Market

Terbentur Anggaran, Menkeu Akui Banyak Muncul Kesenjangan Infrastruktur

Daya saing dan produktivitas masing-masing daerah di Indonesia sangat berbeda. Alasannya karena masih terjadi kesenjangan pembangunan infrastruktur yang belum merata. Tetapi untuk menambah proyek infrastruktur lagi, dari mana anggarannya?

Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati mengakui sejumlah tantangan sekaligus solusi dalam mengatasi isu kesenjangan pembangunan infrastruktur. Menurutnya, pemerintah harus mengatasi masalah ini karena akan menyebabkan rendahnya daya saing dan produktivitas suatu wilayah atau daerah secara nasional

Jadi, tantangan pertama berkaitan dengan sumber daya pembiayaan. Meski ketersediaannya cukup banyak, masing-masing sumber pembiayaan memiliki perbedaan dalam menilai risiko dan target imbal hasil. Karena itu, Menkeu menegaskan masalah ini menjadi salah satu poin yang harus dirumuskan untuk menangani kesenjangan infrastruktur.

Target Laba Investasi

Pemerintah Indonesia memiliki alokasi anggaran untuk infrastruktur dalam bentuk belanja dan pembiayaan atau investasi. Namun, besarannya relatif terbatas jika berdiri sendiri. Apakah ini menjadi alasan menambah utang baru?

Pemerintah Indonesia termasuk pemda, jelasnya, harus menarik lebih banyak modal pendanaan. Terlebih, tiap-tiap pemerintah daerah memiliki kapasitas fiskal yang berbeda-beda di mana hal tersebut juga memerlukan intervensi dukungan kebijakan dari pemerintah pusat.

Tantangan kedua, menurut Menkeu Sri Mulyani, terkait dengan pipeline dan juga partisipasi pihak swasta. Pipeline dimaksud yaitu termasuk persiapan struktur dari pembiayaannya.

“Jadi ini tidak hanya ‘oh, saya akan membangun rel kereta api seperti ini, jalan tol seperti ini’, tapi kita juga mempertimbangkan siapa yang akan membiayai proyek ini, dan itu bergantung pada seberapa menariknya infrastruktur ini,” kata Menkeu seperti dikutip dari laman pernyataan resmi Kemenkeu, Sabtu (26/8/2023).

Menkeu melanjutkan, ketika ada kesepakatan dengan pihak swasta, maka pertimbangan risikonya pun juga akan berbeda. Namun, swasta tentu ingin berpartisipasi, tetapi mereka juga punya target laba dari investasinya. Dengan kata lain, risiko masih menjadi tantangan utama.

“Biasanya pemerintah akan mengintervensi tidak hanya dalam belanjanya, tetapi bagaimana kita bisa menyediakan pengembangan pipeline proyek. Oleh karena itu, kita punya Project Development Facility (PDF) di Indonesia. Anda bahkan bisa menjamin sebagian risikonya sehingga proyek tersebut bisa menarik sektor swasta,” ujar Menkeu Sri Mulyani.

Dalam keterangan resmi ini Menkeu Sri Mulyani mengungkapkan risiko tersebut bisa berasal dari risiko politik, bencana alam, dan juga risiko kebijakan. Sebagai contoh, dalam sektor energi listrik atau jalan tol, kebijakan pemerintah untuk mengatur tarif bisa berpengaruh pada pendapatan.

“Yang ketiga, tentang ekosistem. Bagi Indonesia kita sangat perlu untuk mengembangkan sejumlah instrumen, baik itu pembiayaan. Sektor swasta ingin berpartisipasi tapi dalam bentuk pinjaman ke pemerintah. Jadi penerbitan green bonds, sukuk, ini adalah bentuk partisipasi pihak swasta dalam bentuk pinjaman, jadi kami meminjam dari mereka,” ungkap Sri Mulyani.

Menkeu melanjutkan, jika sektor swasta menginginkan selera risiko yang lebih tinggi yaitu dalam bentuk pembiayaan ekuitas, maka mereka memiliki ekspektasi yang juga lebih tinggi lagi untuk perolehan imbal laba dari investasinya.

“Dalam pembiayaan ekuitas ini, ini adalah kerangka kerja risiko yang harus dihadapi dan oleh karenanya instrumen terkait penjaminan dan manajemen risiko akan mengambil peranan,” jelas Sri Mulyani.

Sri Mulyani pun memaparkan upaya pemerintah untuk menggandeng sektor swasta dalam bentuk public-private partnership secara berkelanjutan dan transparan.

“Di Indonesia, kami juga membentuk Special Mission Vehicle (SMV) seperti PT SMI, IIF, penjaminan seperti PT PII, dan Indonesia Sovereign Wealth Fund. Kesemuanya dibuat untuk menyediakan keterlibatan langsung dengan sektor swasta, dengan level selera risiko dan level kerumitan yang berbeda-beda,” jelas Sri Mulyani yang hampir 20 tahun menjadi menteri ini.

Back to top button