News

Agar tak Jadi Negeri Kanibal, Pemakan Tubuh Sendiri

Kemiskinan warga dan alpanya pemerintah membangun kelembagaan yang kokoh untuk mengurusi transplantasi membuat Indonesia terpuruk menjadi salah satu negara besar ‘penghasil’ ginjal saat ini. Kerja sama yang sinkron dan terpadu di antara semua instansi di negeri ini menjadi niscaya dan mesti.

Wajah Dasep—hanya satu kata itu untuk namanya yang mau ia berikan—kontan berubah bersemu gelap, segera setelah Inilah.com mengenalkan diri sebagai wartawan. Memang saat itu malam, tapi cahaya lampu di rumahnya yang berada di sebuah gang sempit di Desa Wangisagara, Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, membuat kami dengan jelas menangkap perubahan raut itu.

“Oh, wartawan ya,” kata Dasep dengan nada yang terdengar mengganjal. “Mau apa ke sini?  Urusan ginjal, ya?”

Dasep memang mengaku traumatik mendengar nama organ tubuh yang satu itu. Bukan karena ia kini hanya memiliki setengah dari sepasang yang harusnya ada di setiap tubuh manusia. Tapi urusan ginjal itu, menurut Dasep, telah membuat keluarga besarnya menanggung malu yang sangat. “Saya mah nggak ada urusan. Ikhlas. Hanya keluarga malu, teruuussss saja urusan ini diangkat dan diangkat lagi,” kata dia, sebelum akhirnya mau bercerita. “Mau apa lagi. Udah terjadi…”

Kemiskinan menjadi penyebab utama Dasep dan puluhan bahkan–menurut pengakuan seorang sumber—ratusan warga Wangisagara rela menjual ginjal mereka. Ini memang lingkaran setan. Kemiskinan membawa orang pada keterbatasan pendidikan, yang membuat mereka relatif gampang dibodohi, bahwa satu ginjal pun sebenarnya cukup membuat manusia hidup.

Jokowi dan Kemiskinan yang Tak Dientaskan - inilah.com
Tingkat kemiskinan di Indonesia mencapai 9,57 persen atau 26,36 juta penduduk per September 2022. Angka itu naik 0,35 persen dibandingkan 3 tahun sebelumnya. (Ilustrasi: iStockphoto.com)

Bagaimanapun, Wangisagara masih tergolong desa miskin dan tertinggal. Setidaknya hingga 2017-2018, ketika “mendonorkan” ginjal menjadi trend bagi warga di wilayah itu. Kebiasaan yang akhirnya berujung pada sebutan miring orang luar pada desa itu sebagai ‘desa ginjal sebelah’.

“Sekitar 30 persen lebih warga Kecamatan Majalaya termasuk kurang mampu. Angka kemiskinan di desa kami pun bahkan masih di atas 30 persen. Memang masih tertinggal,” kata Kepala Desa Wangisagara (saat itu), Gandi, kepada Republika yang mewawancarainya kala itu.

Untunglah, kini desa itu tak hanya dikenal karena urusan gelap ‘donor ginjal’ itu. Desa itu kini memiliki BUMDes –Badan Usaha Milik Desa—yang beromset Rp 30 miliar setahun dengan keuntungan setidaknya Rp 1,8 miliar per tahun. “Tahun 2020 kami menyetor untuk pendapatan asli desa (PADes) sampai Rp780 juta,” kata Direktur Utama BUMDes Niagara, Neneng Santiani.  BUMDes Niagara malah digadang-gadang untuk menjadi salah satu BUMDes percontohan nasional. Meski demikian, satu BUMDes memang belum bisa membuat kesejahteraan segera merata. Alhasil kesan kemiskinan pun belum bisa sepenuhnya terhapuskan dari aura desa tersebut.

Jadi, meski mengejutkan karena menunjukkan Indonesia kini menjadi salah satu sumber ‘pengadaan barang’ bagi sindikat internasional perdagangan organ tubuh ilegal, terbongkarnya jaringan penjualan ginjal ilegal di Bekasi, 20 Juni lalu, bukanlah yang pertama. Temuan mutakhir itu hanya menjelaskan betapa kejahatan keji tersebut kian mengakar kuat di sini. Kemiskinan, selalu saja menjadi akar persoalannya.

