News

Pak Luhut dan Kampungan

Kata ‘kampungan’ akhir-akhir ini viral setelah munculnya beberapa pernyataan menteri senior Luhut B Panjaitan. Dalam beberapa kali kesempatan ia menyebut istilah kampungan. Terakhir ia menyatakan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai kampungan. Apa makna sebenarnya dari istilah tersebut?

Luhut Binsar Pandjaitan yang menjabat Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marinves) sempat mengungkapkan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) tak ada niat untuk menjegal bakal capres dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan Anies Baswedan di Pilpres 2024.

Menurut dia, tudingan yang dilontarkan AHY terkait pengajuan peninjauan kembali (PK) oleh Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko ke Mahkamah Agung (MA) untuk menjegal Anies Baswedan adalah kampungan.

Tak hanya sekali saja Luhut melontarkan kata kampungan. Dalam beberapa kesempatan ia menyebut kampungan kepada beberapa pihak. Sebelumnya, Luhut mengkritik penangkapan koruptor yang kerap dilakukan KPK melalui operasi tangkap tangan (OTT). Menurut dia, upaya paksa itu kampungan.

“Jangan bilang hanya nangkap-nangkap saja, saya bilang kampungan itu menurut saya,” kata Luhut Selasa, 18 Juli 2023. Menurut Luhut, perbaikan sistem harus diutamakan ketimbang menangkap pejabat korup. Sebab, kata dia, pencegahan lebih menjanjikan untuk menutup celah korupsi.

Pada satu kesempatan lain, Luhut juga menyebut kata kampungan untuk mengkritik para politisi yang menggunakan media sosial TikTok untuk berpolitik. Luhut berharap pengguna TikTok di tanah air tidak memanfaatkan platform ini untuk politik identitas atau semacamnya yang bisa memicu pertikaian

“Enggak usah digunain untuk berpolitik, jangan politik-politik kampungan lah, bikin satu sama lain masuk] penjara. Karena begini, kita itu harus fokus, itu kan kepentingan generasimu,” ujar dia, di acara TikTok Southeast Asia Impact Forum, Jakarta, Kamis (15/6/2023).

Entah karena memang tidak memiliki diksi lain atau memang keterbasan perbendaharaan kata-kata, Luhut sering melontarkan kata kampungan. Padahal dalam Bahasa Indonesia ada beberapa padanan kata atau sinomim atau kata-kata yang lebih tepat untuk menggambarkan sikap seseorang secara negatif.

Arti Kampungan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kampungan berasal dari kata dasar kampung. Kampungan adalah sebuah homonim karena arti-artinya memiliki ejaan dan pelafalan yang sama tetapi maknanya berbeda. Arti dari kampungan dapat masuk ke dalam jenis kiasan sehingga penggunaan kampungan bisa bukan dalam arti yang sebenarnya.

Kampungan memiliki arti dalam kelas adjektiva atau kata sifat sehingga kampungan dapat mengubah kata benda atau kata ganti, biasanya dengan menjelaskannya atau membuatnya menjadi lebih spesifik.

Menurut KBBI, kampungan memiliki enam arti berdasarkan adjektiva atau kata sifat. Artinya adalah berkaitan dengan kebiasaan di kampung, terbelakang (belum modern), kolot, tidak tahu sopan santun, tidak terdidik dan makna terakhir adalah kurang ajar.

Sementara menurut Tesaurus Bahasa Indonesia, istilah kampungan memiliki beberapa sinonim. Sinonim merupakan kata yang memiliki persamaan makna. Seperti udik, desa, dusun, kampung, pedalaman, pelosok, culun, lugu, norak, vulgar, memalukan, kolot, konservatif, konvensional, kuno, lama, ortodoks, tradisional atau using.

Jadi ketika Luhut berbicara soal AHY ataupun terkait dengan OTT KPK bisa jadi memiliki makna berbeda. Bisa jadi dalam konteks AHY arti kampungan berarti tidak terdidik, tidak tahu sopan santun atau malah bermakna kurang ajar. Demikian pula dalam konteks OTT KPK, bisa menimbulkan makna bahwa OTT adalah kebiasaan di kampung atau kebijakan yang terbelakang. Makna yang muncul akan sangat tergantung kepada orang yang menafsirkannya.

