Kanal

Ganjar, Kepo-Usil dan Hantu Makura Gaeshi

Hampir seluruh peradaban dunia tidak memberi tempat yang baik untuk sikap “kepo” dan usil. “Mereka yang mencampuri urusan orang lain, akan mendengar apa yang tidak mereka sukai,” kata peribahasa Libya. “Mengapa orang dengan pikiran paling sempit tampaknya memiliki mulut yang paling lebar?”kata pengarang dan matematikawan Inggris plus penulis “Alice In Wonderland”, Lewis Carroll.

Oleh   :  Darmawan  Sepriyossa

Meski tidak setipis kulit bawang, kadang perbedaan antara peduli dan istilah generasi Z, “kepo”, yang juga mengandung makna usil, tak segampang memperbandingkan antara hitam dengan putih. Kematangan pribadi dan kebijakan personal seiring pendidikan dan usia, biasanya sangat mempengaruhi.  Selain itu, seberapa kental sisi sosial mengemuka dalam “kekepoan” atau kepedulian tersebut, juga sangat jelas membedakan apakah seseorang memang benar-benar peduli, atau sejatinya tak lebih dari “kepo” semata.

Akibatnya, di hampir semua peradaban, sikap “kepo” tak banyak mendapatkan penghargaan. “Mereka yang mencampuri urusan orang lain, akan mendengar apa yang tidak mereka sukai,” kata peribahasa Libya. Tak jarang sikap tidak simpatik terhadap perilaku “kepo” tersebut meruncing menjadi antipati dan bahkan sebuah stereotipe. Kebodohan, kekurangdewasaan, atau sifat-sifat tidak mulia lainnya yang ada pada manusia. “Mengapa orang dengan pikiran paling sempit tampaknya memiliki mulut yang paling lebar?”kata pengarang dan matematikawan Inggris plus penulis “Alice In Wonderland”, Lewis Carroll.

Bahkan, “Orang bodoh terbesar adalah orang yang memikirkan urusan orang lain daripada mengurus urusannya sendiri,”kata Prof Amit Abraham, seorang akademisi, psikolog dan penulis India. Dalam nada yang lebih santun, pemenang Nobel plus penemu bahan radioaktif, Radium, Marie Curie berkata “Orang awam ingin tahu soal orang. Orang bijak ingin tahu soal ide.”

Pepatah Libya itu benar terjadi pada Pak Ganjar Pranowo, Sabtu (24/6) lalu. Setidaknya, Pak Ganjar tidak mendapatkan respons yang ‘sekufu’ manakala ia menelepon Penjabat Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono. Ganjar yang tengah blusukan di Pasar Anyar Bahari, Warakas, Jakarta Utara, untuk menampung keluhan para pedagang, bermaksud mengadukan segala sengkarut yang terjadi di sana kepada Heru.

“Halo, Pak Gubernur,”sapa Ganjar kepada Heru melalui sambungan telepon. “Ini Pak, saya mau sampaikan keluhan pedagang yang ada di Pasar Anyar Bahari,”ujar Ganjar.  Namun pembicaraan tak berlanjut. “Mohon maaf Mas, saya lagi kondangan,”jawab Heru dari seberang. Lantas sambungan telepon pun langsung ditutup. Setidaknya menurut laporan sekian banyak media, termasuk Liputan6.com.

Nah, dalam soal telepon Pak Ganjar kepada Heru Budi, apakah yang terjadi merupakan contoh kepedulian Pak Ganjar terhadap para pedagang Pasar Anyar Bahari, atau justru lebih tepat menjadi contoh sikap “kepo” yang salah tempat? Karena jarak antara “kepo” ke peduli tidaklah serupa dengan zona waktu 180 derajat, melainkan datang dalam gradasi, menurut saya, kita bisa membedakannya dengan mengembalikan pada sisi sosial sikap tersebut. Seberapa kental sisi sosial terasa dalam aktivitas itu? Menampung keluhan pedagang, dan karena Ganjar seorang sejawat Penjabat Gubernur DKI Jakarta, ia bisa menyampaikan langsung keluhan tersebut kepada Heru Budi. Itu jelas sebuah perilaku yang kental dengan sikap sosial.

