Kanal

Tren Utang Pinjol Mirip Era Kartu Kredit, ‘Senjata Perusak Massal’ Kaum Muda

Tidak punya utang mungkin dianggap enggak keren, cupu dan tidak kekinian. Fenomena ini sedang terjadi di Tanah Air terlihat dari banyaknya anak sekolah, mahasiswa dan anak muda yang memilih pinjaman online. Akibatnya mereka pun terjerat utang. Mirip seperti booming kartu kredit di era-90-an. 

Pekan ini kabar miris datang dari Yogyakarta. Sebanyak 58 mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) mengaku terjerat jasa pinjaman online alias pinjol demi memenuhi kebutuhan gaya hidup. Rektor UMY Gunawan Budianto mengatakan temuan itu didasarkan pada hasil survei internal kampus yang menyasar mahasiswanya secara acak.  “Ternyata ada 58 yang ngaku pinjam pinjol, ada yang sampai enggak bisa bayar. Tapi ada yang sudah selesai,” kata Gunawan, Selasa (12/9/2023).

Pada November tahun lalu sempat terjadi kehebohan setelah ratusan mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) terjerat pinjol. Bahkan mereka ditagih utangnya oleh debt collector dengan besaran nilai dari Rp2 juta hingga Rp16 juta per orang. Tagihan peminjamannya mencapai Rp650,19 juta, dengan tertinggi Rp16,09 juta.

Lebih parah lagi utang pinjol menyebabkan peristiwa kriminal sadis. Seorang pemuda bernama HP (23) asal Temanggung, pada Maret lalu ditangkap dan dijadikan tersangka pembunuhan dan mutilasi Ayu Indraswari (34) warga Kraton, Kota Yogyakarta. Kepada polisi, pelaku mengaku melakukan tindakan keji tersebut karena terjerat utang pinjol di tiga aplikasi berbeda sejumlah total Rp8 juta.

Executive Director INDEF Dr Tauhid Ahmad mengatakan banyak anak muda terjerat pinjol, termasuk para mahasiswa. Indef menemukan bahwa korban pinjol rata-rata tidak mengalkulasi kekuatan angsuran dengan penghasilannya, apakah akan mampu membayar atau tidak. Banyak di antara anak muda itu belum bekerja bahkan masih bersekolah.

Center of Digital Economy and SMEs INDEF menegaskan 78 persen pengguna Pinjol berpenghasilan sekitar Rp1-5 juta. Sementara Data Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menyebutkan, 60% pengguna pinjol berusia antara 19 hingga 24 tahun. 

Untuk usia di bawah 19 tahun, rata-rata karakter pinjaman hanya Rp702.666 per Januari 2021. Namun per Juli 2022, rata-rata pinjaman naik menjadi Rp2,7 juta. Sedangkan per Juni 2023, rata-rata pinjaman untuk usia di bawah 19 tahun mencapai Rp2,34 juta. Sementara menurut laporan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), jumlah rekening penerima pinjol aktif berusia 19-34 tahun mencapai 10,91 juta penerima dengan nilai pinjaman sebesar Rp26,87 triliun pada Juni 2023. 

OJK juga mencatat kredit macet (NPL) layanan pinjol atau buy now pay later per April 2023 mencapai 9,7% atau di atas batas aman 5%. Berdasarkan umur, rentang usia muda 20-30 tahun menyumbang 47,78% terhadap rasio NPL.

Mirip Booming Kartu Kredit di Era 90-an

Fenomena yang terjadi di pinjol ini mirip dengan booming kartu kredit di era 90-an. Awalnya, kartu kredit ini hanya bisa digunakan oleh kalangan tertentu yang memiliki akses ke dunia perbankan modern. Namun, seiring dengan perkembangan, kartu kredit mulai merambah ke berbagai lapisan masyarakat.

post-cover
Ilustrasi kartu kredit (Istimewa)

Jenis kartu kredit yang ditawarkannya beragam tergantung target nasabahnya seperrti varian silver, platinum dan gold. Kartu kredit sempat menjadi trend gaya hidup di eranya. Anak muda, terutama yang sudah memiliki penghasilan menjadikan kepemilikan kartu kredit seperti sebuah gengsi tinggi. Tak jarang seseorang bisa memiliki beberapa kartu kredit dari berbagai bank sekaligus. Perbankan ketika itu benar-benar jor-joran menggaet konsumen kartu kreditnya.

Meski sempat melemah seiring krisis ekonomi yang terjadi di akhir 90-an, pengguna kartu kredit terus melonjak. Pada tahun 2005 jumlah kartu kredit yang beredar di Indonesia tercatat 8,34 juta kartu dengan nilai transaksi Rp51,67 triliun, tahun 2009 jumlah kartu beredar telah menjadi 13,41 juta kartu dengan nilai transaksi Rp137,25 triliun. Hingga akhir tahun 2010, jumlah kartu kredit beredar di Indonesia diprediksi mencapai sekitar 14,15 juta kartu dengan nilai transaksi sekitar Rp157,48 triliun.

