Hangout

3 Isu Kontroversial di Balik Layar Film Kiblat


Industri perfilman Indonesia kembali dihebohkan dengan munculnya film terbaru berjudul “Kiblat”. Dibintangi oleh sejumlah nama besar seperti Yasmine Napper, Arbani Yasiz, dan YouTuber Ria Ricis, film yang disutradarai oleh Boby Prasetyo ini telah menimbulkan gelombang kontroversi sejak trailer pertamanya dirilis. Sebagai sebuah karya sinema horor, “Kiblat” berhasil membangkitkan antisipasi dan kekhawatiran serentak di kalangan masyarakat.

Plot film “Kiblat” mengikuti perjalanan Ainun, diperankan oleh Yasmine Napper, yang berusaha meneladani ayahnya, seorang pemuka agama yang baru saja meninggal. 

Dalam upayanya, Ainun mendapati bahwa ajaran spiritual yang diberikan oleh ayahnya di sebuah kampung tidak sesuai dengan syariah Islam dan bahkan cenderung sesat. Penelusurannya membawanya pada serangkaian kejadian mistis dan penemuan yang mengejutkan.

Berikut tiga Kontroversi seputar film “Kiblat” yang berkisar pada beberapa isu utama:

1. Dianggap Menistakan Agama 

Poster dan alur cerita film, yang dinilai menyimpang dari ajaran Islam, telah mendapat kecaman dari berbagai kalangan, termasuk dai dan penulis Gus Hilmi Firdausi. Dia meminta agar film tersebut mempertimbangkan ulang pesan yang ingin disampaikan, dengan mengutip contoh film horor lain yang sukses tanpa menimbulkan kontroversi.

2. Judul Film Bermasalah 

Penggunaan kata “kiblat” sebagai judul film telah menarik kritik dari warganet, mengingat pentingnya kata tersebut dalam konteks ibadah dalam agama Islam. Unggahan di media sosial baik yang mendukung maupun menentang film ini menunjukkan betapa polarisasinya pandangan masyarakat terhadap pemilihan judul ini.

3. Eksploitasi Agama 

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah dan Ukhuwah KH Cholil Nafis mengkritik keras penggunaan agama sebagai alat promosi yang sensitif dan kontroversial demi menarik perhatian publik. dia menekankan bahwa industri kreatif harus menghindari menyinggung isu sensitif, khususnya agama, demi keuntungan materi.

Manajemen film “Kiblat” telah merespon dengan menarik sejumlah promosi, namun belum sepenuhnya. Masyarakat dan pengamat film menunggu langkah selanjutnya dari rumah produksi, apakah akan melanjutkan dengan rilis film ini atau mengambil keputusan untuk merombak elemen-elemen yang menjadi sumber kontroversi.

Kasus film “Kiblat” menjadi contoh terbaru dalam debat berkelanjutan mengenai batasan antara kebebasan berekspresi dalam seni dan sensitivitas nilai-nilai agama dalam masyarakat Indonesia. Ke depannya, dialog antara pembuat film dan komunitas agama mungkin menjadi kunci untuk mencegah kesalahpahaman dan mempromosikan kesadaran dan toleransi di antara berbagai pihak.

Back to top button