News

53 Persen Pernikahan Anak Picu Gangguan Mental

Jumat, 20 Jan 2023 – 19:18 WIB

dispensasi perkawinan

Plt Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak KemenPPPA Rini Handayani (kanan) dalam diskusi di kantor Kementerian PPPA, Gambir, Jakarta Pusat, Jumat (20/1/2023). (Foto: Inilah,com/Dea Hardianingsih)

Pembahasan mengenai dispensasi pernikahan mencuat belakangan. Hal ini seiring banyaknya anak yang masih berstatus di bawah umur mengajukan dispensasi tersebut ke Pengadilan Agama di sejumlah daerah.

Padahal, pernikahan yang dilakukan oleh anak yang berpotensi memunculkan permasalahan tersendiri. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mencatat, setidaknya 53 persen anak di bawah umur yang menikah mengalami depresi dan gangguan mental.

“53 persen perkawinan di bawah 18 tahun menderita mental disorder depresi. Kemudian 4,5 kali lipat peluang terjadinya kehamilan risiko tinggi, dan dua kali risiko kematian saat melahirkan,” kata PIt Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kementerian PPPA Rini Handayani saat memberikan keterangan di kantor Kementerian PPPA, Gambir, Jakarta Pusat, Jumat (20/1/2023).

Rini menjelaskan, sekitar 30 hingga 40 persen anak di bawah umur yang menikah juga meningkatkan risiko stunting atau gangguan kembang imbas gizi buruk. Selain itu, lanjut dia, pernikahan anak juga memicu kegagalan untuk menyelesaikan sekolah menengah.

Menurut Rini, pada 2018, Indonesia sempat berada dalam 10 daftar negara dengan angka absolut perkawinan anak tertinggi dunia. Rini memerinci sebanyak 47,9 persen perempuan dan 41,78 persen laki-laki berusia 20-24 tahun putus sekolah setelah menikah.

Lebih lanjut, Rini mengungkapkan strategi pemerintah dalam mencegah perkawinan pada anak di bawah umur. Salah satunya melalui penguatan regulasi dan penegakan hukum yang proporsional terhadap kepentingan terbaik anak.

Pemerintah juga melakukan penguatan efektivitas kelembagaan melalui peningkatan kapasitas sumber daya manusia, penyedia layanan, koordinasi, sistem data dan informasi, serta fungsi pembinaan serta pengawasan.

Kemudian, Rini menyebut upaya pemerintah lainnya ialah meningkatkan pemahaman tentang perlindungan anak bagi para pemangku kepentingan, masyarakat, keluarga, dan anak. Termasuk, penguatan jejaring antara pemerintah dengan komunitas, media massa, dunia usaha, dan lembaga masyarakat juga dilakukan. Lalu, peningkatan partisipasi anak dalam pembangunan sesuai dengan tingkat kematangan usianya, hingga peningkatan layanan dan rehabilitasi bagi anak yang membutuhkan perlindungan khusus.

“Jadi, mari kita bersama, mulai dari keluarga, masyarakat, setop perkawinan anak agar anak bahagia dan berkualitas,” kata Rini menegaskan.

Back to top button