Market

Ekspor Bijih Nikel 5,3 Juta Ton ke China Disebut Bukan Penyelundupan, KPK ‘Masuk Angin’

Pernyataan KPK bahwa temuan ekspor ilegal 5,3 juta ton bijih nikel ke China, bukan termasuk penyelundupan, dinilai ngawur dan prematur. Jangan-jangan KPK mulai ‘masuk angin’.

Menurut Direktur Eksekutif CERI, Yusri Usman, Kamis (14/9/2023) di Jakarta, Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring KPK, Pahala Nainggolan yang menyebut ekspor bijih nikel oleh PT Sebuku Iron Lateritic Ores (SILO), bukan praktik penyeludupan, dinilai sangat prematur.

“IUP OP besi itu, seharusnya bijih besi. Kewenangan pendirian smelter itu di Kementerian Perindustrian. Untuk menambang bijih besi itu, kewenangan Kementerian ESDM cq Ditjen Minerba. Pertanyaannya, PT SILO ini, apakah punya smelter,” kata Yusri.

Lagi pula, kata Yusri, tak masuk akal jika besi yang diekspor ke China.  “Lebih tak masuk akal lagi, kalau bijih besi hanya sedikit, tetapi bijih nikelnya lebih banyak. Lebih ekonomis jika diselundupkan. Jadi, logikanya, bijih besi dan besi tidak ekonomis untuk diselundupkan. Karena harga besi di China, lebih murah,” kata Yusri.

Yusri mengungkapkan, UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batu bara (Minerba),  jelas menyatakan bahwa semua mineral harus diproses di smelter dalam negeri. “Jika tidak dilakukan proses hilirisasi, itu namanya menyelundup,” kata Yusri.

Sebagaimana diketahui, Pasal 103 ayat (1) UU Nomor 3 Tahun 2020 menyatakan, Pemegang IUP atau IUPK pada tahap kegiatan operasi produksi mineral, sebagaimana dimaksud dalam Pasal lO3, wajib melakukan pengolahan dan/atau pemurnian mineral hasil penambangan di dalam negeri.

Bahkan, kata Yusri, sebagai konsekwensi ketentuan UU Minerba itu, konsentrat dari Freeport Indonesia saja dilarang untuk diekspor.

“Kebijakan Presiden membolehkan Freeport Indonesia melakukan eskpor konsentrat itu lantaran ada kemajuan pembangunan smelter, kebijakan relaksasi itu hanya hingga Mei 2024,” imbuh Yusri.

Sementara itu, mengenai kerugian negara yang timbul, Yusri mengatakan tidak bisa begitu saja dengan mudah KPK menyatakan kerugian negara hanya Rp14 miliar.  “KPK tidak mempunyai kewenangan menentukan kerugian negara, itu ranah BPK dan BPKP,” kata Yusri.

Sebelumnya, Deputi bidang Pencegahan dan Monitoring KPK, Pahala Nainggolan, menyebut, temuan 5,3 juta ton ore nikel Indonesia di China, sebagaimana temuan Satuan Tugas (Satgas) Koordinasi dan Supervisi (Korsup) Wilayah V KPK,  bukan merupakan penyelundupan.  “Penyelundupan itu kan barang tidak boleh keluar, [lalu] dikeluarkan. Kalau ini enggak,” kata Pahala, di Gedung ACLC KPK, Kamis (14/9/2023).

Bijih nikel yang nangkring di China itu, jelas Pahala, berasal dari perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) besi, yakni PT Sebuku Iron Lateritic Ores (SILO) yang beroperasi di Kalimantan Selatan. Perusahaan yang bergerak di sektor pertambangan itu mengekspor besi salah satunya ke China. 

Adapun KPK menemukan potensi selisih nilai ekspor ore nikel tersebut sebesar Rp41 miliar, berdasarkan 63 bill of lading yang didapatkan. Angka tersebut ditemukan dari royalti yang berpotensi didapatkan eksportir, PT SILO, apabila ore nikel yang terkirim ke China itu diakui sebagaimana regulasi di Indonesia.  

“Kenyataannya, dari 63 bill of lading ini ada yang kadar nikelnya 0,5 persen, 0,7 persen, dan 1,2 persen, tetapi rata-ratanya 0,9 persen. Lalu, ruginya Indonesia apa? Kalau 0,9 persen kita hitung dari 63 pengiriman, ini kita cuma berpotensi kehilangan Rp14 miliar. Jadi, tidak ada triliunan, Rp14 triliun yang disebut enggak ada tuh,” terang Pahala.

Back to top button