Kaum muda di era itu menggunakan utang untuk menjalani kehidupan yang mereka anggap mudah, membeli barang-barang yang tidak perlu untuk mengikuti tren terkini, berpesta, jajan, nonton atau gaya hidup hedonis lainnya. Sementara pendapatan mereka lebih kecil dari biaya hidupnya termasuk untuk melunasi tagihan. Akibatnya kemudian adalah mereka beralih dari satu kartu kredit ke kartu kredit yang lain untuk menutupi utangnya.

Mengapa Banyak Remaja Terjerat Pinjol? 

Kemudahan menjadi daya tarik bagi anak-anak muda untuk mendapatkan pinjol. Rata-rata anak muda sudah memiliki smartphone sehingga tinggal mengunduh aplikasi guna mengakses pinjaman. Tak butuh banyak persyaratan yang bertele-tele, pinjaman dapat diperoleh dalam hitungan menit.

Nailul Huda, Peneliti Center of Digital Economy and SME, INDEF mengatakan mayoritas usia muda terjerat pinjol karena untuk memenuhi gaya hidup semata, seperti membeli pakaian, gawai, traveling dan konser. Perilaku konsumtif di usia muda saat ini bukan untuk kebutuhan. “Jadi banyak leisure, traveling, gawai, konser musik, dan sebagainya, anak-anak muda ini kan adaptasi internetnya tinggi seiring perkembangan teknologi. Tapi, pinjol bukan untuk makan sehari-hari atau beli kebutuhan pokok,” kata Nailul.

Pemicu lainnya adalah perilaku ini adalah kebiasaan pengeluaran yang berlebihan, tekanan ekonomi, hingga pembiayaan pendidikan. Sementara di sisi lain tingkat literasi pengelolaan keuangan termasuk dalam hal pinjaman di kalangan anak muda masih rendah. Mereka kurang memahami pengeloaan keuangan yang benar misalnya tentang risiko bunga tinggi hingga rasio utang tidak boleh melebihi dari 30 persen.

Sorotan lainnya menyangkut fenomena fear of missing out (FOMO) atau tuntutan untuk mengikuti tren terkini di kalangan anak muda saat ini. Perilaku FOMO ini turut memicu masyarakat untuk mengajukan pinjol termasuk yang ilegal. Gaya hidup FOMO ditangkap oleh para pelaku pinjol yang serius membidik target pasar anak muda. 

Celakanya, generasi milenal dengan mudah terkena bujuk rayu hingga kemudian terjerat utang. Akibatnya saat ini tumbuh generasi berutang seperti ditulis oleh Tamara Draut dalam bukunya “Generation Debt”. Ia mengatakan bahwa generasi muda kini semakin banyak berutang dibandingkan sebelumnya.

Pinjaman untuk Judi Online

Yang lebih mengejutkan, INDEF menemukan keterkaitan kuat judi online dengan pinjaman online. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dengan rinci menemukan transaksi mencurigakan yang berhubungan dengan perjudian mencapai 11,84% dari total 94 ribu laporan pada 2022. Laporan mengenai perjudian itu meningkat hingga 10 kali lipat dari sebelumnya. 

post-cover
Ilustrasi judi online (Foto:Istock)

Perjudian saat ini makin marak meski sudah tegas dilarang alias ilegal dengan ancaman pidana. Hal ini mengingat judi online, sangat mudah ditemukan di tengah masyarakat. Bahkan konten di berbagai platform media sosial juga terang-terangan menampilkan bagaimana permainan judi itu dibalut dengan permainan game online.

Parahnya lagi, iklan judi termasuk yang lagi digandrungi yakni judi slot juga sering ditemukan dan tak jarang disuarakan oleh orang-orang sohor di media sosial. Sederet artis dan influencer salah satunya Wulan Guritno pun terpaksa berurusan dengan polisi. Mereka diancam hukuman penjara paling lama 6 tahun dan denda Rp1 miliar. 

Masuk akal memang jika banyak pelaku judi online terjerat utang pinjol. Hal ini mengingat perjudian online sangat mudah dilakukan dengan menjanjikan keuntungan cepat. Anda tidak perlu pergi ke mana pun untuk memiliki akses ke perjudian online secara harfiah di ujung jari, jauh lebih sulit untuk berhenti. Orang bisa berjudi di tempat kerja, di ruang kelas, atau dalam perjalanan pulang di kendaraan.

Judi online juga sangat mudah untuk mentransfer uang antarrekening, atau memasukkan semuanya ke dalam rekening online, atau menghabiskan pulsa. Banyak pemain judi mungkin tidak menyadari berapa banyak uang sebenarnya yang mereka belanjakan, karena secara fisik tidak memegang uang tunai seperti yang mereka lakukan di meja judi atau di kasino. 

Orang yang sudah sering melakukan judi online akan mudah mengalami kecanduan. Akibatnya mereka terus berhubungan dengan pinjol, dan bisa berpindah dari pinjol satu ke pinjol lain sampai benjol. Akhirnya, pinjol pun menjadi petaka ibarat ‘senjata perusak massal’ bagi kesehatan finansial anak-anak muda.

Back to top button