Kanal

Cak Imin Diantara Perang Merebut Suara Nadhlyin

Nama Kiai Kholil As’ad muncul di tengah majunya Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar atau Cak Imin sebagai bakal calon wakil presiden Anies Baswedan. Untuk sebagian kalangan mungkin nama itu asing terdengar, namun bagi Nahdliyin, sebutan untuk warga Nahdlatul Ulama (NU), nama Kiai Kholil As’ad bukanlah orang sembarang. 

Kiai Kholil As’ad merupakan putra dari salah satu pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH Raden As’ad Syamsul Arifin. Kiai Kholil merupakan seorang ulama besar kelahiran Mekkah yang sangat disegani oleh para Nahdliyin. Sosoknya juga dikenal sebagai pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Wali Songo di Kecamatan Panji, kabupaten Situbondo, Jawa Timur. Selain itu, di kalangan NU, Kiai Kholil As’ad dikenal sebagai kiayi khos atau kiai utama.

Tokoh NU inilah yang kemudian mengarahkan jalan bagi Cak Imin untuk meninggalkan Koalisi Indonesia Maju dan menerima pinangan Anies Baswedan.

Bagi Koalisi Anies memang kehadiran Cak Imin bagaikan mendapat durian runtuh ditengah drama sulitnya mencari bacawapres. Kehadiran Imin lebih dibutuhkan ketimbang memaksakan Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono. Setidaknya hal itu diakui sendiri oleh Anies dalam sebuah acara disalah satu media. Kebutuhan akan mendongkrak suara di Jawa Timur dan sebagian di Jawa Tengah menjadi alasan jelas mengapa pilihan jatuh ke Cak Imin.

Jauh sebelum desas desus Cak Imin menjadi bacawapres Anies Baswedan, peneliti dari PolMark Research Centre, Eep Saefulloh Fatah, sudah menyebut Cak Imin berpotensi menjadi penentu Pilpres 2024.

Dalam siaran persnya ketika itu, Eep mendasarkan penilaiannya ini pada agregat hasil Survei PolMark Research Center di 78 Dapil DPR RI se-Indonesia, kecuali 6 provinsi di pulau Papua, melibatkan 62.480 responden yang diambil dengan metode multistages random sampling, dengan margin of error plus minus 0,4 persen. 

Dari situ kemudian didapatkan hasil, bahwa Cak Imin menjadi kandidat yang menonjol di provinsi Jawa Timur. Di daerah basis NU ini, elektabilitas Cak Imin mencapai 11,5 persen, jauh diatas Gubernur Jawa Timur Khofifah dengan 5,8 persen dan AHY 1,8 persen. 

post-cover
Total jumlah suara nasional pada pemilu 2019. (Foto:KPU)

Sementara secara suara partai, berdasarkan hasil rekapitulasi pemilu 1999-2019, rata-rata perolehan suara PKB adalah 11,07 juta atau 9,05 persen. Perolehan suara terbesar tercatat pada pemilu 2019 yakni 13,57 juta atau 9,69 persen, sementara terendah pada pemilu 2009 yani 5,15 juta atau 4,94 persen.

Pada tahun 2019, khususnya di daerah yang sering disebut sebagai “penentu akhir hasil pilpres di Indonesia” itu, PKB memperoleh suara sebanyak 4,19 juta. Jumlah itu setara dengan 19,02% dari total perolehan suara di Jawa Timur. PKB menjadi partai dengan perolehan suara terbanyak setelah PDIP sebanyak 4,31 juta. Jawa Tengah juga menjadi lumbung suara terbesar kedua PKB dengan 2,72 juta warga yang memilihnya dalam Pileg 2019. Jumlah itu setara dengan 14,04 persen dari total perolehan suara di Jawa Tengah. Lumbung suara terbesar PKB selanjutnya adalah Jawa Barat, dengan perolehan 1,89 juta suara. 

Berkaca dengan data itu, wajar bila hengkangnya Cak Imin menjadi kerugian besar bagi Koalisi Indonesia Maju dalam mengusung Prabowo Subianto menjadi bakal calon presiden 2024. 

“Hengkangnya PKB membuat Prabowo untuk sementara kehilangan kesempatan untuk memperluas dukungan ke basis massa NU atau PKB, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur,” ujar Peneliti Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Saidiman Ahmad, kepada Inilah.com.

Memang tak dapat dipungkiri kaum Nahdliyin menjadi faktor moncernya perolehan suara PKB dalam kurun waktu lebih dari satu dekade, yang tentu juga berimbas pula bagi suara Cak Imin. Tengok saja saat deklarasi pasangan Anies Baswedan dan Cak Imin di Surabaya pekan lalu, sejumlah Kiai dari NU ikut mendukung pasangan yang kemudian dikenal dengan sebutan “Amin” (akronim Anies-Muhaimin).

Sebut saja KH Ubaidillah Faqih (Gus Ubed) dan KH Maksum Faqih (Gus Maksum) dari Pondok Pesantren Langitan Tuban, KH Abdussalam Shohib (Gus Salam) dari Pondok Pesantren Mambaul Ma'arif Denanyar Jombang, KH Muhammad Kholil As'ad (Ra Kholil) dari Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo Situbondo, hingga beberapa Kiai sepuh lainnya.

“Tentu yang hadir (deklarasi) ini meskipun bukan atas nama struktur PBNU, namun salah satunya berada di jajaran Suriah, jajaran PWNU Jatim,” ujar  Wakil Ketua Umum DPP PKB Jazilul Fawaid, saat deklarasi, di Hotel Majapahit, Surabaya, Sabtu (2/9/2023).

