News

Pemilu Dibuka-Tutup: Belok Tiba-tiba yang Membahayakan Demokrasi

Potensi korupnya partai politik di bawah sistem proporsional tertutup itu tampak jelas manakala pada Pemilu 2019 saja mereka ‘woles’ mengusung 72 calon anggota legislatif yang pernah menjadi maling alias narapidana korupsi.

Siapa yang tidak belajar dari pengalaman? Ulama besar Saudi, Syeikh Ibnu Utsaimin dalam bukunya “Syarah Riyadhus Shalihin”, saat membedah hadits Nabi SAW yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, “Seorang mukmin tidak akan jatuh dua kali di lubang yang sama” mengatakan, seorang mukmin tidak jatuh ke lubang yang sama dua kali karena ia sudah waspada, pintar dan cerdas. Artinya, hanya mukmin yang belum pintar dan belum cerdas yang mungkin kejeblos dua kali itu. Namun jangan salah, barangkali pula ada pihak yang menangguk untung dari adanya orang kejeblos, hingga senantiasa bikin aneka perkara yang memungkinkan hal itu.

Meski tidak apple to apple, metafora di atas mungkin bisa kita sandingkan dengan ‘kasus bocoran’ putusan MK berkaitan dengan kemungkinan diterapkannya sistem proporsional tertutup, menggantikan sistem Pemilu proporsional terbuka yang sejak 2009 diterapkan di Indonesia.  Sebagaimana kita tahu, isu tersebut mencuat segera setelah mantan Wamen Kumham, Denny Indrayana, menyoal kemungkinan keluarnya putusan tersebut, di dunia maya. Sebab, bukankah selama berbilang dekade, terutama di masa Orde Baru, kita acap memakai sistem yang kemudian dikritik dan diubah itu?

Pengubahan senantiasa menyiratkan adanya kelemahan sesuatu yang membuatnya relevan diganti. Jadi sangat wajar bila orang berasumsi sistem proporsional tertutup diganti dengan sistem yang kini berlaku karena memiliki kelemahan. Apalagi, sebagian besar kita pun mengalami dan masih bisa merasakan betapa terbatasnya pengakuan negara atas hak dan kedaulatan demokrasi warganya, saat sistem proporsional tertutup itu berlaku.

Pertanyaannya, dengan berasumsi ‘bocoran’ Denny benar, mengapa harus kembali ke sistem yang jelas-jelas tidak memenuhi harapan rakyat di masa lalu itu? Bukankah kalau pun diubah, akan lebih kreatif dan masuk akal bila yang menggantikan itu sebuah sistem baru di luar keduanya? Setidaknya, sebuah sistem yang diupayakan mengambil sebanyak mungkin kebaikan dan menghilangkan keburukan dari keduanya.

Pengalaman masa lalu

Bila kita konsisten dengan pepatah “pengalaman adalah guru paling baik”, tentunya tidak akan mudah bagi kita untuk kembali kepada sebuah sistem atau cara yang di masa lalu sudah jelas mudharat-nya. Sistem proporsional tertutup yang dimintakan beberapa pihak, di antaranya Demas Brian Wicaksono (pengurus PDI Perjuangan/PDIP), Yuwono Pintadi (anggota Partai NasDem), Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono, untuk menggantikan yang tengah berlaku, memiliki banyak kelemahan hingga berhenti dipakai sejak Pemilu 2009 lalu.

Dalam pandangan Indonesia Corruption Watch (ICW), sistem itu memang layak diganti karena telah sekian lama dibiarkan membelenggu hak-hak rakyat. “Sistem Pemilu proporsional tertutup itu tak lain upaya membelenggu hak rakyat dan (menjadi) ruang gelap politik uang,”kata peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, Januari lalu, di saat media massa ramai dengan polemik seputar sistem proporsional tertutup di awal-awal judicial review soal ini disidangkan Mahkamah Konstitusi (MK).

Kurnia - inilah.com
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana. (Foto: Arsip)

Kurnia tidak alpa membawa segambreng alasan kelemahan sistem proporsional tertutup. Pertama, kata dia, sistem itu menjauhkan partisipasi masyarakat dalam menentukan calon wakil mereka di lembaga legislatif. “Bagaimana tidak, penentuan calon anggota legislatif yang akan terpilih bukan berada pada masyarakat, melainkan di internal partai politik,” kata Kurnia.

Kedua, bila alasan JC yang diajukan adalah maraknya politik uang,  proporsional tertutup pun sama sekali tidak menghapus tren degilnya politik uang, melainkan hanya memindahkan. “Hanya pindah, dari calon ke masyarakat menjadi calon ke partai politik,”kata Kurnia.Itu terjadi karena kandidat terpilih bergantung pada nomor urut calon anggota legislatif yang ditentukan sepenuhnya oleh partai politik.

