News

Balada Raja Kecil Pak Kades

Tak dinyana, awal 2023 diwarnai isu perpanjangan masa jabatan. Ratusan kepala desa (kades) berdemonstrasi di Gedung DPR pada Selasa (17/1/2023). Mereka menuntut perpanjangan masa jabatan dari 6 menjadi 9 tahun dalam satu periode. Aspirasi tersebut menuai pro-kontra, etika para kades menuntut perpanjangan masa jabatan dipertanyakan.

Mantan Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Djohermansyah Djohan menilai aspirasi tersebut sudah melenceng jauh dari semangat penyusunan UU Pemda dan UU Desa. Kedua UU tersebut dianggap lahir menyerap semangat reformasi, namun terancam tercederai lantaran adanya desakan perpanjangan masa jabatan.

“Perpanjangan masa jabatan itu kok yang mengusulkan kadesnya? Dia kan yang memegang jabatan di desa. Seharusnya rakyat dong,” kata Djohermansyah, kepada Inilah.com, di Jakarta, Minggu (22/1/2023).

Pada 2023 pemerintah bersama DPR telah menganggarkan dana desa lebih dari Rp70 triliun untuk dialokasikan kepada 74.954 desa di 434 kabupaten/kota, agar setiap desa mendapatkan Rp1 miliar per tahun. Celakanya, sejak kebijakan dana desa diterapkan tak sedikit muncul kasus penyelewengan. Bahkan muncul labeling kades menjadi raja-raja kecil.

Djohermansyah mengingatkan, semangat reformasi menghendaki pembatasan masa jabatan dalam dua periode. Satu periode dijabat selama lima tahun hingga total jabatan pejabat publik menjabat maksimal 10 tahun dalam dua periode.

Dia tidak menampik dalam perkembangannya terjadi perubahan masa jabatan kades menjadi 6 tahun dalam satu periode, disesuaikan dengan kondisi sosial. Namun idealnya jabatan publik diemban maksimal 10 tahun.

Pemberlakuan masa jabatan kades dalam UU Desa yang berlaku sekarang ini juga mengakomodasi jabatan kades bisa dijabat hingga tiga periode, yang menurutnya ketentuan itu sudah melenceng dari semangat reformasi. Artinya desakan menuntut jabatan kades menjadi 9 tahun dalam 1 periode bukan hanya mengkhianati reformasi tetapi mengancam demokrasi.

“Jadi jangan diganti di Pasal 39 (UU Desa), masa jabatannya 6 tahun paling banyak tiga kali (periode), sudah 18 tahun itu. Masak masih kurang saja? Lalu satu lagi yang penting, itu bertentangan dengan semangat reformasi,” tutur Djohermansyah menjelaskan.

Dia turut menyinggung tak ada jaminan perpanjangan masa jabatan kades bakal mempercepat pembangunan desa. Sebaliknya, ketentuan tersebut sama saja melegitimasi kebatilan pada tingkat desa.

“Nanti yang ada bahaya, pembangunan desa itu bisa macet dan mandek karena kepala desanya menjadi raja-raja kecil, dan memberikan waktu yang lama, mungkin seumur hidup. Nah itu adalah monarki yang hidup di desa. Mana ada di dunia pemerintahan monarki itu yang membuat rakyat maju dan sejahtera? Jadi ini monarki raja berkuasa rakyatnya sengsara.”

Djohermansyah menantang pemerintah bersama DPR menyikapi aspirasi para kades dengan mengembalikan spirit reformasi dalam UU Desa. Jabatan kades tetap 6 tahun dalam 1 periode mengikuti kondisi sosial dan kultural.  “Malah yang benar itu kembalikan ke spirit reformasi, kalau tidak, anda tidak jadi kades. Begitu seharusnya berani. Jangan makin lama makin melenceng dari reformasi,” tandasnya.

Back to top button