Kanal

Menanti Keberanian ‘Pendekar Hukum’ Seret Anwar Usman ke Penjara

“Keadilan tidak bisa untuk satu sisi saja, tetapi harus untuk keduanya,” – Eleanor Roosevelt.

Setidaknya pernyataan aktivis wanita Amerika Serikat ini menggambarkan bagaimana Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) membuat putusan dalam mengadili dugaan pelanggaran kode etik sembilan hakim konstitusi. Karena putusan MKMK tersebut tidak memuaskan semua pihak khususnya dari Hakim Konstitusi Anwar Usaman.

Usai MK mengabulkan sebagian gugatan uji materi perkara Nomor 90/PPU-XXI/2023 tentang UU No.7 Tahun 2017 soal batas usia capres-cawapres, sebagian publik banyak mempertanyakan kredibilitas sembilan hakim konstitusi, khususnya Ketua MK Anwar Usama.

Sebab putusan itu dianggap hanya untuk meloloskan seseorang yakni putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka yang kebetulan adalah keponakan dari Anwar Usman. Dengan kecurigaan tersebut, maka MKMK terbentuk.

MKMK mengeluarkan beberapa putusan atas aduan masyarakat soal dugaan pelanggaran kode etik hakim konstitusi. Namun yang paling banyak dilaporkan adalah Anwar Usman selaku Ketua MK karena dianggap memiliki konflik kepentingan dalam memutuskan perkara tersebut.

Putusan MKMK yang paling banyak disorot dan diapresiasi adalah soal pemberhentian Anwar Usman dari jabatan Ketua MK karena terbukti melakukan pelanggaran kode etik berat.

post-cover
etua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie, memimpin jalannya sidang putusan dugaan pelanggaran etik terhadap hakim Mahkamah Konstitusi (MK) di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (7/11/2023). (Foto: Inilah.com/Agus Priatna)

Dengan putusan itu membuat publik semakin yakin jika ada dugaan penyalahgunaan wewenang oleh Anwar sebagai Ketua MK saat itu. Meskipun Anwar sudah membantah semua tudingan dan menilai putusan MKMK sangat tidak adil baginya.

Publik masih belum merasa puas dengan putusan MKMK karena tidak memecat Anwar Usman sebagai hakim konstitusi. Padahal dalam pertimbangannya, MKMK menyebut jika adik ipar Presiden Jokowi tersebut terbukti melakukan pelanggaran kode etik berat sebagai hakim.

Putusan MKMK Bersifat Final dan Mengikat

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia, Fahri Bachmid mengatakan putusan MKMK memberhentikan Anwar Usman dari jabatan Ketua MK sudah final dan mengikat. Sehingga jika adanya desakan untuk memberikan sanksi lebih berat atau menganulir putusan sebelumnya, maka harus dibentuk majelis banding MKMK.

“Pemberhentian dengan tidak hormat lalu diikuti dengan pemberhentian Anwar Usman sebagai ketua MK maka itu harus diikuti dengan mekanisme banding etik,” ujar Fahri kepada Inilah.com.

Menurutnya jika nantinya dibentuk majelis banding MKMK maka ada potensi Anwar Usman diberhentikan secara tidak hormat dari hakim konstitusi.

Namun sejauh ini belum ada tanda-tanda akan dibentuknya majelis banding MKMK meski Anwar sudah menyatakan keberatan atas putusan tersebut dan akan melakukan banding.

“Tetapi dalam MKMK kemarin kan cuma memberhentikan saja dari jabatan ketua MK namun keanggotaannya sebagai hakim MK masih tetap sampai dengan jabatannya selesai,” imbuhnya.

Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Feri Amsari menilai Anwar Usman bisa dipidana bila sudah dinyatakan oleh MKMK melakukan pelanggaran kode etik berat terkait putusan syarat batas usia capres-cawapres.

Menurutnya, jika merujuk pada pasal 1 angka 5 UU 28 Tahun 1999 tentang penyelenggara negara yang bersih, bebas korupsi, dan nepotisme, Anwar bisa diseret dalam hukum pidana. Sebab Anwar merupakan adik ipar Presiden Jokowi, yang artinya merupakan paman dari bakal cawapres Gibran Rakabuming Raka.

post-cover
Eks Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman, memberikan keterangan terkait hasil putusan Majelis Kehormatan MK di Gedung MK, Jakarta, Rabu (8/11/2023). (Foto: Inilah.com/Agus Priatna)

Dengan keterlibatannya dalam penanganan perkara Nomor 90/PPU-XXI/2023 tentang UU No.7 Tahun 2017 soal batas usia capres-cawapres memperkuat jika Anwar memiliki konflik kepentingan dengan salah satu kandidat di Pilpres 2024.

“Saya meyakini persidangan (putusan MK) kemarin sarat dengan nuansa nepotisme,” ujar Feri.

Menurutnya, nepotisme adalah perbuatan melawan hukum bagi penyelenggara negara yang melakukannya demi meloloskan keluarga dan kroninya.

“Sehingga merujuk pada kelanjutan pasal 1 itu, yakni pasal 22 UU 28 menyebutkan bahwa penyelenggaraan negara yang melanggar ketentuan pasal satu tadi itu dapat dipidana,” imbuh Feri.

Anwar Usman Cs Sudah Dilaporkan ke Bareskrim Polri

Seluruh hakim konstitusi termasuk Anwar Usman sudah dilaporkan ke Bareskrim Polri oleh Pengacara Pembela Pilar Konstitusi (P3K). Mereka melaporkan sembilan hakim konstitusi terkait dugaan kebocoran informasi dalam rapat permusyawaratan hakim (RPH).

Direktur Tindak Pidana Umum (Dir Tipidum) Bareskrim Polri, Brigjen Pol. Djuhandhani Rahardjo Puro mengatakan pihaknya sudah menerima laporan tersebut. Laporan itu didasari atas putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi atau MKMK.

“Adanya dugaan perbuatan membocorkan rahasia yang dilakukan oleh Hakim MK,” kata Djuhandhani beberapa waktu lalu.

Dia menjelaskan para pelapor menilai sembilan hakim konstitusi telah melanggar hukum karena membocorkan rahasia yang seharusnya tidak dipublikasikan.

“Berdasarkan artikel tentang hal tersebut yang ada di majalah Tempo,” kata Djuhandhani.

Meski begitu, Polri masih belum bisa memproses laporan tersebut karena pelapor belum menjelaskan objek perkara dan maksud perbuatan tidak dapat menjaga rahasia tersebut. Mereka hanya mempermasalahkan perbedaan pendapat atau dissenting opinion antarhakim. “Baru sebatas itu saja,” kata Djuhandhani.

post-cover
Direktur Tindak Pidana Umum (Dir Tipidum) Bareskrim Polri, Brigjen Pol. Djuhandhani Rahardjo Puro saat konferensi pers – (Foto: Ist)

Padahal menurutnya, frasa “tidak dapat menjaga rahasia” dalam putusan MKMK tidak dapat diartikan sama dengan frasa “dengan sengaja membuka rahasia” sebagaimana pasal 322 KUHP. Itu sebabnya analisis permasalahan dan kronologis laporan itu dinilai belum memenuhi unsur pasal.

Dengan begitu laporan soal sembilan hakim konstitusi ini belum memiliki bukti permulaan atas dugaan perbuatan dalam objek laporan. “Sehingga disarankan untuk membuat aduan masyarakat atau dumas,” kata Djuhandhani. [Ajat M Fajar/Clara Anna Scholastica]

Back to top button