligus kekuatan ekonomi, konektivitas, diplomasi, serta pertahanan dan keamanan Indonesia. “Laut harus lah dimanfaatkan, dijaga, dan dirawat secara berkelanjutan agar bermuara pada kedaulatan negara dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia,” tutur dia.

Meski sub program dalam ekonomi biru ini sudah cukup relevan dengan situasi saat ini, tentu juga harus ditopang oleh berbagai hal, seperti peningkatan kapasitas SDM serta pembangunan infrastruktur dan pengembangan teknologi.

“Terkait implementasinya, maka dapat saya katakan di sini bahwa saat ini pandangan dunia secara geopolitik, sebenarnya sedang bergeser ke kawasan indo Pasifik. Artinya pergeseran aktivitas dan pandangan tersebut tentu saja, mengakibatkan wilayah maritim Indonesia kembali menjadi perlintasan strategis,” tegasnya.

Lintasan Maritim Indonesia melalui ketiga ALKI-nya bagaikan tiga gadis cantik yang menari-nari dan menarik perhatian kapal-kapal untuk datang dan melintasinya. Indonesia harus sadar dengan posisinya secara geopolitik dan geostrategis tersebut.

Oleh karena itu, tentu Indonesia harus mampu memaksimalkan sisi positif program ini, sambil harus dibarengi dengan menciptakan ide-ide kreatif. “Sehingga setengah jutaan kapal yang melintasi perairan Indonesia tersebut yang biasanya hanya sekedar lewat saja, bisa kita nikmati nilai keekonomiannya,” ungkap Marcellus.

Kebijakan ini bisa mulai dengan memikirkan dibuatnya semacam ‘Rest Area’ di beberapa titik strategis perlintasan kapal-kapal besar tersebut. “Tentunya kita harus menciptakan stimulus sehingga mereka mau tertarik untuk berhenti di ‘Rest Area’ tersebut dibanding berhenti di Singapura atau wilayah lain, sebagaimana secara tradisional mereka lakukan,” paparnya. 

Back to top button