Di Tarumajaya, Bekasi, tim gabungan Polda Metro Jaya dan Polres Metro Bekasi membekuk pelaku yang diduga menampung sejumlah orang ‘donor’ yang akan diambil ginjalnya. Para korban ditemukan di Perum Vila Mutiara Gading, Jalan Viano IX,  Desa Setiaasih, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, yang akan dibawa ke Kamboja untuk kemudian diambil ginjalnya.

Polda Metro Terbang ke Bali Usut TPPO Jual-Beli Ginjal
Polda Metro Jaya tangkap 12 tersangka kasus penjualan ginjal internasional, Kamis (20/7/2023) (Inilah.com/Clara Anna)

Jumat (28/7) lalu, Direktorat Reserse Kriminal Umum menetapkan tiga tersangka oknum Imigrasi, sebagai tambahan tersangka kasus tersebut. “Tim kami sudah menetapkan tiga tersangka dari oknum imigrasi yang terlibat secara langsung untuk meloloskan pendonor-pendonor ginjal ini ke Kamboja,” kata Direktur Reserse Kriminal Umum, Kombes Pol Hengki Haryadi. Dengan tiga tersangka baru tersebut, tersangka kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) penjualan ginjal itu telah menjadi 15 orang. Rinciannya, ada 10 orang dari anggota komplotan sindikat, satu dari Kepolisian dan empat orang dari Imigrasi.

Lihatlah, betapa keterlibatan oknum Polri dan Imigrasi menunjukkan bahwa perdagangan ginjal ilegal adalah lahan kejahatan yang basah dan menawarkan cuan menggida. Sampai-sampai pagar pun terlena dan tega memakan tanaman yang dijaganya.

Tapi sejatinya, di Indonesia memang tak ada yang legal bila ginjal sudah dibisniskan.  Menurut Ketua Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI),  Tony Richard Samosir, di Indonesia, penjualan ginjal dilarang secara hukum dan bisa dihukum pidana. Ada undang-undang yang mengatur tentang donor organ dan transplantasi, yaitu UU No. 36 tahun 2009. Undang-undang ini menegaskan bahwa semua transaksi penjualan organ dilarang dan berpotensi merugikan kesehatan si penjual ginjal.

Persoalannya, kata Tony, negara juga belum ‘hadir’ dalam urusan hidup-mati para penderita gagal ginjal tersebut. Pemerintah, dalam hal ini Kemenkes, alpa menyediakan fasilitas dan layanan transplantasi organ yang mumpuni, yang menurut Tony membuat persoalan tambah runyam. Padahal, kata dia, hadirnya pemerintah dalam urusan tersebut setidaknya akan menekan angka transaksi ginjal yang menurutnya belakangan marak. “Pemerintah ini kan tugasnya untuk menjembatani, sebagai wasit,” kata Tony. “Ketika ada yang ingin mendonasikan organ tubuhnya, baik itu dengan sistem donor mati maupun donor hidup, ada lembaganya. Lembaga inilah yang melakukan register, yang melakukan advokasi, yang juga menentukan kelayakan donor dan penerima.”

Tony memberi ilustrasi. “Contohnya begini, kalau lembaga PMI tidak ada, kemana kira-kira orang ingin mendonorkan darahnya?”tanya Tony, retoris. Situasi itu yang kini berkembang dalam dunia penderita gagal ginjal. Pemerintah menurut dia memang pernah membuat Surat Keputusan (SK) Menteri, membentuk yang namanya Komite Transplantasi Nasional (KTN). “KTN ini sudah hadir sejak 2016, pernah tidak diperpanjang SK-nya oleh menteri-menteri terdahulu, sampai kemudian datang Menkes Budi G Sadikin yang memperpanjangnya. Tentang KTN sendiri, Tony menilai lembaga itu jauh dari optimal.