Sayangnya, ada faktor lain yang membuat sisi sosial Ganjar itu menjadi terlemahkan untuk dikatakan sebagai sebuah kepedulian. Ganjar, meski belum resmi berada dalam kontestasi karena bendera start belum dikebut KPU, saat ini adalah seorang calon presiden. Kita dapat bercuriga bahwa segala aktivitas Ganjar adalah pengabdiannya kepada tujuannya untuk bisa duduk di kursi presiden. Soal “Innamal a’malu bin niyat”-nya Ganjar biarlah menjadi rahasia pribadinya dengan Allah, Tuhan Sang Khalik. Saat ini, sebaiknya publik memaknainya secara rasional, dewasa dan penuh dengan sikap skeptis.

Apalagi manakala aktivitas itu dihubungkan dengan posisi Ganjar yang masih merupakan kepala daerah, yakni gubernur Provinsi Jawa Tengah. Publik wajar mempertanyakan mengapa Ganjar tidak melakukan hal itu di wilayah tempat ia mengemban amanah? Tidak heran bila jurnalis cum aktivis Dandhy Dwi Laksono, kontan mengunggah status di Twitter-nya, @Dandhy_Laksono,”Heru Budi telepon Ganjar dan Sekda Jateng Adukan Keluhan Petani Kendeng, Wadas, Urutsewu, Dieng, Pati,  Sukoharjo.”

Alhasil, sebagian (besar) publik tampaknya melihat perilaku Ganjar menelepon Heru Budi di Pasar Anyar Bahari itu sebagai sikap “kepo”, cenderung usil, bukan cermin sikap peduli. Itu nyaris serupa dengan sikap public terhadap sikap “cawe-cawe” Presiden Jokowi yang tak banyak mengundang simpati, malah tidak simpati, kalau pun tak boleh dibilang cenderung antipati. Sementara sikap usil, kembali saya katakan, cenderung dimusuhi setiap peradaban.

Dalam ajaran Islam, makhluk jin dianggap mewakili sifat “kepo” dan usil tersebut. Meski secara lebih detil, ternyata jin “varietas”—untuk menunjukkan sub-species—Jin Al-Arwah-lah yang dikenal memiliki sifat dan sikap “kepo” plus usil tersebut, lebih kental dibanding “varietas” lain, seperti Jin As Syaiton yang rata-rata memiliki ‘sertifikasi’ sebagai penggoda iman manusia, Jin Al Jan alias Banul Jan yang memiliki pola hidup nyaris seperri manusia, atau Jin Al-A’Mir yang menggoda manusia terutama di saat beraktivitas, atau  Jin Al Ifrit yang sering menawarkan diri sebagai khodam (pembantu) manusia.

Saking buruknya sikap “kepo” dalam pandangan Islam, Nabi SAW dalam sebuah hadits bersabda,”   –من اطلع في بيت قوم بغير اذنهم فقد حل لهم ان يفقؤوا

“Barangsiapa melongok rumah suatu kaum tanpa izin mereka, maka halal bagi mereka mencongkel mata orang tersebut,” (HR. Muslim, 3/1699). Dalam riwayat lain dikatakan, ففقؤوا عينه فلا دية له ولا قصاص

”Kemudian mereka mencongkel matanya, maka tidak ada diyat (ganti rugi) untuknya, juga tak ada qishash baginya” (HR. Imam Ahmad, 2/385; Shahihul Jami’, 6022). Tentu, betapa mengerikan, tapi tentu saja karena “kepo” seperti yang dicontohkan Nabi tersebut memang bisa menjadi gerbang bagi hal-hal buruk lainnya yang mengikuti.

Buruknya sikap “kepo” bin usil itu juga tergambar dari  mitos dan legenda yang hidup sejak ribuan tahun lalu di Jepang. Orang Jepang percaya, sikap usil adalah sifat dasar sejenis hantu bernama Makura-Gaeshi. Tentu, makhluk yang ditunjuk itu tidak merupakan bagian dari glongan makhluk-makhluk dari sisi kebaikan, melainkan para pengikut kekuatan gelap dalam versi sana. [  ]

Back to top button