News

Mengapa Israel Menargetkan Rumah Sakit Indonesia di Gaza?

Senin (20/11/2023), giliran Rumah Sakit (RS) Indonesia di Beit Lahia, Gaza menjadi target serangan militer Israel. Setidaknya 12 orang tewas dalam serangan terhadap fasilitas kesehatan tersebut. Mengapa Israel gencar menyerang rumah sakit termasuk RS Indonesia itu? 

Mungkin anda suka

Serangan terhadap RI Indonesia di Gaza ini sontak saja membuat Pemerintah Indonesia dan banyak negara mengutuknya. “Serangan tersebut merupakan pelanggaran nyata terhadap hukum humaniter internasional,” kata Menteri Luar Negeri Retno Marsudi berdasarkan transkrip pernyataannya yang dikirimkan Kementerian Luar Negeri RI Senin (20/11/2023).

Pihak Kemlu masih hilang kontak dengan tiga warga negara Indonesia (WNI) yang menjadi relawan di RS Indonesia. “Saya sendiri telah menghubungi UNRWA (Badan PBB untuk pengungsi Palestina) di Gaza untuk menanyakan situasi RS Indonesia dan memperoleh jawaban bahwa UNRWA juga tidak dapat melakukan kontak dengan siapa pun di RS Indonesia saat ini,” tambah Retno.

Indonesia selama ini sangat vokal mengecam aksi Israel terhadap warga Palestina. Presiden Joko Widodo bahkan sudah melobi banyak negara termasuk Presiden AS Joe Biden agar Israel menghentikan serangannya dan melakukan gencatan senjata. Selain itu, warga Indonesia juga terus membantu dengan mengirimkan donasi bagi warga Palestina serta gencar memboikot produk yang berbau-bau Israel. 

Getol Menyerang Rumah Sakit

Melihat serangan Israel terhadap rumah sakit Indonesia ini, timbul dugaan ini berkaitan dengan sikap pemerintah dan masyarakat Indonesia terhadap Palestina. Belum ada penjelasan soal kemungkinan ini, namun dalam enam minggu setelah perang di Gaza, serangan Israel terhadap rumah sakit hampir menjadi motif konflik, meskipun kamp pengungsi, sekolah dan gereja juga tidak luput dari serangan tersebut. Setidaknya 21 dari 35 rumah sakit di Gaza – termasuk pusat kanker di wilayah tersebut – tidak berfungsi sama sekali, sementara yang lainnya rusak serta kekurangan obat-obatan dan pasokan penting.

Mengutip Al Jazeera, sebanyak 31 bayi prematur dievakuasi dari Rumah Sakit al-Shifa ke Rafah di selatan Jalur Gaza pada Minggu (19/11/2023), setelah berminggu-minggu diberi susu formula dicampur dengan air terkontaminasi, tanpa inkubator yang mati karena kekurangan bahan bakar akibat pengepungan Israel di daerah kantong tersebut sejak serangan Hamas 7 Oktober. Setidaknya delapan bayi telah meninggal.

Pasukan Israel sebenarnya telah menduduki al-Shifa sejak pekan lalu setelah membombardir beberapa bagian rumah sakit. Seperti rumah sakit lainnya di Gaza, al-Shifa melindungi ribuan warga sipil yang kehilangan tempat tinggal akibat pemboman Israel, selain pasien dan petugas medis.

Sebelumnya militer Israel memperluas pendekatannya di Gaza hingga Tepi Barat yang diduduki. Kendaraan lapis baja mengepung setidaknya empat rumah sakit. Rumah Sakit Ibnu Sina, salah satu yang terbesar di Tepi Barat, diserbu. Pada awal November, pasukan Israel menangkap beberapa pasien dan petugas mereka dari sebuah rumah sakit di Yerusalem Timur.

Mengapa Israel menargetkan rumah sakit Palestina? Padahal hal ini juga bakal menimbulkan kritik signifikan dari organisasi hak asasi manusia terkemuka, yang menuduhnya melakukan kejahatan perang.

Secara resmi, Israel bersikeras bahwa mereka menargetkan fasilitas yang menampung pejuang atau infrastruktur Hamas. Israel mengklaim Hamas menggunakan al-Shifa sebagai pusat komando. Namun Hamas membantah klaim tersebut, dan beberapa hari setelah mengambil alih fasilitas tersebut, Israel tidak mampu memberikan bukti kuat untuk mendukung pernyataannya.

Alasan sebenarnya Israel menargetkan rumah sakit berbeda-beda, menurut Omar Rahman, peneliti di Dewan Urusan Global Timur Tengah yang berbasis di Doha. Ini adalah bentuk perang psikologis, katanya.

“Serangan terhadap rumah sakit menunjukkan kepada masyarakat bahwa tidak ada tempat yang aman bagi [warga Palestina],” kata Rahman kepada Al Jazeera, seraya menambahkan bahwa Israel bertindak dengan ‘impunitas total’.

Tahani Mustafa, analis senior Palestina di International Crisis Group, mengatakan tindakan yang membuat warga Palestina merasa tidak aman di setiap fasilitas di Jalur Gaza adalah untuk memadamkan segala bentuk perlawanan.

“Ini adalah bagian dari pola pelecehan yang sudah berlangsung lama terhadap staf dan layanan medis, di mana Israel menunjukkan kepada warga Palestina bahwa tidak ada seorang pun dan tidak ada ruang yang aman,” kata Mustafa kepada Al Jazeera. “Ini adalah upaya sistematis untuk mengintimidasi penduduk lokal dan melemahkan keinginan mereka untuk melawan,” tambahnya.

Sepanjang perang, Israel telah menargetkan sejumlah ambulans dan fasilitas medis di Tepi Barat dan Gaza, mengklaim bahwa pejuang Palestina menggunakannya untuk bergerak dan berlindung, tanpa memberikan bukti atas klaim tersebut, kata analis tersebut.

Lampu Hijau dari Amerika

Israel juga menargetkan bangunan-bangunan sipil seperti rumah sakit karena mereka dapat lolos dari sanksi atau tuduhan internasional terhadap serangan tersebut, kata Trita Parsi, wakil presiden eksekutif di Quincy Institute for Responsible Statecraft yang berkantor pusat di Washington. “Perhitungan Israel adalah bahwa protes internasional tidak menjadi masalah selama Amerika Serikat menolak membatasi tindakan Israel,” kata Parsi kepada Al Jazeera.

Dengan tidak adanya tekanan dari AS, ditambah dengan pemerintahan “paling ekstremis” dan sayap kanan yang pernah dimiliki Israel, Israel mengambil kesempatan untuk melakukan hal-hal yang tidak seharusnya mereka lakukan.

Namun, seiring dengan berlanjutnya perang, AS mungkin terpaksa mendesak sekutunya untuk mengurangi keganasan serangannya, seiring dengan menurunnya citra AS di seluruh dunia. “Kedudukan dan kredibilitas AS di dunia anjlok akibat memberikan lampu hijau bagi tindakan Israel semacam ini,” kata Parsi. Mungkin saja hal ini tidak akan berlanjut lebih lama lagi, karena kerugian yang ditimbulkan oleh hal ini terhadap Amerika Serikat sudah tidak dapat ditoleransi lagi. 

Back to top button