Kanal

Aku Mencintaimu, Maka Setiap Hari Aku Mendoakanmu

Ada doa-doa tertentu yang, karena kita membacanya sejak kecil, telah menjadi sesuatu yang tidak bisa kita lewati sehari pun. Dalam hidup saya, salah satu doa itu adalah doa untuk kedua orangtua dan kebaikan dunia-akhirat. Rasanya, dua doa itu seperti satu paket, satu tarikan nafas. Sulit dipisahkan.

Setelah menikah dan memiliki anak-anak, ada satu doa lagi yang menjadi kebutuhan harian bagi saya. Doa untuk istri dan anak-anak saya. Awalnya, doa-doa untuk mereka sangat panjang dan rumit. Namun, akhir-akhir ini saya memperpendeknya. Bunyinya, “Ya Allah, ampunilah dosa-dosa istri dan anak-anakku.” Setelah itu, saya juga memohon agar mereka dijauhkan dari segala bencana dan penyakit, serta diberikan keselamatan dan kesejahteraan di dunia dan akhirat.

Mungkin semua itu terlihat sederhana dan wajar. Wajar bagi seorang suami untuk mendoakan istrinya, begitu pula sebaliknya. Hal yang sama berlaku bagi seorang ayah atau ibu yang mendoakan anak-anaknya. Itu hal yang lumrah, bukan? Namun, cobalah memaknai doa-doanya dengan lebih dalam. Jauh lebih dalam.

Selama hampir 40 hari di tanah suci, di Mekkah dan Madinah, saya belajar memaknai doa-doa yang sederhana tersebut. Saya membacakannya perlahan-lahan, merenungi perasaan yang terkandung di dalamnya, dan memahami makna di balik setiap kalimat doa yang diucapkan. Saya menyadari bahwa dalam setiap doa, bukan teksnya yang paling penting, bukan panjang atau pendeknya doa tersebut, bukan pula apakah doa itu menggunakan bahasa Arab yang sempurna atau tidak, melainkan seberapa dalam pemahaman kita saat menyampaikannya kepada Sang Pemenuh Permintaan Hamba-Nya.

“Pi, doakan aku ya?” pinta istri saya dalam panggilan video.

“Iya, aku selalu mendoakanmu setiap hari,” jawab saya.

Dia tersenyum. “Apa yang kamu doakan?”

“Doa yang kuat dan sederhana. Aku memohon ampunan dosa-dosamu. Aku berharap agar kamu selamat dari segala bencana. Aku berdoa agar kamu bahagia dan sejahtera di dunia dan akhirat,” kata saya.

“Apa lagi?” tanyanya. “Ada doa yang lain?”

“Itu saja,” jawab saya. “Itu sudah lebih dari cukup.”

Hal-hal yang lebih spesifik dan terperinci, kadang-kadang saya merasa malu untuk mendaftar dan menyampaikan semua permintaan yang ada. Allah pasti mengetahui apa yang tersembunyi dalam hati setiap hamba-Nya. Dia juga mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-hamba-Nya. Selain itu, doa-doa kita terlalu muluk-muluk, sedangkan rasa syukur kita terlalu sederhana. Al-Quran bahkan mengingatkan kita berkali-kali dengan ayat, “Maka nikmat Tuhanmu yang mana yang engkau dustakan?”

Namun, doa bukanlah hanya tentang apa yang kita minta, tetapi juga tentang mengapa kita meminta dan apakah kita benar-benar tahu kepada siapa kita meminta. Jadi, ketika ada yang meminta doa kepada saya, saya biasanya menjawab dengan candaan tapi serius, “Lebih baik minta doa kepada orangtuamu, pasanganmu, anak-anakmu. Mereka akan mendoakanmu dengan perasaan yang lebih dalam. Orang lain mungkin hanya sebatas formalitas. Yang penting, kewajiban kita sudah terpenuhi.”

Mereka sering kali menjawab, “Tapi ada doa-doa tertentu yang dikabulkan. Ada waktu dan tempat-tempat tertentu yang mustajab.”

Benar, memang ada. Namun, bagi saya, doa tetap harus memiliki dimensi rasa. Hanya jika rasa itu kuat dan terasa dalam-dalam, doa itu akan memiliki kekuatan yang meluncur ke langit, menggetarkan Arasy. Inilah alasan mengapa doa seorang ibu begitu kuat, karena ibu memiliki perasaan yang unik. Perasaan yang hanya dimengerti oleh seorang ibu. Siti Hajar mengajarkan doa semacam ini di antara dua bukit, Shafa dan Marwa.

Namun, ibu saya juga meminta agar saya mendoakan dia. “Doakan aku di Mekkah dan Madinah, ya, Nak,” kata ibu saya. Tentu saja saya tidak bisa menolak permintaan tersebut.

“Iya, aku akan selalu mendoakanmu setiap hari,” jawab saya. Jawaban saya kepada ibu saya sama seperti jawaban saya kepada istri saya.

“Apa yang kamu doakan?” Ternyata setiap orang ingin tahu apa isi doa orang yang mendoakannya.

“Ampuni dosa-dosamu. Cintailah dan peliharalah ibu sebagaimana orangtua mencintai dan menjaga anak-anaknya saat mereka kecil. Berikanlah kebaikan dalam hidupmu di dunia dan akhirat,” jawab saya.

“Apa lagi?” Ternyata pertanyaan ini juga mirip dengan pertanyaan dari istri saya.

“Banyak hal yang ingin saya sampaikan dan mintakan. Tapi ternyata Allah sudah mengetahuinya. Hehehe,” kata saya sambil bercanda.

Ibu saya kemudian menyebutkan keinginan dan harapannya. “Doakan itu,” katanya.

Saya hanya bisa mengiyakan. Doa-doa yang selama ini saya panjatkan untuk orang-orang yang saya cintai sudah lebih dari cukup. Terlebih lagi, beberapa doa telah saya serahkan melalui Nabi Muhammad. Shalawat kepada Nabi adalah yang membuat doa kita diantar oleh para malaikat ke Pusat Registrasi Doa di surga—jika birokrasi di surga mirip dengan birokrasi di dunia. Namun, birokrasi surga tentu berbeda. Mungkin bahkan tidak ada birokrasi sama sekali. Tidak seperti yang kita bayangkan.

Saat saya melaksanakan thawaf beberapa waktu lalu, saya menangis saat membaca doa “rabbighfirlī” dan “rabbana ātina”. Di depan Multazam, saya bersujud memohon agar dosa-dosa istri dan anak-anak saya diampuni. Di tempat itu atau di manapun, saya yakin Allah mendengar dan mengetahui doa kita semua. Dia juga Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-hamba-Nya, sesuai dengan takdir yang telah tertulis di Lauh Mahfuz.

Namun, di kejauhan, saya menyadari bahwa doa adalah ungkapan rasa. Doa adalah bahasa cinta yang terbaik. Di tengah dunia yang semakin kehilangan rasa cinta yang dalam dan tulus, beruntunglah mereka yang masih didoakan oleh orang-orang di sekitarnya. Ibu, ayah, istri, suami, anak-anak, saudara, guru, sahabat, dan lainnya. Doa mereka adalah tanda cinta. Seperti sepenggal puisi yang mengatakan, “Aku mencintaimu, itulah sebabnya aku tak pernah berhenti mendoakanmu.”

Mekkah-Madinah, 18 Zulhijjah 1444H

FAHD PAHDEPIE

Back to top button