Hangout

Yusuf bin Al-Husain, Wali Sufi Tampan yang Sangat Penyabar

“Petuah yang sedang,” kata Dzun Nun Al Mishri, “Lupakanlah aku dan jangan bicarakan diriku dengan siapa pun juga. Jika seseorang berkata, muridku mengatakan begini” atau “guruku mengatakan begitu,” sesungguhnya semua itu memuji dirinya sendiri.”  “Petuah ini pun tak akan dapat kulaksanakan,” sela Yusuf bin al-Husain ar-Razi. “Yang terakhir yang kecil adalah : Serulah manusia kepada Tuhan mereka.”

 

Abu Ya’qub bin al-Husain ar-Razi, lazim disebut Yusuf bin Al-Husain,  telah melakukan perjalanan yang jauh, dari Rayy kota kelahirannya, sampai ke Arab dan Mesir, tempat ia bertemu dengan Dzun Nun al-Mishri dan belajar kepadanya. Kemudian ia kembali ke Rayy untuk mengajar di sana dan di Rayy inilah ia meninggal dunia tahun 304 H/ 916 M.

Kehidupan spiritual Yusuf bin al-Husain ar-Razi dimulai sebagai berikut :bIa melakukan perjalanan bersama sahabat-sahabatnya di negara Arab. Ketika sampai ke suatu daerah kekuasaan suatu suku, seorang puteri kepala suku itu melihatnya, lantas tergila-gila kepada Yusuf bin al-Husain ar-Razi yang memang berwajah tampan. 

Setelah menanti saat-saat yang tepat, akhirnya si gadis dapat menghadang Yusuf bin al-Husain ar-Razi, melemparkan dirinya ke pelukan Yusuf. Dengan tubuh gemetar Yusuf bin al-Husain ar-Razi meninggalkan si gadis dan berangkat menuju perkampungan yang lebih jauh letaknya.

Suatu malam, ketika Yusuf bin al-Husain ar-Razi tertidur dengan menyandarkan kepala ke lututnya, ia bermimpi sedang berada di suatu tempat yang belum dikenalnya. Seseorang sedang duduk di atas sebuah tahta dengan segala kebesaran sebagaimana layaknya seorang raja, di sekelilingnya berdiri pengawal-pengawal berjubah hijau. Karena rasa ingin tahu siapa mereka, Yusuf bin al-Husain ar-Razi menghampiri mereka. Semua memberi jalan kepada Yusuf bin al-Husain ar-Razi dan bersikap hormat kepadanya.

“Siapakah kalian?” tanya Yusuf bin al-Husain ar-Razi.

“Kami adalah malaikat-malaikat, dan yang duduk di atas tahta itu adalah Yusuf AS. Ia datang berkunjung kepada Yusuf bin al-Husain ar-Razi.”

Marilah kita dengarkan lanjutan kisah ini menurut penuturan Yusuf bin al-Husain ar-Razi, sendiri :

Aku tak dapat menahan air mataku dan berseru : “Siapakah aku ini sehingga Nabi Allah sendiri telah datang untuk mengunjungiku?”

Yusuf AS turun dari tahtanya dan merangkulku. Kemudian ia mendudukkan aku ke atas tahta itu. Aku bertanya kepadanya,”Wahai Nabi Allah, siapakah aku sehingga Engkau sedemikian baiknya kepadaku?”

Yusuf AS Menjawab : “Ketika gadis jelita itu menghadangmu tetapi engkau menyerahkan diri kepada Allah dan minta perlindunganNya, Allah menunjukan dirimu kepadaku dan para malaikat ini. Dan Allah berkata kepadaku “Lihatlah wahai Yusuf! Engkau adalah Yusuf yang birahi terhadap Zulaiha dan menolaknya. Tetapi dia ini Yusuf yang tak birahi terhadap puteri seorang raja Arab dan melarikan dirinya. Allah sendiri mengutusku beserta malaikat-malaikat ini untuk mengunjungimu. Ia sampaikan kabar gembira padamu bahwa Engkau adalah salah seorang di antara manusia-manuisa kesayangan-Nya.”

