News

Biden dan Trump Mulai Muak, Netanyahu Menghitung Mundur Nasibnya


Perang Israel di Gaza benar-benar menguji hubungan Amerika Serikat-Israel. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menjadi pusat ketegangan yang meningkat antara kedua sekutu dekat tersebut. Presiden AS Joe Biden mulai frustasi, sementara saingan kuatnya Donald Trump mulai muak dengan Netanyahu.

Dorongan Netanyahu yang tak henti-hentinya dan kurang ajar untuk melanjutkan penghancuran besar-besaran di Jalur Gaza, dengan pemandangan yang mengerikan, taktik brutal dan statistik yang mengejutkan, telah menjadi ciri khas perang ini yang tak terhapuskan.

Presiden AS Joe Biden tidak bisa menutupi rasa frustrasinya terhadap kebijakan provokatif dan konfrontatif Netanyahu serta koalisi sayap kanannya. Perang Gaza yang dilancarkan Netanyahu telah menjadi isu pemilu AS, sehingga membuat Biden kehilangan suara dari kalangan muda dan progresif Partai Demokrat. Penolakan Netanyahu terhadap ‘garis merah’ Biden mengenai serangan terhadap Rafah telah membawa hubungan antara kedua pemimpin tersebut ke titik perubahan.

“Presiden menjelaskan mengapa dia sangat prihatin dengan prospek Israel melakukan operasi militer besar-besaran di Rafah,” kata Penasihat Keamanan Nasional AS Jake Sullivan dalam sebuah pengarahan hari Senin (18/3/2024), mengutip Arab News.

“Operasi darat besar-besaran di sana merupakan sebuah kesalahan, hal ini akan menyebabkan lebih banyak kematian warga sipil yang tidak bersalah, memperburuk krisis kemanusiaan yang sudah mengerikan, memperdalam anarki di Gaza, dan semakin mengisolasi Israel secara internasional,” kata Sullivan.

Biden telah meminta Netanyahu untuk mengirim tim senior yang terdiri dari pejabat militer, intelijen dan bantuan ke Washington untuk ‘mendengar kekhawatiran AS’ mengenai rencana Rafah saat ini – dan mendiskusikan pendekatan alternatif melibatkan serangan yang ditargetkan terhadap Hamas. “Netanyahu setuju untuk melakukan diskusi dan keterlibatan ini,” kata Sullivan.

Biden Semakin Vokal Melihat Situasi Gaza

Osama Al-Sharif, jurnalis dan komentator politik yang tinggal di Amman dalam tulisannya di Arab News mengungkapkan, Biden telah mendukung Israel sejak serangan 7 Oktober. Ia juga mengunjungi negara itu tidak lama kemudian, dan AS terus memberikan bantuan miliaran dolar kepada sekutu utamanya. 

Namun kini Biden semakin vokal dalam kritiknya setelah melihat jumlah korban jiwa warga Palestina dan situasi kemanusiaan yang mengerikan di Gaza. “Partai Demokrat khawatir meningkatnya oposisi di dalam negeri dapat merugikan peluangnya dalam pemilihan presiden bulan November,” kata Sharif.

Pekan lalu, legislator Yahudi AS yang paling terkemuka, Pemimpin Mayoritas Senat Chuck Schumer, secara terbuka menegur cara Netanyahu menangani perang Gaza dan menyerukan pemilu baru di Israel. Dia mengatakan bahwa Netanyahu telah ‘tersesat’ dan merupakan hambatan bagi perdamaian di kawasan. Biden mencatat bahwa Schumer menyampaikan pidato yang baik. Sedangkan Netanyahu membalas dengan mengatakan bahwa pernyataan senator itu “tidak pantas.” 

Netanyahu juga menolak rencana Biden pasca-perang di Gaza. Ia menolak mempertimbangkan untuk menyerahkan pemerintahan kepada Otoritas Palestina, menarik diri dari Gaza dan menerima solusi dua negara, yang menurutnya menguntungkan Hamas. Hanya saja, ia telah membingungkan rekan-rekan kabinet perangnya karena gagal memberikan skenario pascaperang yang realistis.

AS telah mengedarkan rancangan resolusi yang akan diserahkan ke Dewan Keamanan PBB dalam waktu dekat yang mendukung upaya internasional untuk menetapkan “gencatan senjata segera dan berkelanjutan” sebagai bagian dari kesepakatan untuk membebaskan sandera. AS sebelumnya telah memveto rancangan resolusi yang menyerukan gencatan senjata sebanyak empat kali.

