Kanal

Berhaji karena Ibu Sakit

Di antara 229.000 orang Indonesia yang berhaji tahun ini, Allah mengundang Mirza.

Saya mengenal Mirza sejak 18 tahun yang lalu, sejak kami sama-sama berkuliah di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), satu angkatan. Sejak saat itu, kami berteman, sama-sama aktif di organisasi ekstrakampus Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Ia anak yang rajin dan bersemangat, selalu ikut diskusi, dan berusaha memberikan pendapat—meski kadang pendapatnya tidak nyambung-nyambung amat. Tapi dia pembelajar yang tekun.

Walaupun tidak terlalu menonjol di kelas-kelas perkuliahan, tidak terlalu canggih di forum diskusi, orang akan tetap mengenal Mirza sebagai aktivis-intelektual kampus. Gayanya cocok. Ke mana-mana Mirza membawa buku tebal, kadang buku politik, kadang buku filsafat. Jika berargumen, bicaranya mengalun khas aktivis kampus, pada beberapa bagian intonasi diangkat meski substansi tidak cocok. Kemana-mana ia memakai sandal jepit. Rambut gondrong diikat. Yang paling ikonik dari Mirza adalah penampilannya.

Itulah Mirza. Salah satu aktivis kampus terbaik yang pernah saya kenal. Aktif di berbagai kegiatan kampus, tidak pernah absen saat demo, berkawan dengan banyak orang—termasuk para senior. Saat kuliah, Mirza sering mendatangi saya untuk sekadar berdiskusi. Di kampus atau di kosan. Intensitas interaksi saya dengannya membuat saya tahu ia adalah aktivis yang baik. Tidak pernah meninggalkan shalat, tidak berpacaran, dan yang paling penting, sayang sekali pada ibunya.

Poin terakhir itu yang ingin saya ceritakan dalam tulisan ini. Saya yakin rezeki Mirza datang dari buah cintanya kepada ibu, termasuk rezeki berhaji tahun ini. Allah memanggilnya tiba-tiba, tanpa persiapan, tanpa antisipasi, tanpa izin kantor sebelumnya. Tiba-tiba kami bertemu di sebuah kafe di Al-Anwar Al-Madinah Mall, usai shalat Isya yang padat di Masjid Nabawi.

Sudah cukup lama saya tidak bertemu dengan Mirza, terakhir kali saat reuni alumni IMM UMY di Jakarta, kesibukan kami masing-masing membuat sulit bertemu. Apalagi kami tinggal di dua tempat yang dekat secara geografis tetapi jauh secara waktu tempuh. Saya beraktivitas di Jakarta, Mirza di Bekasi. Konon, kalau ke Bekasi kita harus membawa paspor. Kadang lebih mudah ke Bandung atau ke Jogja daripada ke Bekasi. Hehehe.

Tentu kami saling memantau di media sosial. Saya perhatikan Mirza aktif menjadi trainer di perusahaan tempatnya bekerja. Ia bicara dari forum diskusi ke forum diskusi, terlihat sering mengisi training. Dan yang paling membuat saya senang, di seminar-seminar itu Mirza kini berjas dan berdasi. Minimal berseragam kantor. Tidak pakai baju kumal dan sandal jepit seperti dulu lagi. Mirza sudah keren sekarang.

Namun, lebih keren lagi cerita hajinya. Tahun ini ia berhaji melalui undangan tak terduga. Cara Allah memanggil hamba-Nya ke tanah suci memang beragam. Rezeki berhaji seseorang datang bisa jadi karena Allah memberikan rezeki dengan cara lain kepada orang yang justru mendoa-doakannya.

“Aku gantiin ibuku, Fahd,” cerita Mirza saat saya bertanya apakah ia berhaji sendiri atau dengan orangtuanya.

“Iya, kemarin aku lihat di-posting Instagram kamu lagi syukuran untuk ibumu, kan? Sudah siap, sudah pakai seragam haji?” tanya saya.

Mirza mengangguk. “Udah hampir berangkat. Udah di embarkasi. Tapi ibu nggak jadi berangkat karena kesehatannya. Usia ibuku sudah 75 tahun, Fahd. Ingatannya udah mulai berkurang. Dokter menyatakan tidak bisa berangkat karena tidak memenuhi istito’ah haji,” kisahnya.