Kemudian Yusuf AS menambahkan : “Di dalam setiap zaman ada seorang penunjuk jalan. Penunjuk jalan pada zaman ini adalah Dzun Nun al-Mishri. Dia telah mengetahui yang terbesar di antara nama-nama Allah. Pergilan kepadanya.”

Ketika Yusuf bin al-Husain ar-Razi terjaga (pengisah meneruskan kisahnya), hatinya sangat terharu. Hasratnya menggelora. Ia sangat ingin mengetahui yang terbesar di antara nama-nama Allah. Berangkatlah ia ke negeri Mesir. 

Sesampainya di masjid Dzun Nun, ia mengucapkan salam dan duduk. Dzun Nun membalas salamnya. Setahun lamanya Yusuf bin al-Husain ar-Razi duduk di sudut masjid itu. Ia tak berani bertanya kepada Dzun Nun. Setelah setahun barulah Dzun Nun bertanya kepadanya.

“Anak muda, dari manakah engkau?”

“Dari Rayy”, jawab Yusuf bin al-Husain ar-Razi.

Setahun setelah pertanyaan itu Dzun Nun tidak menegurnya dan Yusuf bin al-Husain ar-Razi tetap duduk di pojoknya. Pada akhir tahun yang kedua itu Dzun Nun bertanya kepadanya.

“Anak muda, apakah tujuanmu ke mari?”

“Untuk menemuimu,”jawab Yusuf bin al-Husain ar-Razi.

Setelah itu setahun pula lamanya, Dzun Nun tidak berkata-kata kepadanya.

“Anak muda, apakah yang Engkau kehendaki?”

“Aku datang supaya Engkau mengatakan kepadaku Nama Yang Terbesar,” jawab Yusuf bin al-Husain ar-Razi.

Setahun pula Dzun Nun membisu. Kemudian diberikannya kepada Yusuf bin al-Husain ar-Razi sebuah tabung kayu yang tertutup dan berkata :

“Pergilah ke seberang Sungai Nil. Di suatu tempat ada seorang tua. Berikanlah tabung ini kepadanya dan ingatlah apa-apa yang dikatakannya kepadamu.”

Yusuf bin al-Husain ar-Razi menerima tabung kayu itu dan pergilan ia menyeberangi Sungai Nil. Di tengah-tengah perjalanan hatinya tergoda.

“Apakah yang bergerak-gerak di dalam tabung ini?” Ia bertanya di dalam hati. Tabung itu dibukanya dan seekor tikus meloncat keluar, kemudian melarikan diri. Yusuf bin al-Husain ar-Razi merasa bingung.

“Kemanakah aku harus pergi sekarang? Haruskah aku ke orang tua itu atau kembali kepada Dzun Nun?”

Akhirnya ia memutuskan untuk menjumpai si orang tua itu. Menyaksikan kedatangan Yusuf bin al-Husain ar-Razi yang menenteng tabung kayu yang telah kosong itu, si orang tua tersenyum dan menegurnya :

“Engkau menanyakan Nama Allah yang Terbesar kepada Dzun Nun?.”

“Ya”, jawab Yusuf bin al-Husain ar-Razi.

“Dzun Nun mengetahui sikapmu yang tidak sabar dan oleh karena itu dititipkannya seekor tikus kepadamu. Maha Besar Allah, seekor tikus saja tidak dapat engkau jaga, apalagi Nama Yang Terbesar itu.”

Yusuf bin al-Husain ar-Razi malu sekali, ia pun kembali ke masjid Dzun Nun. Dzun Nun menyambutnya : “Kemarin, tujuh kali aku memohon izin Allah untuk menyampaikan nama-Nya yang terbesar itu, tetapi Allah tidak memperkenankannya. Hal ini berarti, belum tiba saatnya. Kemudian Allah menunjukiku : “Cobalah ia dengan seekor tikus” Dan setelah engkau kucoba, ternyata beginilah jadinya. Kembalilah ke negeri asalmu dan tunggulah hingga saat yang tepat.”