Sementara saingan Biden di Pemilu AS, Donald Trump mengakui muak dengan sikap Netanyahu. Ia akan meminta Netanyahu untuk mengakhiri perang di Gaza ‘secepatnya’ jika terpilih sebagai presiden pada November.

“Saya pikir Anda harus menyelesaikannya, melakukannya dengan cepat dan kembali ke dunia yang damai,” kata calon presiden dari Partai Republik itu kepada pembawa acara Fox News Howard Kurtz pada hari Minggu. Trump beberapa hari lalu juga mengkritik pemerintah Israel.

Para pemimpin Barat lainnya mulai kritis terhadap Netanyahu. Mereka mengkritik Israel secara terbuka karena menghambat aliran bantuan ke Gaza, yang mengakibatkan kelaparan massal di seluruh wilayah kantong tersebut dan kematian bayi-bayi Palestina akibat kekurangan gizi serta kurangnya akses terhadap perawatan medis.

Dukungan di Dalam Negeri Merosot

Menurut Osama Al-Sharif, di dalam negeri, tingkat dukungan terhadap Netanyahu sudah rendah bahkan sebelum serangan Hamas pada 7 Oktober. Angka tersebut tetap rendah, meskipun mayoritas warga Israel terus mendukung perang dan penghancuran Hamas, sambil menyerukan pemilu baru. Penolakan Netanyahu untuk menyetujui perjanjian pertukaran sandera yang baru telah semakin mempolarisasi masyarakat Israel dan melemahkan mitra sayap kanannya dalam pemilu.

Netanyahu, sebenarnya masih dalam masa pemulihan dari reaksi publik yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap upayanya untuk melemahkan sistem peradilan dan mencegah pengawasan terhadap lembaga eksekutif.

Netanyahu juga dianggap gagal mengantisipasi serangan dari Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober serta tidak mampu melakukan perang dengan cepat. Perang telah berlarut-larut dan tumpukan warga sipil Palestina yang tewas, termasuk perempuan dan anak-anak, menjadi hal yang sangat ditakutkan oleh sekutu Netanyahu di Barat, menghadapi para pemilihnya yang marah di dalam negeri. Keadaan telah berbalik dan teman-teman terdekatnya di Barat mulai menekannya untuk mengakhiri perang.

Ketika Netanyahu mengabaikan seruan tersebut, Israel menghadapi tuduhan genosida di Mahkamah Internasional dan tuduhan sengaja membuat jutaan warga Palestina kelaparan. Di mata jutaan orang di seluruh dunia, yang sebagian besar dimobilisasi para aktivis media sosial dan membanjirnya gambar-gambar pembantaian sehari-hari yang diposting di platform-platform tersebut, klaim Tel Aviv bahwa mereka adalah korban dari semua ini telah runtuh.

Netanyahu sekarang juga bertentangan dengan sekutunya di dalam negeri. Kabinet perangnya terpecah dan beberapa saingannya berusaha untuk mendapatkan tempatnya. Kalangan politik Israel kini memandangnya sebagai sebuah beban. Keluarga para sandera melihat penolakannya terhadap kesepakatan untuk mengembalikan orang yang mereka cintai menganggap Netanyahu sebagai pengkhianat.

Jika pasukannya menyerang Rafah dengan mengorbankan warga sipil yang besar tentu akan memperparah krisis kemanusiaan. Selain itu tidak ada jaminan bahwa ia dapat meraih kemenangan telak yang telah ia janjikan kepada publik.

Bagi kalangan politik Israel, apa yang disebut-sebut sebagai prestasi Netanyahu di Gaza kini terkikis oleh kerusakan parah yang telah ia lakukan terhadap aset politik Israel di luar negeri, khususnya di AS. Netanyahu juga telah gagal menaklukan Hamas, menghancurkan infrastruktur Gaza, menciptakan zona penyangga baru di dalam wilayah tersebut dan membagi Jalur Gaza. Tidak mungkin Gaza bisa kembali ke keadaan sebelum Oktober. 

Apa yang disadari oleh Gedung Putih adalah Netanyahu telah menjadi radioaktif, baik di dalam maupun di luar Israel. Hitung mundur kepergiannya telah dimulai. Sudah waktunya bagi Netanyahu untuk menyingkir dan membiarkan orang lain mengambil pendekatan yang lebih halus pada fase kedua terakhir perang

Back to top button