Market

DPR Sebut Kebijakan Gas Dalam Negeri Masih Terbentur Pasokan


Pemerintah saat ini belum dapat menjamin pasokan gas alam untuk kebutuhan dalam negeri yang digunakan industri meskipun menerapkan kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT). Akibatnya masih terjadi disparitas harga baik untuk industri maupun untuk masyarakat.

Untuk realisasi salur gas pada Semester I 2023 baru sebesar 5.308 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD), atau 86% dari target dalam APBN 2023 sebesar 6.160 MMSCFD.

Sedangkan produksi minyak pada Semester I 2023 tercatat baru mencapai 615,5 ribu barel per hari (bph), atau 93% dari target dalam APBN 2023 yang sebesar 660 ribu bph.

Sementara pemerintah menetapkan kuota LPG 3 kg tahun 2024 sebesar 8,3 juta MT. Untuk alokasi gas domestik yang mencapai 64,32 persen pada tahun 2022. Pemerintah telah menetapkan Peraturan Presiden Nomor 121 Tahun 2020 tentang Penetapan Harga Gas Bumi.

Berdasarkan aturan itu, terdapat tujuh industri yang mendapatkan harga gas bumi tertentu sebesar US$ 6 per British thermal unit (mmbtu).

Dengan demikian masalah kelangkaan gas masih akan terus terjadi baik untuk industri maupun untuk masyarakat. Akibatnya penggunaan untuk dua kategori tersebut sangat diawasi dengan berbagai aturan.

Anggota DPR dari Komisi VII, Mulyanto menjelaskan harga gas alam untuk industri tertentu seperti industri pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca dan sarung tangan karet dan untuk pembangkit listrik mendapat harga khusus lebih murah di banding industri lainnya.  Alasannya untuk mendorong daya saing industri tersebut.

Ini memang membuat iri industri di luar yang tertentu tersebut. Apakah kebijakan ini sudah tepat?  Secara umum kebijakan ini baik, apalagi pascapandemi, industri-industri tersebut tengah memulihkan diri dari dampak yang mereka derita.

“Namun masalah yang muncul bukan hanya di harga, tetapi juga pasokan,” katanya kepada inilah.com, Kamis (4/1/2024).

Meski pemerintah memberi kuota yang cukup untuk industri tertentu untuk membeli gas alam dengan harga tertentu (HGBT), lanjut Mulyanto, namun dalam praktiknya sering kali terjadi kekurangan pasokan gas dari vendor K3S.

Akibatnya, jelasnya, industri tertentu ini menutupinya dengan membeli gas dengan harga komersial dari vendor lain.  Ini yang sering mereka keluhkan. “Jadi masalah yang utama sekarang adalah soal kekurangan pasokan gas dengan harga HGBT,” tegasnya.

Namun dengan akan digarapnya cadangan gas di Blok Masela diharapkan dapat mengurangi masalah pasokan dalam negeri. Total cadangan gas Lapangan Abadi Blok Masela mencapai 10,73 triliun kaki kubik (Tcf). Karena itu, Blok Masela sering disebut sebagai lapangan gas abadi. Pemerintah mengklaim cadangan gas di Blok Masela tidak akan habis sampai 70 tahun ke depan.

Bahkan selain di Blok Masela, SKK Migas juga mengungkapkan temuan cadangan gas di Blok Warim Papua yang ditaksir mencapai 47,37 triliun kaki kubik (TCf). Sementara, Blok Masela memiliki 10,73 TCF cadangan gas. Sedangkan untuk potensi minyak Blok Warim mencapai 25.968 juta barel minyak (MMBO).

Apabila cadangan gas di dua blok tersebut sudah dapat dinikmati maka keluhan industri dan birokrasi yang rumit bagi masyarakat kurang mampu saat membeli LPG 3 kg akan teratasi. Apalagi masyarakat kategori tertentu ini tidak familier dengan prosedur atau birokrasi yang berliku.

“Kalau blok Masela (dan Blok Warim) sudah beroperasi mungkin soal kurang pasok ini bisa diatasi,” lanjut Mulyanto, legislator dari FPKS ini.

Mulyanto mengingatkan saat ini, yang justru perlu didorong adalah komitmen DMO dari pemerintah, supaya prosentasenya harus ditingkatkan. “Bila perlu diambil kebijakan larangan ekspor gas alam,” ujarnya.
 

 

Back to top button