Kanal

Banteng Melenguh Sumbang Memojokkan Jokowi

Hari-hari yang berisikan kekompakan antara PDIP dan Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah berlalu. Lebih dari sepekan terakhir, ramai-ramai kader partai banteng moncong putih membabi buta menyerang dengan berbagai narasi hingga upaya ingin memakzulkan Jokowi.

Entah apa awal mula perseteruan ini. Tapi yang ditangkap publik, keretakan ini makin kentara kala Jokowi merestui putra bungsunya, Kaesang Pangarep untuk menjadi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), yang jelas melanggar AD/ART PDIP, soal larangan anggota keluarga kadernya bergabung ke partai lain.

Untuk urusan ini PDIP masih menahan diri, bahkan Ketua DPP PDIP Puan Maharani masih mau menyempatkan diri bertemu dengan Kaesang usai resmi menjadi Ketum PSI. Tapi puncaknya PDIP akhirnya bereaksi keras ketika putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka maju sebagai cawapres Prabowo Subianto.

Berbagai narasi buruk pun mulai dimainkan kubu banteng. Wakil Ketua Tim Koordinasi Relawan Pemenangan Pilpres (TKRPP) PDIP, Adian Napitupulu menyatakan bahwa pengkhianatan Presiden Jokowi dan keluarganya, terhadap partai disebabkan karena hal yang sederhana.

“PDIP tidak mengabulkan permintaan Jokowi untuk memperpanjang masa jabatannya, sebagai presiden menjadi tiga periode dan menambah masa jabatan,” tegas Adian di Jakarta, Rabu (25/10/2023).

Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto pun menambahkan bara api terhadap kabar tersebut. Ia menyebut isu tiga periode merupakan permintaan “Pak Lurah” atau Presiden Jokowi.

“Jadi saya sendiri mengalami itu. Jadi ketika saya sedang nyekar di Makam Bung Karno, Blitar, tiba-tiba muncul berita salah satu menteri yang mengatakan berdasarkan big datanya, itu ada cukup banyak yang mendorong perpanjangan jabatan atau tiga periode,” kata Hasto, Jumat (27/10/2023).

Puan pun sempat buka suara untuk menenangkan situasi dengan membantah pernyataan dua kadernya itu. Ia memastikan bahwa Jokowi dan Megawati tidak pernah membahas soal isu masa jabatan presiden tiga periode dalam berbagai pertemuan. “Enggak, enggak pernah setahu saya enggak pernah beliau meminta untuk perpanjangan tiga periode,” kata Puan.

post-cover
Ketua DPP PDIP Puan Maharani dan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto. (Foto: antara).

Tapi publik menangkap ini hanya akal-akalan saja agar tidak terlihat bahwa PDIP menyerang Jokowi secara terang-terangan, munculkan kesan bahwa yang menyerang adalah perseorangan, pendapat pribadi para kader terhadap Jokowi.

Anggapan publik benar adanya, karena politikus PDIP Masinton Pasaribu menegaskan bahwa tidak ada perbedaan sikap yang ditunjukkan antara Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto dengan Ketua DPP PDIP Puan Maharani perihal wacana jabatan presiden tiga periode.

“Tidak ada yang mendua, sikap PDIP itu bulat bahwa kalau di permukaan saya bisa memahami apa yang disampaikan oleh mbak Puan itu, beliau harus menenangkan, itu sikap negarawan,” jelas Masinton di Jakarta Selatan, Minggu (29/10/2023).

Serangan masih berlanjut. Hasto menggulirkan narasi baru yakni politik sandera. Ia menuduh para ketua umum partai politik di Koalisi Indonesia Maju (KIM) terpaksa mengusung Gibran sebagai pendamping Prabowo karena sudah tersandera oleh Jokowi. “Saya sendiri menerima pengakuan dari beberapa ketua umum partai politik yang merasa kartu truf-nya dipegang,” ujar dia di Jakarta, Minggu (29/10/2023).

Anehnya, ketika ditantang untuk blak-blakan, Hasto ciut dan memilih bungkam soal identitas ketum parpol yang ia sebut tersandera karena kartu trufnya dipegang Jokowi. Hasto beralasan, ia melemparkan isu politik sandera adalah sebagai bagian dari imbauan moral. Oleh karena itu, dia juga meminta semua pihak harus menjaga demokrasi yang sehat dengan tidak melakukan intervensi.

Hasto tak peduli segala narasinya dianggap sebagai fitnah kepada Presiden Jokowi. Dengan yakin ia menyebut kebenaran akan terjawab pada waktu yang tepat. “Loh, kami kan sayang dengan seluruh ketua umum. Kami sayang. Kebenaran itu akan disuarakan pada 14 Februari nanti,” ucap Hasto, di Jakarta, Kamis (2/11/2023).

Yang terbaru, turut digulirkan wacana pemakzulan Jokowi. Isu ini mengemuka usai Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 yang penuh kontroversi. Banyak pihak menganggap putusan itu penuh konflik kepentingan, karena memuluskan jalan putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, menjadi cawapres.

Ide ini dilontarkan oleh politikus PDIP Masinton Pasaribu. Hal itu dikemukakan Masinton saat dirinya mengajukan interupsi di sela-sela rapat paripurna (rapur) dalam Pembukaan Masa Persidangan II Tahun Sidang 2023-2024 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (31/10/2023).

post-cover
Politikus PDI Perjuangan Masinton Pasaribu. (Foto: Antara)

“Kita harus menggunakan hak konstitusional yang dimiliki oleh lembaga DPR. Ibu ketua, saya Masinton Pasaribu anggota DPR RI dari daerah pemilihan DKI Jakarta, menggunakan hak konstitusi saya untuk mengajukan hak angket,” kata Masinton.

