Arena

Eksodus Bintang Sepak Bola ke Arab Saudi di Tengah Kritikan Presiden UEFA

Arab Saudi menjadi tempat terbaru bagi pemain-pemain kelas dunia untuk mempersiapkan masa pensiun mereka. Kedatangan para bintang sepak bola, Christiano Ronaldo dan Karim Benzema serta yang terbaru Ngolo Kante, ke klub sepak bola di negeri minyak tersebut menunjukkan bahwa liga sepak bola Arab Saudi sedang berusaha meningkatkan profil dan popularitas mereka.

Ronaldo, yang sebelumnya memperkuat MU, Real Madrid, dan Juventus, telah menjalani satu musim bergabung dengan klub Al-Nassr di Arab Saudi. Langkah ini awalnya dipandang sebagai kemunduran oleh sebagian pengamat sepak bola, tetapi tampaknya mulai mendapatkan validasi dengan keputusan Benzema yang juga memilih Arab Saudi sebagai destinasi barunya setelah kontraknya dengan Real Madrid berakhir.

Meski kedatangan pemain seperti Ronaldo dan Benzema di liga ini dilakukan dengan kesepakatan finansial yang sangat besar, Presiden UEFA, Aleksander Ceferin, menilai strategi ini sebagai kesalahan besar.

“Tidak, tidak, tidak,” tegas Ceferin kepada media Belanda, NOS, seperti yang dikutip oleh ESPN ketika ditanya tentang kekhawatiran akan eksodus pemain. “Saya pikir itu adalah kesalahan utama bagi sepak bola Arab Saudi. Mengapa hal ini menjadi masalah bagi mereka? Mereka seharusnya lebih fokus pada investasi di akademi, merekrut pelatih, dan mengembangkan pemain mereka sendiri,” tambah Ceferin.

Ceferin juga mengkritik keputusan Liga Saudi untuk merekrut pemain yang sudah mendekati akhir karir. “Sistem pembelian pemain yang hampir pensiun bukanlah sistem yang akan mengembangkan sepak bola,” tegas Ceferin. “Ini adalah kesalahan serupa yang pernah dilakukan di China ketika mereka mendatangkan pemain yang sudah berada di ujung karir mereka,” lanjut Ceferin.

Presiden UEFA Aleksander Ceferin selama konferensi pers Kongres Biasa UEFA ke-47 di Pusat Kongres pada 5 April 2023 di Lisbon, Portugal. (Foto oleh Gualter Fatia - UEFA/UEFA via Getty Images)
Presiden UEFA Aleksander Ceferin selama konferensi pers Kongres Biasa UEFA ke-47 di Pusat Kongres pada 5 April 2023 di Lisbon, Portugal. (Foto oleh Gualter Fatia – UEFA/UEFA via Getty Images)

Pernyataan dari Ceferin ini memperjelas pandangan skeptisnya terhadap strategi yang digunakan oleh klub-klub Arab Saudi. Ia berpendapat bahwa investasi yang lebih baik akan difokuskan pada pembinaan pemain lokal dan pengembangan sepak bola secara keseluruhan.

Mengingat bahwa upaya yang serupa pernah dilakukan di China dan Amerika, Arab Saudi perlu belajar dari pengalaman negatif China dan potensi positif dari Amerika dalam pengembangan liga sepak bola mereka. Mereka perlu bukan hanya investasi besar, tetapi juga komitmen, transparansi, dan minat pasar yang kuat. Tanpa semua ini, intervensi pemerintah dalam sepak bola Arab Saudi mungkin tidak akan mampu memberikan hasil yang diharapkan.

Kegagalan China

Langkah Arab Saudi menjadi bom waktu jika melihat peta jalan yang mirip sebelumnya pernah dicoba dilakukan China di medio 2010-an. Saat itu, Presiden China Xi Jinping memiliki ambisi untuk mengangkat derajat sepak bola China di mata dunia. Untuk itu, Pemerintah China pun tak segan untuk berinvestasi besar ke segala lini sepak bola.

Misalnya saja, Pemerintah China menargetkan dibukanya lebih dari 50.000 sekolah sepak bola di negaranya. Bahkan, Xi Jinping juga menginstruksikan sepak bola untuk dimasukkan ke dalam tiap sekolah yang ada di China. Hal ini diharapkan bisa menjaring talenta sepak bola dari usia sedini mungkin.

Gettyimages 855158984 612x612 - inilah.com
Striker Brazil Pato dari Tianjin Quanjian beraksi saat pertandingan Liga Super China antara Jiangsu FC dan Tianjin Quanjian FC di Stadion Olimpiade Nanjing pada 28 September 2017 di Nanjing, China. (Foto oleh XIN LI/Getty Images)

Di sektor industri, Pemerintah China mendorong perusahaan-perusahaan untuk membuat atau berinvestasi ke klub-klub yang bermain di Liga Super, liga divisi teratas negara tersebut. Tak ayal, beberapa pemain eks klub Eropa, seperti Carlos Tevez, Marouane Fellaini, dan Oscar, pun merumput di liga China.

Namun, harapan Pemerintah China ini terancam runtuh akibat pengelolaan yang buruk. Salah satu contohnya klub Jiangsu Suning FC, pemenang Liga Super musim 2020.

Sekitar setahun setelah menang, klub ini justru dibubarkan akibat gagal memenuhi pembayaran gaji para pemainnya. Selain itu, ada juga kasus Guangzhou FC yang gulung tikar akibat investornya, perusahaan pengembang Evergrande, terkena krisis finansial.

Persoalan dari ambisi sepak bola ini tak hanya terjadi di sektor industri, melainkan juga sektor pemerintahan. Rencana pendirian sekolah-sekolah sepak bola, misalnya, justru dijadikan lahan korupsi oleh para pejabat China.

Beberapa pejabat, seperti Wang Dengfeng, pejabat kementerian pendidikan; dan Chen Xuyuan, ketua federasi sepak bola China, dicokok pemerintah karena diduga terlibat skandal korupsi sekolah sepak bola.

Berbagai skandal di klub, federasi, hingga pemerintah ini membuat Liga Super di China tampak mati suri. Memang, liga masih terus berlanjut dan dihiasi beberapa eks pemain bintang. Namun, dari segi skala dan tingkat kompetisi, liga ini makin jauh dari radar sepak bola dunia.

Back to top button