Kanal

Yang Pergi Belum Tentu Haji

Di hari terakhir pelaksanaan ‘jumrah’, sebelum melakukan ‘thawaf ifadhah’ dan ‘tahalul akbar’, seorang teman ‘curhat’ kepada saya.

“Saya kayaknya masuk kategori ‘berangkatnya sih berhaji, pulang belum tentu haji’.” Ceritanya sedih.

Mungkin anda suka

“Kenapa begitu?” Tanya saya.

“Rasanya masih banyak yang kurang. Banyak juga melakukan pelanggaran selama ihram. Wallahu a’lam.” Katanya.

Saya menatap wajahnya, berusaha memberikan ketenangan. Kemudian menepuk pundaknya. “Salah satu yang disarankan ketika wuquf adalah kita harus yakin haji kita disempurnakan dan diterima oleh Allah SWT.” Ujar saya.

Ia mengangguk. Wajahnya jauh lebih tenang. “Tapi kayaknya saya harus tetap membayar beberapa ‘dam’.” Lanjutnya. “Dam khusus.”

“Dam khusus?” Kejar saya. Karena setahu saya semua ‘dam’ atau denda harus sudah ditunaikan sebelumnya.

“Iya. Saya bikin definisi sendiri aja. Mau memperbanyak infaq dan sedekah. Barangkali bisa menutup bolong-bolong selama saya berhaji. Hehehe.” Kini ia tersenyum.

Saya bisa mengerti kegundahan hatinya. Juga pilihannya untuk ‘memberikan lebih’ sebagai bentuk kehati-hatian, bisa jadi justru itu menjadi tanda kemabrurannya. Tapi, memang haji ini ibadah yang unik. Saya menjadi saksi betapa banyak orang bisa berangkat haji, tapi belum tentu bisa melaksanakan ibadah haji, dalam variasi pengertian yang beragam, tentu saja.

Ada yang berangkat haji, tapi justru didera sakit selama di tanah suci, sehingga tak satupun melaksanakan rukun haji. Ada yang setelah di tanah suci, mengalami demensia, pikun, linglung tak ingat apa-apa. Bahkan tak ingat dirinya sedang berhaji. Ada yang sehat, mengikuti semua aktivitas ibadah, tapi membuat banyak pelanggaran fiqh yang boleh jadi membatalkan—karena ketidaktahuannya. Banyak yang tidak memahami soal ‘taharah’ dan ‘istinja’, misalnya. Padahal kesucian beribadah dimulai dari sana.

Benar belaka kata para ulama, belum tentu yang berangkat haji menjadi haji. Dan belum tentu yang tidak berangkat haji tidak mendapatkan predikat mabrur. Ini sama seperti ibadah lainnya. Yang shalat belum tentu bisa mencegah keji dan munkar, bukan? Padahal esensi dari shalat adalah mencegah keji dan munkar (‘inna shalata tanha ‘anil fakhsya-i wal munkari’).

Di sini, barangkali nasihat Imam Malik penting untuk kita semua. Katanya, bagi yang tidak berhaji, jangan takut kehilangan esensi haji. Karena ibadah sejatinya soal pemaknaan, efek yang muncul dari ritual yang dilakukan. Dalam al-Quran dikatakan bahwa shalat juga ada ‘bekas sujud’-nya (atsari sujud), yaitu dampak shalat pada kehidupan sehari-hari.

Kata Imam Malik, “Siapa yang tidak bisa wuquf (berdiam) di Arafah, maka hendaklah dia wuquf (berdiam) di batasan-batasan hukum Allah dengan tidak melanggarnya. Siapa yang tak dapat bermalam di Muzdalifah, hendaklah dia bermalam dalam keadaan taat kepada Allah agar ketaatannya dapat menjadi perantara kedekatannya dengan Rabb. Siapa yang tak dapat menyembelih kurbannya di Mina, hendaklah ia menyembelih hawa nafsunya agar tercapai munaa (cita-citanya). Siapa yang tak dapat mencapai al-Bait (ka’bah) karena rumahnya yang jauh, hendaklah ia menuju Rabbul Bait (pemilik Ka’bah yaitu Allah), sebab Rabb al-Bait lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya sendiri.”

