Kanal

36 Tahun Kemudian, Mencari Maksud Hidup

Saya ingin memulai catatan sederhana ini dengan data. Pertumbuhan populasi manusia di dunia saat ini tercatat sebanyak 83 juta orang per tahun, sekitar 1,1 persen dari total jumlah penduduk. Artinya, ada 83 juta bayi lahir setiap tahunnya dan menambah jumlah populasi manusia di bumi. Ini angka yang sangat besar.

Berapa jumlah populasi manusia di dunia saat ini? Sekitar 7,75 miliar orang. Manusia bereproduksi secara cepat dengan pertumbuhan yang eksponensial dalam 200 tahun terakhir. Menurut ourworldindata.org, populasi manusia baru mencapai 1 miliar orang pada tahun 1820, butuh waktu ribuan bahkan jutaan tahun untuk mencapai angka ini. Tetapi, hanya dalam waktu 130 tahun berikutnya, pada tahun 1950, jumlah populasi manusia mencapai lebih dari dua kali lipat, 2,5 miliar jiwa! Fantastis bukan?

Ayah saya lahir tahun 1958, waktu itu populasi manusia di dunia masih sekitar 2,5 miliar jiwa, penduduk Indonesia masih 82,9 juta jiwa. Hari ini, 64 tahun kemudian, penduduk bumi naik sebanyak 5,2 miliar orang menjadi 7,7 milar jiwa, dan penduduk Indonesia naik 190,6 juta orang menjadi 273,5 juta jiwa. Semua itu hanya terjadi dalam rentang masa ayah saya hidup. Hingga ulang tahunnya yang ke 64, pertumbuhan manusia bergerak eksponensial, cepat sekali!

Dengan jumlah sebanyak itu, tentu masalah manusia di muka bumi menjadi lebih kompleks. Masalah yang dihadapi 82,9 juta manusia Indonesia pada tahun 1950 tentu berbeda dengan masalah yang dihadapi 273,5 juta orang hari ini. Masalah dunia pun bertambah banyak, mulai dari krisis air, krisis energi, sampai krisis lingkungan. Bayangkan bumi yang sama harus ‘melayani’ jumlah manusia yang ribuan kali lipat dari jumlah sebelumnya.

Apakah akhir dunia kian dekat? Apakah akan terjadi zombie apocalypse seperti imajinasi para gamers atau pecinta film-film horor? Entahlah, tapi yang jelas krisis air bersih dan penguasaan tanah akan menimbulkan konflik besar di masa depan. Manusia akan berebut bahan makanan dan akses terhadap energi. Tapi, lebih dari itu, manusia akan makin kehilangan pengetahuan tentang dirinya sendiri, makin tidak tahu cara hidup, makin tidak mengerti cara bertahan hidup, dan pada saatnya menjadi ‘zombie’ dengan tubuh yang hidup tetapi jiwa yang mati.

Saya ingin fokus pada bagian akhir itu, di dunia yang makin tua dan padat ini, apakah kita sudah mengerti maksud hidup? Berapa banyak orang yang ‘hidup’ tetapi sebenarnya tidak tahu bagaimana sebenarnya ‘cara hidup’? Bagaimana agar kita bisa melewati semua ini dengan sukses, selesai sampai garis ‘finish’, dan kalau bisa di dunia yang makin gila persaingannya ini kita juga bisa ‘hidup bahagia’. Bagaimana caranya?

Tidak Sekadar Hidup

Hidup sebenarnya bukanlah persoalan yang sederhana. Tapi selama ini kita cenderung taken for granted, yang penting hidup saja alias asal hidup.

Bangun pagi, menjalani aktivitas, bekerja untuk mendapatkan uang agar bisa makan, selebihnya dipakai untuk kebutuhan-kebutuhan primer, sekunder atau tersier.

Tapi, sadarkah kita sebenarnya terlalu berfokus pada hal-hal yang bersifat tubuh saja? Hal-hal yang sifatnya jasmani, material, dan fisikal? Dalam menjalani hidup ini, kita kurang memperhatikan aspek pikiran dan perasaan. Akibatnya, hidup kita jadi tidak seimbang.

Berapa banyak orang yang stress di sekeliling kita, tertekan hidupnya karena persoalan-persoalan datang di kesehariannya dan tak bisa mereka atasi? Berapa banyak yang sampai mengidap depresi bahkan cenderung ingin bunuh diri?

Masalahnya adalah karena kita sering lupa memperhatikan dan merawat pikiran dan perasaan kita. Padahal hidup bukan sekadar dimensi tubuh (body), tapi juga dimensi pikiran (mind) dan jiwa (soul). Hidup yang baik seharusnya memperhatikan mind-body-spirit itu secara seimbang.

Kalau tubuh diberi makan setiap hari, apakah pikiran dan jiwa juga diberi makan setiap hari? Kalau kita memperhatikan gizi untuk tubuh kita, proteinnya, nabatinya, dan lainnya, apakah kita juga memberikan asupan ‘bergizi’ untuk otak dan hati? Jangan-jangan tidak.