Kemana Suara NU?

post-cover
Potret deklarasi pasangan bakal calon presiden Anies Baswedan dan bakal calon wakil presiden Muhaimin Iskandar. (Foto:Antara)

780 kilometer dari tempat deklarasi di Surabaya, tepatnya di Kantor pusat PBNU di Jakarta, Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya ‘menyambut’ deklarasi Amin dengan mem-barrier bahwa tidak ada capres-cawapres atau kandidat lainnya yang mengatasnamakan NU. Sikap ini diambil Gus Yahya berdasarkan Muktamar PBNU, yang memberi mandat bahwa NU tidak terlibat dalam politik praktis melainkan sebagai organisasi keagamaan kemasyarakatan.

“Norma organisasi dari jam'iyah NU ini tidak mengizinkan, tidak mengizinkan NU sebagai organisasi sebagai lembaga untuk ikut dukung mendukung dan menjadi kompetitor dalam kompetisi politik, itu normanya,” kata Gus Yahya, di Kantor PBNU, Jakarta, Sabtu (2/9).

Wajar memang struktural NU bersikap demikian, mengingat wadah keagamaan ini cukup menggiurkan dalam urusan lumbung suara. 

Pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Denny JA dalam sebuah video yang disiarkan di YouTube Orasi Denny JA, yang dipantau Inilah.com, mengungkapkan bahwa terjadi kenaikan yang sangat drastis dari jumlah masyarakat yang mengaku sebagai bagian dari NU. Hal ini ditunjukkan dengan persentase publik yang merasa menjadi bagian dari NU sebanyak 27,5 persen di tahun 2005 naik menjadi 56,9 persen di tahun 2018.

Kesadaran akan ditariknya NU dalam politik praktis juga dirasakan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Bidang Keagamaan, KH Ahmad Fahrur Rozi.“Ya itu dinamika setiap pemilu karena suara pemilih warga NU berdasarkan survei LSI sangat Besar. Mungkin pasangan capres-cawapres lainnya juga akan berusaha menggaet dari kalangan NU,” ujar KH Ahmad Fahrur Rozi ketika berbincang dengan Inilah.com.

Secara struktural memang NU tidak memihak, namun tidak demikian secara kultural, dimana suara Cak Imin kadung menjadi representatif NU. “Dia (Cak Imin) memang lahir dan dibesarkan dari pesantren keluarga tokoh NU. Masih keponakan Gus Dur (Presiden RI Abdurahman Wahid dan mantan ketua Tanfidziyah atau badan eksekutif Nahdlatul Ulama),” kata Gus Fahrur.

Hal senada juga disampaikan mantan Ketua PWNU Jawa Timur KH Abdussalam Shohib. Menurut Gus Salam memang secara struktural atau dijajaran pengurus, terdapat aturan yang melarang untuk memberikan dukungan politik praktis dengan membawa nama organisasi NU. Namun yang harus digaris bawahi, masing-masing pribadi, baik NU kultural maupun NU struktural, itu punya hak untuk menentukan pilihannya kepada siapapun capres cawapresnya. 

“Jadi menurut saya temen-temen di NU struktural maupun kurtural ini banyak dukungannya kepada Gus Imin. Cuma yang struktural mereka tidak membawa organisasi untuk ikut dukung mendukung,” kata Gus Shoib kepada Inilah.com.

post-cover
Bacapres Anies Baswedan bersama bacawapres Muhaimin Iskandar alias Cak Imin saat berziarah ke makam Ketua PBNU pertama KH Hasan Gipo di Komplek Makam Sunan Ampel, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (9/9/2023). (Foto:Antara)

Ulama yang santer masuk bursa Ketua PWNU Jatim ini memastikan bahwa sejumlah pondok pesantren (Ponpes) besar NU sudah menyatakan sikap, utamanya yang kerap di sambangi Cak Imin, seperti Ponpes Lirboyo, Ploso, Sukorejo Situbondo, Wali Songo dan yang lainya. 

“Salah satu rekomendasi dari petinggi Ponpes supaya Gus Muhaimin berusaha keras berjuang untuk bisa ikut kontestasi di Pilpres. Maka apa yang beliau (Cak Imin) lakukan hari ini, itu adalah bagian dari perjuangan atas amanat dari para kiai,” kata Gus Salam. 

Gus Salam meyakini sebagai basis NU, pasangan Anies-Cak Imin di Jawa Timur bakal meraup suara 70 persen di Pilpres 2024 nanti. Keyakinan yang kemudian berbanding terbalik dengan hasil survei dari LSI Denny JA, dimana menyimpulkan pemilih NU yang ke PKB hanya 11,6 persen. Sementara pemilih NU terbanyak justru berada di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dengan 21,9 persen.

Hal yang kemudian menurut Direktur Eksekutif Indonesian Presidential Studies (IPS), Nyarwi Ahmad, menjadi pekerjaan rumah (PR) besar bagi pasangan Anies dan Cak Imin dalam mengarungi Pilpres 2024 nanti.

“Kedekatan kultural atau kesamaan organisasi NU saja tidak cukup untuk mendapatkan mobilisasi suara,” kata Nyarwi kepada Inilah.com. 

Sehingga menurut Nyarwi, provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur akan menjadi arena pertarungan yang menarik bagi seluruh calon presiden dan wakil presiden nanti. (Nebby/Clara/Diana/Mihardi/Haris).

 

Back to top button