“Sistem registernya tidak tersedia baik, bagaimana distribusinya kalau ada orang di Indonesia yang ingin mendonorkan organ tubuhnya? Kita tidak pernah tahu. Sedangkan jadwal antrean di RSCM saja, itu bisa satu tahun untuk transplantasi organ.”

Mengapa para penderita gagal ginjal stadium akhir berebut untuk bisa menemukan donor dan melakukan transplantasi? Karena menurut Tony—yang melakukan transplantasi ginjal pada 2016—bagi mereka kematian ibaratnya hanya selangkah. Memang, biayanya mahal.  Saat dirinya melakukan operasi, Tony menghabiskan sekitar Rp420 juta.

Balita Gagal Ginjal Akut
Ilustrasi gagal ginjal akut.(Foto: freepik)

Tetapi itu jauh lebih ‘ekonomis’ dibanding selamanya tergantung pada cuci darah. Satu kali cuci darah–dengan dua kali keharusan cuci darah sepekan—memakan biaya sekitar Rp satu juta. Artinya sebulan perlu dana Rp delapan juta. “Dalam setahun anggaplah Rp100 juta buat cuci darah. Belum biaya obat tiap bulan, biaya rawat inap di RS karena gampang nge-drop, dan sebagainya,” kata Tony.

Pasien gagal ginjal, kata Tony, umumnya ringkih dan rentan. Selama sekitar tujuh tahun, sebelum operasi trnasplantasi, hampir setiap bulan ia masuk RS, menghabiskan sekian banyak biaya. Belum lagi biaya obat bulanan dan biaya cuci darah.

                                                ***

Masuknya Indonesia sebagai salah satu negara ‘produsen’ di kalangan sindikat internasional perdagangan organ tubuh, sebenarnya mungkin tak harus mengagetkan, mengingat jaringan keji itu telah meliput seluruh bola bumi. Jaringannya meliputi nyaris semua benua, dengan porsi kekuatan yang besar pada beberapa negara di Afrika, Asia Tenggara dan Amerika Latin.

Theexodusroad.com menulis, Global Observatory on Donation and Transplantation pada 2020 lalu menyatakan, kebutuhan akan organ tubuh manusia jauh lebih banyak ketimbang ketersediaannya saat ini. Sebanyak 150 ribu transplantasi dilakukan setiap tahunnya di seluruh dunia. Dari jumlah tersebut, yang mampu dipenuhi hanya kurang dari 10 persen kebutuhan saja. Akibatnya, tulis, Theexodusroad.com, banyak eksploitasi manusia dilakukan untuk memenuhi kebutuhan tersebut, baik dengan melanggar hukum, hingga membayar dengan harga yang kian fantastis. Tahun lalu saja, perdagangan ilegal dan keji itu mencapai USD 840 juta dolar AS hingga USD 1,7 miliar dolar AS. “Sekitar 10 persen  dari semua transplantasi (ginjal) diyakini sebagai transplantasi illegal,”tulis Theexodusroad.com.

Iming-iming uang besar itu yang membuat semua sektor terkait penjualan haram itu menciptakan oknumnya sendiri. Sebagaimana di Indonesia yang melibatkan peran oknum polisi dan korps Imigrasi, demikian pula di luar negeri.

Ticotimes.net, pada awal Maret 2023 menulis bahwa Kepolisian Guatemala, Amerika Tengah, berhasil menangkap empat dokter yang mengambil organ tubuh pasiennya tanpa ada persetujuan selama operasi pembedahan. Keempat dokter tersebut terdiri dari dua ahli urologi, seorang ahli bedah dan seorang ahli patologi. Ironisnya, entah dengan karena apa, keempat dokter tersebut justru dijatuhi hukuman bebas bersyarat.

Tico Times menulis, bahwa pada 8 Februari 2016 Kejaksaan Kosta Rika mengumumkan tuduhan yang ditujukan untuk lima orang terduga pelaku perdagangan ilegal selusin ginjal untuk transplantasi. Mantan kepala neurologi di Rumah Sakit Rafael Ángel Calderón Guardia di San José, California, Amerika Serikat,Dr. Francisco José Mora Palma,diidentifikasi sebagai dalang dari transplantasi ilegal itu. Tico Times juga mengurai beberapa ‘pendonor’ diketahui menerima uang 20.000 dolar AS per ginjal, dan penerima organ membayar 100.000 dolar AS untuk operasi transplantasi mereka.