“Ketiga, proporsional tertutup membuka ruang terjadinya nepotisme di internal partai politik. Calon-calon yang punya relasi lebih baik dengan struktural partai, dapat prioritas untuk dapat nomor urut cantik,” kata dia.

Keempat, sistem itu berpotensi besar menghilangkan relasi dan tanggung jawab anggota legislatif kepada rakyat. “Dengan penentuan akhir keterpilihan calon berada di bawah kekuasaan partai, anggota legislatif terpilih (merasa) hanya bertanggung jawab kepada partai politik,”ujar Kurnia. Kekhawatiran itu menurut dia sangat beralasan. Kurnia menunjuk betapa ‘dekaden’nya parpol yang saat Pemilu  2019 lalu pun “woles-woles” saja mengusung 72 calon anggota legislatif yang pernah menjadi maling alias narapidana korupsi. Dengan fakta tersebut ia berkesimpulan, sulit menaruh kepercayaan kepada partai politik untuk menentukan sendiri calon terpilih melalui skema proporsional tertutup.

Publik pun—kecuali barangkali generasi milenials dan Z yang masih bercelana monyet saat Orde Baru berkuasa—tahu bagaimana kualitas demokrasi Indonesia di saat kekuasaan sepenuhnya di tangan partai melalui para elitnya. Akhirnya, wajar bila suasana kebatinan demokrasi Indonesia saat itu penuh “ewuh pakewuh”. Para anggota parpol sepenuhnya berada dalam kendali para elit partai, yang pada gilirannya sangat meminimalkan iklim kritis di internal partai. Waktu itu—meski saat ini pun belum sepenuhnya hilang—tergolong mustahil kader sebuah parpol berani melancarkan kritik, se-“membangun” apa pun kritik itu, sesuai prasyarat yang selalu diajukan suprastruktur partai, meniru kredo pemerintah. Iklim yang wajar menumbuhsuburkan sikap menjilat, Asal Bapak Senang (ABS) dan beragam hipokrisi lainnya.    

Proporsional terbuka dan alternatif lain

Sebenarnya, apa sih sistem Pemilu proporsional tertutup? Definisi sederhana menurut Januari Sihotang dalam “Pemilu Dalam Transisi Demokrasi Indonesia: Catatan Isu dan Kontroversi” (2018), sistem proporsional tertutup adalah sistem pemilihan di mana rakyat hanya memilih partai. Dengan begitu, wakil rakyat terpilih nantinya ditetapkan oleh partai politik berdasarkan nomor urut.

Cara itu tentu sesuai dengan elan pada zamannya. Namun, begitu UUD 1945 mengalami amandemen, cara itu tampak tidak mewakili jiwa UUD 1945. Sebagaimana kita tahu, hingga saat ini UUD 1945 telah mengalami empat kali amandemen, yakni di tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002. Di amandemen kedua yang dilakukan pada Sidang Tahunan MPR, 7–18 Agustus 2000, dihasilkan perubahan pada 5 Bab dan 25 pasal. Pada saat itulah terjadi perubahan yang menghasilkan Pasal 22E, yang bunyinya, (1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. (2) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Ayat pada pasal 22E itu yang melandasi penafsiran Pemilu menjadi proporsional terbuka kemudian. Seperti yang juga diutarakan politisi Partai Demokrat, Benny K Harman, menanggapi pertanyaan warganet yang menyebutkan bahwa peserta Pemilu DPR adalah partai politik. Menurut Benny, Pemilu dilakukan untuk memilih anggota legislative, bukan memilih partai politik. “Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota….dst (seperti dinyatakan UUD 1945–red). … Sekali lagi Pemilu diselenggarakan utk memilih anggota, sekali lagi memilih anggota, bukan memilih Partai Politik. Sudah jelas bukan? Pesertanya siapa? Yaah Parpol!#RakyatMonitor#,” kata Benny, dalam sebuah cuitan Twitter baru-baru ini.

Sebenarnya, wacana sistem Pemilu pun seharusnya tak harus mentok hanya pada dua sistem tersebut saja. Andrew Reynolds dalam ‘’Electoral System Design”, mengklasifikasi sistem pemilu selain proporsional. Pertama, sistem distrik dan kedua sistem campuran.

Belum lagi alternatif berdasarkan hasil kajian peneliti senior Pusat Penelitian Politik LIPI, Mochammad Nurhasim. Dalam artikelnya, “Fisibilitas Sistem Pemilu Campuran: Upaya Memperkuat Sistem Presidensial di Indonesia”, Nurhasim menemukan bahwa dari banyak aspek, sistem pemilu campuran cocok diterapkan di sini.