“Sebelum aku meninggalkan tempat ini, berilah aku sebuah petuah” Yusuf bin al-Husain ar-Razi bermohon kepada Dzun Nun.

“Akan kuberi padamu tiga petuah,” jawab Dzun Nun. “Yang satu besar, yang satu sedang dan yang terakhir kecil. Petuah yang besar adalah : Lupakanlah segala sesuatu yang telah engkau baca dan hapuskanlah segala sesuatu yang telah engkau tulis, agar selubung penutup matamu terbuka.”

“Petuah ini tak dapat kulaksanakan,” jawab Yusuf bin al-Husain ar-Razi.

“Petuah yang sedang adalah : Lupakanlah aku dan jangan bicarakan diriku dengan siapa pun juga. Jika seseorang berkata, muridku mengatakan begini” atau “guruku mengatakan begitu,” sesungguhnya semua itu memuji dirinya sendiri.”

“Petuah ini pun tak akan dapat kulaksanakan,” sela Yusuf bin al-Husain ar-Razi.

“Yang terakhir yang kecil adalah : Serulah manusia kepada Tuhan mereka.”

“Aku penuhi syarat tersebut.”

Maka berangkatlah Yusuf bin al-Husain ar-Razi ke Rayy. Ia adalah dari keluarga terhormat dan karena itu warga kota datang menyambut kedatangannya. Ketika memulai khotbahnya, Yusuf bin al-Husain ar-Razi mengemukakan realitas-realitas mistik. Mendengar ajaran-ajaran ini, penduduknya yang hanya mengenal doktrin eksoteris melalui pengajaran formal marah dan menentang Yusuf bin al-Husain ar-Razi. Nama Yusuf bin al-Husain ar-Razi jatuh sehingga akhirnya tak seorang pun yang mau datang mendengar ceramahnya.

Seperti biasanya, suatu hari ia pun tampil untuk berceramah. Tetapi ketika itu tak seorang pun yang hadir mendengarkannya, ia pun bermaksud pulang. Saat itu, seorang perempuan tua berseru, “Bukankah engkau telah berjanji kepada Dzun Nun bahwa Engkau akan menyeru manusia bukan karena mereka tetapi karena Allah semata?”

Yusuf bin al-Husain ar-Razi tersentak mendengar kata-kata ini. Ia pun memulai khotbahnya. Demikian dilakukannya secara terus menerus selama lima puluh tahun, baik ada yang mendengar atau tidak.

 

Yusuf bin Al-Husain dan Ibrahim bin Khauwash

Ibrahim bin Khauwash adalah salah seorang  murid Yusuf bin al-Husain ar-Razi. Berkat persahabatannya dengan Yusuf bin al-Husain ar-Razi itulah Ibrahim bin Khauwash memperoleh kemajuan spiritual yang menakjubkan, sehingga ia sanggup berjalan mengarungi padang pasir tanpa bekal makanan dan binatang tunggangan. 

Melalui Ibrahim bin Khauwash inilah kita mendengar kisah berikut ini : Pada suatu malam, terdengar olehku sebuah suara yang menyeruku.

“Pergi dan katakan kepada Yusuf bin al-Husain ar-Razi, engkau adalah salah seorang di antara orang-orang yang ditolak!.”

Kata-kata ini sedemikian menyedihkan hatiku, sehingga seandainya sebuah gunung ditimpakan ke atas kepalaku, niscaya lebih mudah kutanggungkan daripada menyampaikan kata-kata itu kepada Yusuf bin al-Husain ar-Razi.

Malam esoknya terdengar pula seruan yang lebih keras. “Katakan kepada Yusuf bin al-Husain ar-Razi,”Engkau adalah salah seorang di antara orang-orang yang ditolak.”

Aku bangun, bersuci dan memohon ampunan Allah. Aku merenungi hal ini hingga malam yang ketiga, dan seruan itu terdengar pula :

“Katakan kepada Yusuf bin al-Husain ar-Razi,”Engkau adalah salah seorang di antara orang-orang yang ditolak!.” Jika pesan ini tidak engkau sampaikan kepadanya, akan kami timpakan bencana kepadamu sehingga kau tak dapat bangun lagi.”

