Kanal

Abudzar al-Ghiffari, Lidah Lurus Seorang Muslim Revolusioner [2]

Ketika Muawiyah membangun istana hijaunya, yang bernama al-Khizra, ia ditegur Abuzar:  “Kalau Anda membangun istana ini dari uang negara, berarti Anda telah menyalahgunakan uang negara. Kalau Anda membangunnya dengan uang Anda sendiri, berarti Anda melakukan “sraf (pemborosan).” Muawiyah hanya bisa terpesona dan tidak dapat menjawab.

Ia menentang keras ide menumpuk harta kekayaan dan menganggapnya sebagai bertentangan dengan semangat Islam. Dia tidak dapat diajak berdamai berkenaan dengan tumbuhnya kapitalisme di kalangan kaum Muslimin di Syria yang diperintah Muawiyah. Menurut pendapatnya, adalah kewajiban orang Islam sejati menyalurkan kelebihan hartanya kepada saudara-saudaranya yang miskin.

Untuk memperkuat pendapatnya itu, Abudzar mengutip peristiwa semasa hidup Nabi seperti yang diceritakan berikut ini.

“Pada suatu hari, ketika Nabi Besar sedang berjalan bersama-sama Abudzar, terlihat pegunungan Ohad (Uhud), lalu beliau berkata kepada Abudzar: Jika aku mempunyai emas seberat pegunungan yang jauh itu, aku tidak perlu melihatnya dan memilikinya kecuali bila diharuskan membayar utang-utangku. Sisanya akan aku bagi-bagikan kepada hamba Allah.”

Abudzar hidup menurut cara yang dianggapnya benar dan menjalankan sendiri apa yang diajarkannya. Ia bersikap tanpa kompromi terhadap kapitalisme, terhadap orang yang berkedudukan tinggi sekali pun. Abu Hurairah adalah sahabat Nabi yang namanya masyhur yang diangkat sebagai gubernur Bahrain. Suatu hari, ia datang mengunjungi Abuzar, tapi yang dikunjungi menolak bertemu pada mulanya. Ketika ditanyakan mengapa dia begitu jengkel kepada Abu Hurairah, tercermin dalam tanya jawab ini.

“Anda telah diangkat sebagai gubernur Bahrain.”

“Benar,” jawab Abu Hurairah.

“Di sana Anda tentunya telah membangun rumah seperti istana dan membeli sebidang tanah yang luas,” tambah Abudzar.

“Tidak benar itu,” jawab Abu Hurairah lagi.

“Kalau begitu Anda adalah saudaraku,” kata Abduzar kemudian dan langsung memeluknya.

Selama pemerintahan dua khalifah pertama, ajaran Abuzar tidak pernah mendapat tantangan. Dia hidup tenteram dan dihormati semua orang. Kesulitan timbul pada masa pemerintahan khalifah ketiga.

Ketika Abudzar pindah ke Syria, ia menyaksikan Gubernur Muawiyah hidup bermewah-mewah. Ia malahan memusatkan kekuasaannya dengan bantuan kelas yang mendapat hak istimewa, dan dengan itu mereka telah menumpuk harta secara melimpah ruah. Ajaran egaliter Abudzar telah membuat bangkitnya massa melawan mereka. Ia menjadi duri dalam daging bagi pemerintahan setempat. Ketika Muawiyah membangun istana hijaunya, yang bernama al-Khizra, ia ditegur Abuzar:

“Kalau Anda membangun istana ini dari uang negara, berarti Anda telah menyalahgunakan uang negara. Kalau Anda membangunnya dengan uang Anda sendiri, berarti Anda melakukan “sraf (pemborosan).” Muawiyah hanya bisa terpesona dan tidak dapat menjawab.

Muawiyah berusaha keras agar Abuzar tidak meneruskan ajarannya, tapi sang penganjur egaliterisme tetap tegar pada prinsipnya. Muawiyah kemudian mengatur sebuah diskusi antara Abudzar dan ahli-ahli agama Islam, tapi pendapat para ahli itu tidak mempengaruhinya.

Muawiyah melarang rakyat berhubungan atau mendengarkan pengajarannya. Tapi ternyata rakyat berduyun-duyun meminta nasihat Abudzar. Akhirnya Muawiyah mengadu kepada Khalifah Usman. Ia mengatakan bahwa Abudzar mengajarkan kebencian kelas di Syria, hal yang dianggapnya dapat membawa akibat serius.

Abudzar segera dipanggil menghadap khalifah di Madinah. Pergi memenuhinya, ia masih jauh di luar kota, ketika penduduk Madinah telah keluar menyongsongnya. Sahabat Nabi itu menerima ucapan selamat datang yang hangat.

Di Madinah, Abudzar juga tidak dapat hidup dengan tenteram. Sebagian orang-orang kaya kota mengkhawatirkan aktivitasnya yang menganjurkan pemerataan penyaluran harta kekayaan.

Akhirnya khalifah menyelenggarakan diskusi tentang masalah itu, yang mempertemukan Abudzar dengan Ka’ab Ahbar, seorang terpelajar. Dalam kesempatan itu, Ka’ab Ahbar mempertanyakan apa yang diinginkan dengan mempertahankan hukum warisan dalam yurisprudensi Muslim, padahal Islam tidak mengizinkan penumpukan harta. Masalah ini sesungguhnya berada di luar pokok persoalan.

Seperti yang diduga, diskusi tidak membawa hasil. Usman kemudian meminta Abuzar meninggalkan Madinah untuk tinggal di Rabza, sebuah kampung kecil yang terletak di jalur jalan kafilah Iraq-Madinah. Musuh-musuh Islam, seperti Abdullah ibn Saba, mencoba memanas-manasi keadaan untuk memberontak kepada Khalifah.

Abudzar justru menjadi marah dan berkata: “Walaupun Usman menggantungku di bukit yang paling tinggi sekali pun, aku tidak akan mengangkat jariku untuk melawannya.”

Seperti layaknya Muslimin sejati Abudzar tunduk pada perintah pusat kekuasaan Islam. Dia melaksanakan perintah pindah ke Razba dan meninggal di sana pada tanggal 8 Dzulhijjah tahun 32 Hijrah. Jasadnya terbaring di jalur kafilah, dan hanya ditunggui jandanya. Tampaknya tidak ada seorang pun yang akan membantu menguburkannya.

Tiba-tiba di kaki langit muncul sebuah kafilah haji yang sedang menuju ke Mekkah. Ketika diberitahukan itulah mayat Almarhum Abuzar, sahabat Nabi yang terpuji, mereka segera memutuskan berhenti di sana. Jenazah Abuzar mereka sembahyangkan dipimpin Abdullah ibn Mas’ud, seorang sarjana Islam yang terkenal, untuk kemudian dikuburkan.

Demikianlah akhir hidup sahabat Nabi yang terpercaya itu, yang dengan gigih mengajarkan dan melaksanakan sosialisme yang sejati, lebih dari seribu tahun sebelum Karl Marx. Hidupnya dan sampai matinya ia teguh mempertahankan prinsip yang diyakininya: menolak penumpukan harta kekayaan.

Nabi Islam menyatakannya sebagai “orang paling terpercaya”, sedang Ali telah mengatakan begini:  “Saat ini, tidak ada satu orang pun di dunia, kecuali Abudzar, yang tidak takut kepada semburan tuduhan yang diucapkan oleh penjahat agama. Bahkan saya sendiri pun bukan yang terkecuali.” [ ]

Dari “Hundred Great Muslims”, Kh Jamil Ahmad, Ferozsons Ltd, Lahore, Pakistan, 1984

Back to top button