Kita melulu memanjakan tubuh, tetapi menelantarkan pikiran dan perasaan kita sendiri. Ini yang sering kita lihat terjadi pada orang-orang yang tampak bahagia hidupnya secara fisik dan materi, tetapi merana dalam hal pikiran dan jiwa.

Konon, ada satu instrumen yang menghubungkan pikiran (mind), perasaan (soul) dan tubuh (body). Instrumen itu bernama nafas. Bernapas adalah prosedur untuk menghubungkan ketiganya. Cobalah lakukan, tarik nafas, kemudian hembuskan. Lakukan perlahan. Apakah Anda bisa merasakan situasi di mana ketga aspek pikiran-perasaan-tubuh berada dalam satu garis yang terhubung?

Ilmu ini konon diajarkan oleh orang-orang di zaman dulu. Apapun agama dan kepercayaan mereka. Semua agama konon punya perhatian tersendiri tentang ‘bernafas secara sadar’. Mencapai kondisi sadar di mana pikiran, jiwa dan tubuh terhubung adalah mandat dari hampir semua ritual agama. Tapi, kenapa sebagian dari kita tidak tahu tentang ini? Kenapa selama ini kita bernafas hanya bernafas saja? Sampai-sampai sekarang muncul berbagai latihan dan kursus tentang bernafas. Coba buka di Google, Anda akan dengan mudah menemukannya.

Belajar Hidup

Kalau ternyata kita harus ‘belajar lagi’ tentang bernafas, yang sudah menjadi bagian integral dan tak mungkin kita tinggalkan dalam hidup kita, apakah sebenarnya kita juga harus belajar lagi ‘hidup’? Meskipun selama ini kita sudah hidup? Apakah selama ini kita makin tercerabut dan makin jauh dari pengetahuan tentang apa hidup itu sebenarnya, bagaimana menjalaninya, dan apa maksud dari hidup kita ini?

Kita perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan ini sambil bernafas secara perlahan. Inhale. Exhale. Apa maksud kita hidup di dunia ini?

Jawabannya bisa kita cari di berbagai tempat. Dalam kasus saya, saya menemukannya dalam agama. Bagaimanapun cara ‘manusia modern’ melihat agama, masuk akal atau tidak, menurut saya agama memuat berbagai informasi, tata cara, dan petunjuk tentang ‘maksud hidup’ itu.

Hanya saja, tafsir tentangnya yang mungkin perlu kita pelajari secara hati-hati dan benar. Agama bagi saya memberikan sense kepada kita tentang dimensi selain tubuh yang fisikal dan material, tetapi menjangkau dimensi pikir dan rasa yang melampaui semua itu.

Di tengah pertumbuhan populasi manusia yang makin gila, saya kira satu hal yang paling pasti adalah kita akan menjadi semakin asing pada satu sama lain.

Termasuk semakin asing kepada informasi awal tentang hidup ini, petunjuk tentang hidup, maksud hidup, cara hidup. Kita akan cenderung semakin freestyle menjalani hidup ini, apalagi jika doktrin yang muncul di kepala kita adalah tentang kebebasan: “Hidup gue, cara gue, semau gue!”.

Apakah kita bisa hidup dengan cara seperti itu? Apakah kita akan tetap hidup jika hanya memperhatikan hal-hal yang ragawi dan duniawi? Tentu bisa.

Tapi, pertanyaannya, hidup yang seperti apa yang akan kita jalani? Kualitas hidup seperti apa? Hidup tanpa maksud hidup, bagi saya, adalah hidup yang tidak layak untuk dijalani. Kita hanya akan jadi zombie di tengah dunia yang makin padat ini. Akan cenderung saling tikam, saling mengalahkan, saling bunuh.

Rasanya tak terelakan lagi, makin hari kita makin membutuhkan hidup yang tidak sekadar hidup. Kita perlu maksud hidup (purpose) untuk memberi makna pada apa yang sedang kita jalani saat ini. Sebab semua perjalanan yang tanpa tujuan adalah perjalanan yang melelahkan.

Saya lahir pada tahun 1986, waktu itu penduduk Indonesia masih sekitar 150,5 juta jiwa, penduduk dunia sekitar 4,5 miliar orang.

Hari ini, 22 Agustus 2022, tepat saya berulang tahun ke-36. Melihat kembali data-data yang saya tuliskan di awal catatan ini, saya merenung… 36 tahun setelah saya lahir, penduduk Indonesia sudah lebih dari dua kali lipatnya, dan penduduk bumi hampir delapan miliar jiwa. Sudah jadi manusia seperti apa saya hari ini? Apakah saya sudah menemukan maksud hidup? Pertanyaan-pertanyaan itu menghantui saya.

Faktanya, tahun ini, akan ada sekitar 83 juta bayi baru yang lahir. Hari ini, 22 Agustus 2022, ada sekitar 385.000 bayi terlahir di seluruh penjuru dunia. Saya ucapkan selamat ulang tahun untuk mereka. Selamat mencari dan menemukan maksud hidup.

FAHD PAHDEPIE CEO Inilahcom

Back to top button