Dengan sangat sedih, aku pun bangkit dan pergi ke masjid, di mana kulihat Yusuf bin al-Husain ar-Razi sedang duduk di tempat imam shalat.

“Adakah syair yang hafal olehmu?,” Yusuf bin al-Husain ar-Razi bertanya ketika ia melihat kedatanganku.”

“Ya,”jawabku. Aku pun mengingat-ingat sebuah syair berbahasa Arab lalu kusenandungkan. Yusuf bin al-Husain ar-Razi begitu senang mendengar syair itu. Ia berdiri dan tetap berdiri untuk waktu yang lama. Air matanya bercucuran, seolah bercampur dengan darah. 

Kemudian ia berpaling kepadaku dan berkata :“Sejak dilahirkan hingga saat ini, orang-orang telah membacakan al-Qur’an untukku, namun tak setetes air mata yang pernah kutumpahkan. Tetapi melalui sebuah syair yang Engkau senandungkan itu, aku mengalami keadaan seperti ini, air mataku bercucuran. Sangatlah tepat apabila orang-orang mengatakan bahwa aku adalah orang bid’ah. Seruan Ilahi telah berkata dengan sebenarnya, bahwa aku adalah salah seorang di antara orang-orang yang ditolak. Seseorang yang sedemikian terharu mendengar sebuah syair tetapi al-Qur’an tak sedikit pun menggugah hatinya. Adalah benar-benar salah seorang yang ditolak.”

Hatiku goncang karena menyaksikan kejadian ini dan mendengarkan kata-katanya. Goyahlah keyakinanku kepada Yusuf bin al-Husain ar-Razi. 

Aku takut. Aku pun bangkit dan berjalan ke arah padang pasir. Dalam perjalanan tersebut kebetulan aku bertemu dengan Khidir AS dan ia berkata kepadaku :

“Yusuf bin al-Husain ar-Razi telah menerima pukulan Allah, tetapi tempatnya adalah puncak tertinggi di dalam surga. Seorang manusia harus menempuh jalan Allah sedemikian jauh dan sedemikian kokohnya, sehingga walau dahinya ditampar oleh tangan penolakan, tempatnya masih tetap di puncak tertinggi di dalam surga. Apabila di atas jalan Allah ini tingkat para raja tak tercapai olehnya, setidak-tidaknya tingkatannya tidak di bawah para menteri.”

 

Yusuf bin Al-Husain dan seorang hamba perempuan 

Seorang saudagar telah membeli seorang hamba perempuan seharga seribu dinar di Nishapur. Ia berpiutang kepada seorang di kota lain. Si Saudagar hendak pergi ke sana dengan segera untuk menagih piutangnya itu. Tetapi di kota Nishapur tak seorang pun yang dapat dipercayainya untuk dititipi hamba perempuannya itu. 

Oleh karena itu pergilah ia menemui Abu ‘Utsman al-Hiri dan menjelaskan masalah yang dihadapinya itu. Mula-mula Abu “Utsman menolak titipan budak perempuan itu, tetapi si saudagar tetap meminta pertolongannya :

“Izinkanlah dia tinggal di dalam haremmu. Aku akan kembali dalam waktu secepatnya.”

Akhirnya Abu Utsman menyerah dan si saudagar meninggalkan tempat itu. Tanpa di sengaja terpandanglah gadis itu oleh Abu Utsman dan ia pun tergila-gila kepadanya. Ia tak tahu apa yang harus dilakukannya. Akhirnya pergilah ia ke rumah gurunya, Abu Hafshin bin Haddad, untuk meminta nasehat. 

Abu Hafshin bin Haddad menasehatkan : “Pergilah ke Rayy dan mintalah nasehat kepada Yusuf bin al-Husain ar-Razi.”