Kata kampungan biasanya memiliki konotasi yang merendahkan dan cenderung negatif. Karena itu si pelontar kata ini biasanya merasa lebih superior atau lebih tinggi dari sisi kedudukan, kekuasaan, usia, ilmu atau apapun. Pada setiap budaya konotasi negatif seperti itu biasa terjadi. Umpatan kampungan selalu menjadi kata ampuh untuk menyindir seseorang jika perilakunya tidak karuan dan tidak benar menurut persepsi si pelontar ucapan.

Orang kampung lebih beradab

Yang sering menjadi pertanyaan mengapa konotasi merendahkan itu menggunakan kata kampungan. Orang di kampung justru lebih memiliki tata krama dan lebih santun. Mereka lebih mengutamakan musyawarah untuk mufakat untuk mencapai kesepakatan, bukan adu mulut seperti yang dilakukan wakil rakyat itu. Mereka mengutamakan antre, tidak membuang sampah sembarangan, dan sikap-sikap terpuji lainnya yang diperlihatkan oleh orang-orang di desa.

Selain itu, orang-orang yang kini tinggal di kota, mereka yang terpelajar, menjadi pejabat, atau menjadi wakil rakyat, adalah orang-orang yang berasal dari kampung. Setiap hari raya lebaran atau liburan mereka juga pulang kampung untuk bertemu sanak saudaranya. Artinya mereka sebelumnya sangat memegang adat orang kampung yang bersahaja, saling menghormati dan bertindak dengan adab sopan santun.

Justru gara-gara mereka di kota karakternya menjadi berubah. Dengan menyebut sebagai manusia modern, merasa lebih terpelajar, paling benar bahkan melupakan adab sopan santun dalam bertindak tanduk. Watak berubah menjadi kasar, main hakim sendiri, dan seenaknya menyebut orang lain dengan kata-kata merendahkan dan tidak pantas.

Bahkan yang lebih parahnya, sikap orang-orang desa atau kampung dituding menjadi penyebab. Dicap sebagai racun, berpengaruh buruk, kasta terendah, dan semua yang berkonotasi negatif. Begitu jeleknya persepsi orang-orang ndeso ini di mata orang-orang yang merasa dirinya orang kota.

Orang-orang kota yang merasa sebagai modern dan gaul menuduh perilaku buruk yang dilakukan orang-orang di kota sebagai orang kampungan. Misalnya saja, orang yang menolak untuk antre sebagai kampungan, orang yang pura-pura tidur di kereta padahal ada lansia atau orang hamil yang berdiri di dekatnya. Atau perilaku lainnya seperti membuang sampah sembarangan, nelpon sambil teriak-teriak, parkir sembarangan, berisik di bioskop, parkir sembarangan, hingga klakson-klakson saat macet disebut sebagai orang kampungan.

Melihat fenomena ini, sepertinya kita perlu melakukan definisi ulang terhadap istilah ‘kampungan’ ini. Saat ini kampungan menjadi pembeda bagi orang yang tidak mengadopsi kebudayaan barat yang justru negatif, jauh dari kebiasaan orang-orang kampung yang lebih beradab. Kebudayaan barat yang hedon, individualis, pergaulan bebas dan lainnya tidaklah pantas untuk dijadikan sebagai standar kampungan bagi masyarakat pedesaan.

Istilah kampungan mungkin lebih cocok disematkan kepada siapapun yang tidak mau mengadopsi kebudayaan ndeso yang baik serta kebudayaan asing yang juga positif. Misalnya saja mereka yang tidak mau menerapkan perilaku orang modern yang disiplin, berkompetisi secara sehat, menguasai teknologi atau pengetahuan, rasional, ulet, dan banyak lagi sikap positif lainnya yang mulai hilang dari dalam budaya masyarakat saat ini.

Back to top button