Dia menilai keadaan konstitusi saat ini sedang diinjak-injak. Bahkan, Masinton mengatakan, telah terjadi tragedi konstitusi usai putusan MK tentang syarat batas usia capres cawapres pada 16 Oktober 2023 lalu. “Tentu bagi kita semua, bapak ibu kita yang hadir di sini, sebagai roh dan jiwa bangsa kita, konstitusi harus tegak. Dia tidak boleh dipermainkan atas nama pragmatis politik sempit tersebut,” ujarnya.

Menanggapi usulan ini, pakar hukum dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah alias Castro menyebut usulan Masinton ngawur. “MK itu bukan objek dari hak angket DPR. Ngawur itu,” ujar Castro saat dihubungi Inilah.com.

Segala macam nyanyian sumbang yang digaungkan kubu banteng, tak berhasil memancing Jokowi untuk merespons secara emosional. Tidak banyak yang Jokowi katakan ketika dimintai tanggapan terkait manuver PDIP. “Saya enggak ingin mengomentari,” kata Jokowi singkat beberapa waktu lalu.

Sumbangsih Jokowi

Terlepas dari segala permasalahan di antara keduanya, harus diakui bahwa Jokowi punya kontribusi besar pada kenaikan tingkat keterpilihan PDIP pada dua pemilu terakhir. Hasil survei Indikator Politik Indonesia pada Oktober 2023, mencatat bahwa mayoritas pemilih mengaku mencoblos partai banteng moncong putih bukan karena menyukai sosok sang Ketua Umum Megawati Soekarnoputri. Hanya 2,2 persen responden yang mengaku menyukai Presiden ke-5 RI itu.

“Yang menarik PDIP, alasan terbesar kedua memilih partai ini, karena faktor Jokowi. Sedangkan yang memilih ibu Mega sebagai ketum partai, itu hanya 2,2 persen. Ini menarik, karena kan hubungan keduanya dianggap sedang tidak baik-baik saja,” kata Burhanuddin dalam rilis temuan survei nasional bertajuk ‘Peta Elektoral Pasca Pengumuman Putusan MK’, Kamis (26/10/2023).

post-cover
Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri saat berpidato di DPP PDIP Jakarta. (Foto: Dok. Tim Media PDIP).

Suka atau tidak suka, PDIP juga mesti akui bahwa sejak digelarnya pemilihan langsung pada 2004, memang baru pada Pilpres 2014 dan 2019, kala mencalonkan Jokowi, partai banteng bisa keluar sebagai pemenang. Dalam sejarahnya, PDIP kalah dua kali dan menang dua kali dalam empat pemilihan presiden (Pilpres) terakhir. PDIP pertama kali mengusungkan calon presiden pada Pilpres 2004.

Kala itu, PDIP dan Partai Damai Sejahtera Pembaharuan (PDS) mencalonkan Megawati sebagai calon presiden. Ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Hasyim Muzadi menjadi calon wakil presidennya.

Pilpres 2004 berlangsung dalam dua putaran. Pada putaran pertama, pasangan calon Megawati-Hasyim bersaing dengan empat pasangan calon lainnya. Ini terdiri dari Wiranto-Salahuddin Wahid, Amien Rais-Siswono Yudo Husodo, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla (JK), dan Hamzah Haz-Agum Gumelar.

Pada putaran kedua, pasangan calon Megawati-Hasyim Muzadi berhadapan langsung dengan pasangan calon Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla (JK). Megawati dan Hasyim kalah dengan pangsa suara 39,38 persen. Megawati kalah meskipun merupakan seorang petahana.

Pada Pilpres 2009, PDIP kembali mengusung Megawati sebagai kandidat presiden. Ketua umum Partai Gerindra Prabowo Subianto menjadi calon wakil presidennya. Megawati dan Prabowo menghadapi dua pasangan calon lainnya pada Pilpres 2009. Mereka adalah SBY-Boediono dan JK-Wiranto. Hasilnya, pasangan calon Megawati-Prabowo kalah lagi, dengan pangsa suara 26,79 persen. Pasangan calon SBY-Boediono memenangkan 60,80 persen pangsa suara.

Pada Pilpres 2014, PDIP untuk pertama kalinya mengusungkan kandidat selain Megawati. Partai banteng itu mengusung Jokowi dan JK. Pasangan ini berhasil memenangkan 53,15 persen pangsa suara. Ini mengalahkan pasangan calon Prabowo-Hatta Rajasa yang memperoleh 46,85 persen suara.

Pilpres 2014 menandai kemenangan pertama calon presiden yang diusung oleh PDIP sejak 2004. Ini juga menandai pergeseran posisi PDIP di parlemen dari oposisi menjadi pendukung pemerintah. Pada Pilpres 2019, PDIP kembali mengusung Jokowi. Ia dipasangkan dengan Ma’ruf Amin. Pasangan ini memenangkan 55,5 persen. Sejak Pilpres 2014, PDIP telah memperkuat dukungan pemilihnya. Ini terlihat dalam peningkatan 2,35 poin pangsa suara yang dimenangkan oleh Jokowi, kader terbaiknya. [Rez/Rizky/Diana/Vonita]

Back to top button