Sementara investigasi yang dilakukan New York Times pada 2014 berhasil menghubungkan sindikat jaringan Kosta Rika itu dengan pemain utama pasar ginjal di Israel yang ternyata besar. Para penerima organ dari Israel pun melakukan perjalanan ke Kosta Rika untuk melakukan operasi, dalam kegiatan yang disebut Transplant Tourism di negara-negara dengan aturan yang lebih longgar.

Otoritas Kosta Rika pun mengalami kesulitan untuk memerangi kejahatan kemanusiaan ini. Sebagian besar pendonor menjual organ mereka secara sukarela dan mendapat imbalan berupa uang. Oknum yang bertugas mencari pendonor juga merekrut warga lokal yang berlatar belakang dari keluarga miskin.

Organtubuh Capitalismisover Com D - inilah.com
Beberapa korban praktek perdagangan ginjal internasional. (Foto: Istimewa)

Berdasarkan World Health Organisation (WHO), dikutip businessday.ng, penjualan organ, khususnya ginjal, melibatkan setidaknya 10 ribu ginjal yang diperdagangkan di pasar gelap setiap tahunnya. Itu artinya lebih dari satu ginjal setiap jamnya.  Global Financial Integrity (GFI) memperkirakan harga satu ginjal yang ditawarkan berkisar dari ratusan dolar AS untuk individu dari negara miskin, sampai 20.000 hingga 30.000 dolar AS untuk ginjal dari negara yang lebih maju. Tingginya perdagangan organ ini, menurut Congressional Research Service (CRS), didorong keberadaan pejabat negara yang korup atau kelompok kriminal yang mungkin juga memiliki perantara dari pendonor ke penerima, menegosiasikan harga hingga mengidentifikasi fasilitas medis untuk transplantasi berlangsung.

Bila berkenan, riset yang lebih lama akan menghasilkan sekian banyak data yang melibatkan nyaris semua negara di dunia. Pernyataan Saradamoyee Chatterjee dalam tulisannya,”The Illegal Kidney Trade: Who Benefits?” mengatakan bahwa kemiskinanlah yang juga turut membuat jumlah ‘korban’ membengkak. Jika di Indonesia ada Wangisagara di Majalaya, Nepal punya desa bernama Hokse, yang sebagian besar warganya hanya memiliki satu ginjal karena dijual. Semua demi alasan untuk bertahan hidup.

Sebagaimana Tony yang mengalami sendiri susahnya hidup sebagai penderita gagal ginjal sebelum melakukan transplantasi, ruwetnya birokrasi di satu sisi, serta ketidakseriusan pemerintah menangani masalah tersebut, diyakini anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Demokrat, Didik Mukrianto, sebagai pangkal sebab menghebatnya mafia perdagangan organ berkembang di Indonesia.

Bagi Didik, TPPO merupakan kejahatan kemanusiaan yang bersifat sindikat dengan akar penyebab masalah yang komplek, beragam dan terus berkembang. “Untuk mencegah berkembangnya TPPO diperlukan upaya sinergis dari berbagai pihak, mulai  dari lembaga pendidikan, keluarga, masyarakat, dunia usaha dan lembaga pemerintah pusat maupun di daerah,” kata dia. Dan itu memang bukan perkara gampang.

Namun, kata anggota Komisi III DPR F-PKS, Habib Aboe Bakar Alhabsy, tak sepantasnya negara kalah. “Penegakan hukum harus dilakukan lebih hebar. Para jaringan sindikat TPPO harus dibongkar dan digulung,” kata dia.

Tetapi, kata Alhabsy, akar semua itu pun harus diurus lebih baik. “Ambil langkah konkret terhadap masalah ini, yakni pertama, kurangi beban hidup masyarakat. Bukalah lapangan kerja, buatlah kegiatan produktif lain, seperti menumbuhkan UMKM,” kata dia. [dsy/rizky aslendra/diana rizky/vonita betalia]

Back to top button