Atau sistem proporsional terbuka terbatas, sebagaimana pernah diajukan Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti. Mu’ti sempat melontarkan gagasan yang menurutnya datang sebagai hasil Muktamar ke-48 Muhammadiyah 2022 lalu. Saat itu Muhammadiyah menetapkan dua hal, kembali ke sistem proporsional tertutup, atau terbuka terbatas.

Detil bagaimana bekerjanya sistem-sistem alternatif tersebut secara operasional, terlalu luas untuk dijelaskan dalam artikel pendek ini.

Haris Azhar
Direktur Lokataru Haris Azhar. (Foto: Instagram/@azharharis)

Yang jelas, menurut Direktur Lokataru, Haris Azhar, ketika berbincang dengan Inilah.com, Rabu (31/5/2023) lalu, pengadopsian system-sistem tersebut harus menjadi bagian dari pelaksanaan Pemilu Indonesia ke depan. Sebab menurut dia, sistem yang ada saat ini membuat keterwakilan suara hanya terkonsentrasi di pulau jawa saja. “Supaya diskusinya (tidak hanya) bagaimana memenangkan pulau Jawa saja, ini kan tidak adil,” kata dia.

“Harus ada kalkulasi, selain memenangkan jumlah suara, harus juga memenangkan jumlah provinsi. Jadi meskipun Papua penduduknya hanya 4,5 juta kurang lebih, harusnya dia bermakna. Bukan bermakna jumlah penduduknya tapi bermakna kemenangan di provinsi itu dapat dikalkulasikan,”kata Haris.

Sejatinya, di DPR pun praktis hanya PDIP, partai politik yang cenderung menyetujui perubahan ke sistem proporsional tertutup tersebut. Hal itu ditegaskan kembali oleh delapan fraksi di DPR RI, dari sembilan fraksi yang ada di sana, melalui sebuah konferensi pers Februari lalu.

Saat itu, dibacakan Ketua Komisi II DPR Fraksi Golkar, Ahmad Doli Kurnia, kedelapan parpol tersebut menyuarakan sikap menolak pemilu proporsional tertutup diterapkan di Pemilu 2024. Saat itu Doli mengungkit putusan MK terkait sistem pemilu yang mengamanatkan pemilihan langsung pada 2008 lalu. Sejak itu, kata dia, rakyat dapat memilih orang yang mewakili mereka di legislatif secara langsung.

“Semuanya diatur dalam undang-undang dasar 1945. Itu juga yang menjadi dasar saat Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi nomor 22-24/PUU-VI/2008 pada 23 Desember 2008,” kata Doli. Ia menambahkan, rakyat sudah terbiasa berpartisipasi secara langsung dalam menentukan pilihannya. “Kemajuan demokrasi kita pada titik tersebut harus kita pertahankan, malah harus kita kembangkan ke arah yang lebih maju. Jangan kita biarkan kembali mundur,” kata dia.

Bahaya

Sebenarnya banyak pakar hukum yang terkesan menolak perubahan ke masa lalu itu. Mulai dari pakar hukum yang cenderung oposan seperti Refly Harun, hingga yang condong lebih banyak mengamini kemauan pemerintah seperti Prof. Jimly Asshiddiqie, menyatakan kecewa bila sistem Pemilu kembali ke masa lalu.

“Tidak tepat kalau sekarang, menuju Pemilu 2024, menentukan sistem tertutup. Kenapa? Karena kalau kita mau bikin tertutup, syaratnya partai terbuka dulu. Ada modernisasi dan ada demokrasi internal sebelumnya,”ujar Prof Jimly saat dihubungi Inilah.com. Bila hal itu dilakukan saat ini, di saat sistem internal partai pun masih tertutup dan demokratisasi belum sepenuh berjalan, semua hanya akan menguatkan kekuasaan politik berada di tangan elit partai semata.

Prof Jimly bahkan menyebutkan hal itu membahayakan demokrasi. Sistem saat ini, proporsional terbuka, justru diperlukan untuk mengimbangi ketidakseimbangan power politik di tangan elit partai tersebut. “Sekarang partai masih tertutup. Semua keputusan ditentukan ketua umum. Ketua umum pun masih melakukan dinasti politik, turun temurun anak cucu menjadi ketua umum. Maka kalau pemilunya pakai proporsional tertutup, bahaya. Semua ditentukan oleh satu orang, tidak ada demokrasi,”kata Prof Jimly. Ia seolah mengulang konstatasi guru besar teologi dari Yale University, Prof Reinhold Niebuhr,” ”Kapasitas manusia untuk berbuat adil menyebabkan demokrasi mungkin; kapasitas manusia untuk sewenang-wenang menyebabkan demokrasi perlu…”

Yang menarik, suara pemerintah pun sepertinya cenderung meneruskan sistem yang tengah berjalan saat ini. Pada sidang JC soal ini di MK, Januari lalu, Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri, Bahtiar, justru mengatakan bahwa perubahan terhadap sistem Pemilu di tengah proses tahapan Pemilu berpotensi melahirkan gejolak sosial politik, baik di parpol maupun di tengah masyarakat.