Maka berangkatlah Abu ‘Utsman ke negeri Iraq. Ketika sampai di kota Rayy, ditanyakannya tempat tinggal Abu Yusuf bin al Husain. Tetapi orang-orang mencegahnya ke sana.

“Apakah urusanmu dengan manusia bid’ah yang terkutuk itu? Engkau tampaknya sebagai seorang yang saleh, bergaul dengannya berarti menjerumuskan dirimu sendiri.”

Sedemikian banyak keburukan-keburukan Yusuf bin al-Husain ar-Razi yang diperkatakan orang sehingga Abu Utsman menyesal, mengapa ia sampai datang ke kota Rayy itu. Akhirnya ia pun kembali ke Nishapur.

“Apakah engkau telah bertemu dengan Yusuf bin al-Husain ar-Razi? Satu pertanyaan Abu Hafshin menyambut kedatangannya di Nishapur. 

“Tidak,”jawab Abu ‘Utsman.

“Mengapa tidak?”tanya Abu Hafshin.

“Aku dengar segala tingkah laku Yusuf bin al-Husain ar-Razi,” kemudian lalu dikisahkannya segala sesuatu yang disampaikan penduduk Rayy kepadanya. “Oleh karena itulah aku tidak pergi menemuinya dan kembali ke Nishapur.”

“Kembalilah ke Rayy, dan temuilah Yusuf bin al-Husain ar-Razi,”kata Abu Hafshin mendesak ‘Utsman.

Abu ‘Utsman pergi lagi ke Rayy dan sekali lagi bertanya-tanya di manakah tempat tinggal Yusuf bin al-Husain ar-Razi. Dan penduduk kota Rayy seratus kali lebih banyak memburuk-burukkan Yusuf bin al-Husain ar-Razi daripada sebelumnya.

“Aku mempunyai suatu urusan penting dengan Yusuf bin al-Husain ar-Razi.” Abu ‘Utsman menjelaskan kepada mereka.

Akhirnya mereka mau juga menunjukan kediaman Yusuf bin al-Husain ar-Razi. Sesampainya di tempat Yusuf bin al-Husain ar-Razi, dilihatnya seorang tua yang sedang duduk. Dan seorang remaja tampan yang tak berjanggut berada di depannya. 

Si pemuda sedang menyajikan sebuah cembung dan cangkir. Wajahnya berseri-seri. Abu ‘Utsman masuk, mengucapkan salam dan duduk. Syeikh Yusuf bin al-Husain ar-Razi memulai pembicaraan, mengucapkan ajaran-ajaran yang sedemikian mulia dan luhur, membuat Abu ‘Utsman terheran-heran. 

Akhirnya berkatalah Abu ‘Utsman :“Demi Allah, dengan kata-kata dan pemikiran-pemikiran seperti ini, apakah yang telah terjadi atas dirimu? Anggur dan seorang remaja yang belum berjanggut?”

“Remaja yang tak berjanggut ini adalah puteraku, dan hanya sedikit orang yang tahu bahwa ia adalah puteraku,”jawab Yusuf bin al-Husain ar-Razi. “Aku sedang mengajarkan al-Qur’an kepadanya. Bejana anggur ini, kebetulan kutemukan di tempat sampah. Bejana ini kuambil, kucuci dan kuisi air, sehingga aku dapat menyuguhkan air kepada orang-orang yang ingin minum karena selama ini aku tak punya sebuah tempayan pun.”

Abu ‘Utsman bertanya pula, “Demi Allah, mengapakah engkau bertingkah laku seperti ini sehingga orang-orang mengatakan hal-hal yang bukan-bukan mengenai dirimu?.”

“Aku bertingkah laku seperti ini agar tidak ada orang yang sudi menitipkan hamba perempuannya yang berbangsa Turki kepadaku.”

Mendengar  jawaban ini, Abu ‘Utsman merebahkan dirinya di kaki sang syeikh. Sadarlah ia bahwa Yusuf sebenarnya telah mencapai tingkat kesalehan yang tinggi. [ Sumber :  “Tadzkiratul Auliya” Karya Fariduddin Aththar]

Back to top button