357369029 809424177214249 4147908578677638403 N - inilah.com

Faktanya memang demikian, banyak yang berwuquf di Arafah tetapi melanggar batas-batas yang ditetapkan Allah. Ada yang bermalam di Muzdalifah, tetapi gagal menjga ketaatannya. Ada yang berkurban di Mina, melempar jumrah di Jamarat, tapi tak kuasa menyembelih hewan dan menumbangkan setan-setan dalam dirinya. Dan ada yang tiba di Ka’bah, tapi Allah jauh dari hatinya.

Maka nasihat Imam Malik tadi kabar gembira untuk kita semua. Secara esensi, haji ternyata bisa kita kerjakan dari mana saja dan kita berpeluang mendapatkan kemabrurannya. Tapi semoga Allah tetap membuat kita pantas dan bisa pergi ke tanah suciNya, melaksanakan ritual haji sesungguhnya. Jika saat itu tiba, semoga kita semua telah istita’ah (mampu) dalam berbagai dimensinya. Bukan hanya mampu membayar Ongkos Naik Haji (ONH), tapi mampu memahami manasiknya, mampu menggali esensi haji dalam setiap gerak ibadahnya.

356844309 809424137214253 8377053500711223597 N - inilah.com

Sungguh, haji itu ibadah yang berat dan panjang. Perlu kesungguhan dan keseriusan menjalaninya. Perlu ketajaman ruhani untuk mendapatkan esensinya. Bukan sekadar pergi untuk mendapatkan gelar ‘haji’ atau ‘hajjah’.

Di Masjidil Haram atau di Masjid Nabawi, saat para jemaah melakukan pelanggaran, ‘askar’ sering berteriak untuk menegur dengan panggilan ‘haji’ atau ‘hajjah’. “Ya Hajji! Ya Hajjah!” Bentaknya. Kadang soal menghalangi jalan atau melanggar peraturan lainnya. “Ya hajii, thariiq, haji! Yalal haji, harrak, haji!”

Teguran dengan panggilan haji itu mungkin sekaligus peringatan. “Kamukan sedang berhaji, kok melanggar peraturan?” Atau “Ingat kamu sedang berhaji, jangan langgar aturan!”

Di tanah air, kita pun sering komplain kalau ada haji atau hajah yang tidak sesuai antara titel dengan akhlaknya. “Haji kok gitu?” Atau “Bukannya dia sudah haji?” Dengan keheranan karena berbeda jauh antara titel dan kelakuannya.

Di sinilah beratnya ibadah haji. Termasuk beratnya menyandang gelar haji. Bagi saya sendiri, berhaji di tanah suci sanggup saya lakukan, secara fisik sudah saya tempuh, tetapi ibadah sebagai ‘haji’ di hari-hari berikutnya sungguh akan sangat berat. Semoga Allah mampukan saya mengerjakannya. Menjadi seorang haji yang membawa nilai-nilai kebaikan dalam dirinya (mabrur).

Berabad lalu, Nabi Ibrahim sudah memanggil manusia untuk berhaji. Dalam tafsir Ibnu Katsir diceritakan waktu itu Nabi Ibrahim bingung saat diperintahkan Allah untuk memanggil manusia berhaji. “Bagaimana mereka akan tahu dan mendengar suaraku?” Kata Ibrahim. Allah pun meyakinkan Ibrahim. “Tugasmu hanya memanggil manusia dengan suaramu, aku yang akan menyampaikannya.”

Konon, Ibrahim saat itu naik ke atas Jabal Gubais, lalu memanggil manusia untuk berhaji (QS Al-Hajj: 2). Dan Allah menggerakkan suara itu hingga hari ini, didengar bukan hanya oleh manusia yang hidup, tetapi yang masih berada di alam ruh, yang masih janin di dalam perut ibunya. Semua terpanggil.

Inilah latar belakang mengapa orang Indonesia suka menitip pesan kepada orang yang berangkat haji. “Nanti panggil nama saya ya di sana.” Sebenarnya, Anda semua sudah dipanggil oleh Nabi Ibrahim. Ya, setiap diri, termasuk Anda yang membaca tulisan ini. Sudah dipanggil.

Pergilah. Penuhi panggilan itu.

Mina, 12 Dzulhijjah 1444 H

FAHD PAHDEPIE

Back to top button