Bahtiar Kemendagri
Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri Bahtiar. (Foto: Puspen Kemendagri)

Bahtiar yang mewakili pemerintah mengatakan, Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menekankan kedaulatan berada di tangan rakyat. Menurutnya, sistem proporsional terbuka seperti yang berlaku saat ini merupakan hasil musyawarah yang memperhatikan kondisi objektif proses transisi masyarakat ke demokrasi tersebut. “Pemerintah menganggap akan ada penguatan sistem kepartaian, budaya politik, perilaku pemilih, hak kebebasan berpendapat, kemajemukan ideologi, kepentingan, dan aspirasi politik masyarakat yang direpresentasikan oleh partai politik,”kata Bahtiar.

Karena itu, seraya menilai sistem proporsional terbuka merupakan sistem pemilu yang terbaik dan layak diterapkan di Indonesia, menurut Bahtiar, pemerintah meminta hakim MK mengabulkan dua permohonan,yakni menerima keterangan pemerintah secara keseluruhan, serta menyatakan Pasal 168 ayat 2, Pasal 342 ayat 2, Pasal 353 ayat 1 huruf d, Pasal 386 ayat 2 huruf d, Pasal 420 huruf c dan d, Pasal 422 dan Pasal 426 UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu –yang digugat para penggugat–tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan tetap mempunyai kedudukan hukum yang mengikat.

“Namun apabila Yang Mulia Ketua dan Majelis berpendapat lain, mohon kiranya dapat memberikan keputusan bijak dan adil,” kata Bahtiar saat itu.

Alhasil, dengan hanya PDIP di DPR RI yang berada pada kubu menyetujui perubahan ke sistem tertutup, wajar bila publik menilai pengajuan judicial review di MK pun tak lepas dari cawe-cawe PDIP.  Apalagi penggugat yang terkesan paling ngetop dalam urusan ini, Demas Brian Wicaksono, disebut-sebut merupakan kader PDIP. Hal yang diakui yang bersangkutan.

Bukan ketua PDI Perjuangan Probolinggo,” kata Demas dalam obrolan yang ditulis dan dipublikasikan Dahlan Iskan, beberapa hari lalu. Demas tercatat sebagai pengurus di DPC PDI Perjuangan Banyuwangi. “Bukan ketua. Saya hanya pengurus lembaga,”ujar dia.

Meski mengakui dirinya kader PDI Perjuangan, anak muda 34 tahun, sarjana Universitas Jember yang kini merupakan wakil dekan I Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus Banyuwangi itu menyatakan sama sekali tidak pernah berkoordinasi dengan PDIP. Demas mengaku tidak pernah dihubungi oleh PDIP, sebelum melayangkan gugatan hingga saat ini. “Sama sekali tidak ada (dengan PDI Perjuangan). Tidak pernah (koordinasi) sama sekali,” kata Demas.

Meski demikian, di sisi lain PDIP memang kuat menegaskan keinginan untuk Kembali ke sistem proporsional tertutup. Hal itu diakui anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDIP, Arteria Dahlan, beberapa waktu lalu. Saat itu Arteria yang sering terlibat dalam polemik dan kasus kontroversial itu mengungkapkan alasan partainya ingin pemilu menggunakan sistem proporsional tertutup.

“Ketentuan Pasal 22E ayat 3 UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa peserta pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah parpol. Dengan demikian, amat terang dan jelas, parpollah yang terlibat sangat aktif. Tidak hanya berperan, serta namun juga berkompetisi. Konsekuensi logisnya maka parpol yang seharusnya memiliki dan diberikan kewenangan untuk menentukan formasi tim, pasukan-pasukan terbaiknya dalam ajang kompetisi pesta demokrasi,” kata Arteria saat itu.

Sementara Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, mengakui bahwa partainya berharap kembali berlakunya sistem pemilu secara proporsional tertutup. Sebab, kata Hasto, proporsional tertutup membuat iklim politik di Indonesia tidak dikuasai kapital untuk menuai popularitas.

Meski begitu, ia menyatakan PDIP bukanlah pihak yang melakukan judicial review karena mereka tidak memiliki legal standing. “Tapi sikap politik kebenaran kami sampaikan bahwa dengan proporsional tertutup, terbukti PDI Perjuangan mampu melahirkan banyak pemimpin yang berasal dari kalangan rakyat biasa,” kata Hasto. [dsy/nebby/wiguna/clara/rey/emirald]

Back to top button