Market

DPR Bergantian “Gugat” Menteri Trenggono Soal Izin Ekspor Pasir Laut

Keluarnya izin ekspor pasir laut yang dinilai tidak transparan dan mengejutkan publik, memberi kesempatan kepada Komisi IV DPR memberikan pertanyaan bertubi-tubi kepada Menteri Kelautan dan Perikanan, Saktu Wahyu Trenggono. Seakan Menteri KKP dijewer anggota DPR karena membuat gaduh publik.

Anggota Komisi IV DPR menekankan pada faktor pendorong diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) nomor 26 tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut, yang baru terbit pada 15 Mei 2023 lalu.

Mewakili mayoritas fraksi, anggota DPR bergantian mempertanyakan transparansi atas penyusunan regulasi tersebut. Sebab, menurut sejumlah anggota DPR dengan diterbitkannya PP ini telah menjadi polemik di masyarakat dan dikhawatirkan dapat merusak lingkungan.

“Komisi IV DPR meminta penjelasan terkait (dikeluarkannya) PP Nomor 26 Tahun 2023 tentang pengelolaan hasil sedimentasi di laut, bagaimana proses regulasinya?,” ungkap Ketua Komisi IV DPR RI, Sudin dalam Rapat Kerja di Komisi IV DPR, Jakarta, Senin (12/6/2023).

Selain itu, Anggota Komisi IV DPR dari Fraksi Gerindra, Azikin Solthan juga mempertanyakan terkait diterbitkannya PP tersebut.

“Karena regulasi ini mencabut Keppres (Keputusan Presiden) Nomor 33 Tahun 2002 tentang pengendalian dan pengawasan pengusahaan pasir laut. Selain itu, PP ini juga otomatis mencabut keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan nomor 117 tahun 2003 tentang penghentian sementara ekspor pasir laut. Mencabut juga SKB 3 Menteri, yaitu Menteri LHK, Menteri Perdagangan, dan Menteri KP tentang penghentian ekspor pasir laut tahun 2002,” jelas Azikin.

Azikin menuturkan bahwa dengan diterbitkannya PP ini juga telah menuai protes serta kekhwatiran dari para nelayan, masyarakat pesisir, hingga pemerhati lingkungan hidup. Sebab, kata dia, kebijakan tersebut disinyalir akan melegalkan tambang pasir laut di semua tempat di Indonesia.

“Para nelayan, masyarakat pesisir, pemerhati lingkungan hidup sangat resah dan khawatir. Sebab kebijakan tersebut disinyalir akan melegalkan tambang pasir laut di semua tempat di Indonesia,” sebutnya.

Dalam jangka panjang, lanjut Azikin, dengan diterbitkannya PP Nomor 26 Tahun 2023 juga akan berdampak serius pada krisis ekologis wilayah pesisir dan laut. “Juga kerusakan ekosistem biota laut yang berdampak pada menurunnya hasil tangkapan nelayan. Kami ingin mendapatkan kejelasan dengan terbitnya PP nomor 26 tahun 2023 tersebut, serta meminta agar PP ini dapat ditinjau kembali dengan meminta masukan dari pihak pemangku kepentingan,” tuturnya.

Anggota komisi IV DPR dari Fraksi PKB, Anggia Ermarini juga menyampaikan bahwa dengan adanya penambangan hasil sedimentasi laut telah memakan korban di masyarakat pesisir. Untuk itu, dia minta agar penerbitan regulasi ini perlu diperhatikan betul-betul, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan ke depannya.

“Itu sampai memakan korban, jadi beberapa nelayan yang sangat kesusahan dan akhirnya mereka meninggal akibat sedimentasi. Makanya ini perlu perhatian dan saya juga kemarin bertemu dengan teman-teman dari Demak seperti itu juga,” ujar Anggia.

Lebih lanjut, Anggota Komisi IV dari fraksi PKS, Slamet juga meminta kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk transparansi dalam menerbitkan PP tentang pengelolaan hasil sedimentasi laut ini.

“Saya tidak melihat RPP (Rancangan Peraturan Pemerintah) yang melibatkan publik. Kami tau-taunya muncul PP. Kalau PP kan minimal angin-angin sayup mau ada PP ini, sehingga ini kemudian membuat kami kecurigaan apalagi setelah kami membaca isinya, kami juga print out,” ujar Slamet.

Slamet mensinyalir adanya penumpang gelap dalam PP ini. Untuk itu, pihaknya meminta agar PP ini bisa betul-betul terbuka dan transparan disampaikan.

“Kami juga tidak menolak niat baik pemerintah. Tetapi jangan sampai tidak transparansi, ini ada penumpang gelap dalam PP ini. Ini yang kami khawatirkan. Rasanya harus khusus (dilakukan) terbuka bahas PP ini, sehingga betul-betul transparansi yang disampaikan bahwa alat yang canggih tidak merusak, jurnalnya mana? sehingga kami bisa memberikan dukungan jika ini menghadirkan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak),” jelasnya.

Apabila tidak transparan, Slamet ragu dengan model pengawasan yang selama ini masih lemah dikhawatirkan hanya akan memperkaya kelompok-kelompok tertentu saja, dan negara tidak mendapatkan penambahan yang sebanding dengan kerusakan ekologi.

“Saya ragu dengan model pengawasan selama ini yang masih lemah, khawatir gitu ya. Jadi memperkaya kelompok-kelompok tertentu, negara tidak mendapatkan penambahan, jika mendapatkan penambahan tetapi tidak sebanding kerusakan ekologi,” ujar Slamet.

Selain Slamet, sejumlah anggota DPR lain juga mempertanyakan hal ini. Misalnya Andi Akmal dari Fraksi PKS. Andi meminta penjelasan Trenggono soal bagaimana proses pengawasan pengambilan sedimentasi di lapangan.

“Saya ingin mendengar penjelasan apa masukan ilmiah, apa alasan masuk akalnya? Yang kedua, apa yang nanti dilakukan KKP untuk pengawasannya? Pak Menteri kan sudah bicara nanti ada pengawasan, tetapi kita belum mendengar apa pengawasannya, apakah bisa dipastikan bahwa pasir ini tidak diselundupkan keluar. Sekarang aja ini tidak ada aturan tapi orang diam-diam ekspor keluar, ke Singapura atau ke mana,” paparnya.

Terakhir ada Alien Mus dari Fraksi Golkar yang meminta KKP melakukan studi kasus dulu untuk penerapan kebijakan ini.

“Soal pasir laut Pak Dirjen PRL harus ada tuh study case nya karena kita butuh jawaban yang pas,” jelasnya.

Dari kebanyakan yang mengkritik, ada satu anggota DPR yang mendukung kebijakan ini. Dia adalah Khalid dari Fraksi Gerinda.

Khalid bilang di daerahnya Aceh banyak sekali sedimentasi laut yang harus diangkat. Apabila tidak diangkat maka akan mengganggu proses sandar kapal karena laut dangkal.

“Saya dari Aceh jujur merasa terbantu Pak Menteri maka pada kesempatan ini kami di Aceh panjang pantai kami 2.666 km, sangat panjang sehingga banyak muara kami yang dangkal. Maka mungkin setelah saya membaca PP 26/2023 saya pikir ini solusi, tolong ambil sedimen kami di muara-muara kami yang ada di Aceh, agar warga masyarakat kami tak lagi menunggu pasang untuk melaut dan tidak menunggu pasang untuk pulang. Jadi ini saya pikir menjadi pintu dan solusi untuk semua muara dangkal yang ada di Aceh. Ini harapan,” tukasnya.

Back to top button