Saya memperhatikan dengan saksama cerita Mirza.

“Akhirnya aku gantiin,” katanya.

“Sudah rezekimu, Za. Insya Allah ini yang terbaik buat ibu juga,” timpal saya.

“Awalnya aku nggak mau berangkat. Mau nyerah aja. Kasihan nggak ada yang jaga dan dampingi ibu,” cerita Mirza makin menarik perhatian saya.

Kisah anak menggantikan porsi haji orangtuanya adalah hal yang biasa. Tapi kalau tidak mau karena tak tega meninggalkan, ini sesuatu yang istimewa, pikir saya.

“Harusnya ibu berangkat haji tahun 2020, saat itu masih lumayan, tapi tahun itu kan tidak ada haji karena Covid-19. Jadinya dapat porsi keberangkatan tahun ini. Tapi ya itu, kondisi ibu sudah tidak memungkinkan. Meski awalnya kami paksakan, saking senangnya. Ibu memang bercita-cita haji sejak lama,” kata Mirza.

Ia melanjutkan, “Waktu dinyatakan tidak memungkinkan berangkat. Awalnya aku ngotot batalin aja, ambil uangnya aja. Balikin. Porsi haji bisa diberikan ke orang lain. Tapi istriku meyakinkan aku saja yang berangkat, gantiin ibu. Kalau bukan karena dorongan istri, aku nggak akan berangkat, Fahd.”

Saya mengerutkan dahi. “Kenapa?” cerita Mirza membuat saya penasaran.

“Gimana enggak, Fahd. Aku kan tinggal bareng ibu. Kamu tahu. Sejak lama aku merawat ibuku yang sakit. Setiap hari aku yang nyuapin, yang anter ke kamar mandi, yang urus semua kebutuhannya. Nggak tega kalau ninggalin ibu. Apalagi lebih 40 hari. Tapi kata istriku, berangkat aja. Istriku yang gantian merawat ibuku,” jawab Mirza.

Hati saya bergetar mendengar cerita itu. Ini bukan sekadar kisah seorang ibu yang bercita-cita berhaji, bukan semata cerita anak laki-laki yang berbakti kepada ibunya, tetapi sekaligus tentang istri dan menantu yang luar biasa. Perjalanan haji Mirza membuat saya belajar banyak hal. Bahwa kasih sayang Allah kepada hamba-Nya begitu luas dan dalam. Begitu luar biasa.

“Ini undangan Allah dan Rasulullah untukmu, Za. Alhamdulillah. Meski ibu nggak berangkat, kamu bisa doakan yang terbaik dari sini. Insya Allah ibumu ridha. Insya Allah ini juga yang diinginkan ibumu,” ucap saya.

Mirza mengangguk. “Nggak nyangka ya, Fahd, kita bisa berhaji tahun ini? Ketemu pula. Aku juga baca ceritamu. Alhamdulillah kita sekarang di sini. Di pelataran Masjid Nabawi,” kata Mirza.

Malam itu, kami berbincang cukup lama. Sampai tengah malam. Berbagi hikmah, berbagi kisah nostalgia. Dulu di kampus kami sering nongkrong di Soto Bang Jerry, sekarang di Masjid Nabawi. Skenario Allah untuk setiap hambanya memang luar biasa indahnya.

“Ternyata hidup kita tidak bisa dijelaskan dengan buku politik, sosial, filsafat. Tidak bisa pakai teori-teori,” kata Mirza. “Ini adalah Perjalanan Rasa.” Tambahnya. Ia menyebut judul buku saya yang dibacanya.

Saya mengangguk. Tersenyum. Bulan bersinar terang di langit Madinah, purnama baru saja lewat, bulan tanggal 17. Inilah perjalanan rasa, nikmatilah semuanya. Kita bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa sampai mewakili pikiran dan perasaan sendiri. Dalam perjalanan itu, kita dipanggil, sesuai amal dan perbuatan kita masing-masing.

Madinah, 17 Dzulqaidah 1444H

FAHD PAHDEPIE

Back to top button