Market

Temuan 5,3 Juta Ton Bijih Nikel Ilegal di China, KPK Tiba-tiba Berubah

Terkait temuan 5,3 juta ton bijih nikel ilegal ke China, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebutnya bukan penyelundupan. Lho, kok bisa?

Seperti disampaikan Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring KPK, Pahala Nainggolan, kedeputiannya menemukan bahwa pengiriman bijih nikel (ore) ke China itu, sebagaimana temuan Satuan Tugas (Satgas) Koordinasi dan Supervisi (Korsup) Wilayah V KPK, bukan termasuk penyelundupan.  

“Penyelundupan itu kan barang tidak boleh keluar, [lalu] dikeluarkan. Kalau ini enggak,” kata Pahala di Gedung ACLC KPK, Jakarta, Kamis (14/9/2023).

Dijelaskan bahwa proses pengiriman bijih nikel ke China itu, berasal dari perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) besi bernama PT Sebuku Iron Lateritic Ores atau SILO di Kalimantan Selatan (Kalsel).

Perusahaan yang bergerak di sektor pertambangan itu mengekspor besi ke berbagai negara, salah satunya China. Berdasarkan laporan surveyor yang didapatkan KPK, terdapat 84 kali pengiriman komoditas besi produksi SILO ke China. Pengiriman itu dilihat dari bill of lading, atau surat tanda terima barang yang telah muat dalam kapal angkut.  

Asal tahu saja, usai Satgas Korsup V Wilayah KPK mengungkap temuan 5,3 juta ton bijih nikel ilegal asal Indonesia yang diselundupkan ke China sebanyak 5,3 juta ton, Pahala meminta data bill of lading dari Bea Cukai China terkait dengan pengiriman besi itu.

Pahala menyebutkan, terdapat 84 kali pengiriman besi ke China. Namun, hanya 73 bill of lading yang diberikan oleh pihak Bea Cukai China.

Dari 73 bill of ladding, sebanyak 63 menunjukkan terdapat nikel yang “menempel” di besi dengan kadar rata-rata 0,9 persen.   “Jadi, 63 pengiriman [besi] yang ada nikelnya di atas 0,5 persen dihitung di China sebagai nikel. Dilihat orang Indonesia, berarti ada ekspor nikel, padahal nikel yang (menempel) ke besi,” terangnya.

Pahala menjelaskan perbedaan asumsi itu berangkat dari perbedaan regulasi yang diterapkan di dua negara.

Di Indonesia, lanjutnya, eksportir hanya bisa memperoleh royalti terhadap komoditas yang didaftarkan sebagaimana IUP yang dimiliki.

Dalam kasus PT SILO, perusahaan itu hanya memiliki IUP untuk komoditas besi. Oleh karena itu, surveyor pun hanya akan mencatat komoditas yang bakal diekspor sesuai dengan IUP dari pihak eksportir.  

Sementara itu, otoritas di China menganggap bahwa nikel dengan kadar 0,5 persen, kendati menempel dengan komoditas/mineral lain, dihitung sebagai nikel dengan HS code yang sama.

“Menurut Indonesia, kalau IUP-nya [perusahaan eksportir] besi, ya hitung besi saja. Sampai di China, lain lagi, kalau kadar nikel 0,5 persen ke atas itu kodenya [HS code] 26040000, nikel dia,” jelas Pahala.  

Kerugian Negara Turun Rp14 Miliar

Selain menyebut bukan penyelundupan, KPK juga meralat besarnya kerugian negara dari praktik haram ini. Awalnya disebut-sebut kerugian negara mencapai Rp14,5 triliun, sekarang anjlok menjadi hanya Rp14 miliar. Angka ini atanya berdasarkan 63 bill of lading yang didapatkan.

“Kenyataannya, dari 63 bill of lading ini ada yang kadar nikelnya 0,5 persen, 0,7 persen, dan 1,2 persen, tetapi rata-ratanya 0,9 persen. Lalu, ruginya Indonesia apa? Kalau 0,9 persen kita hitung dari 63 pengiriman, ini kita cuma berpotensi kehilangan Rp41 miliar. Jadi tidak ada triliunan, Rp14 triliun yang disebut enggak ada tuh,” terang Pahala.

Namun demikian, dia menegaskan bahwa adanya nikel dalam 63 bill of lading ekspor besi ke China itu tak bisa dikenakan royalti.

Untuk itu, KPK langsung merekomendasikan perbaikan regulasi agar mineral utama yang diekspor dan “yang menempel dengannya” bisa sama-sama dikenakan royalti, walaupun dalam kadar yang rendah.  

Berkaca pada kasus ini, Pahala menerangkan bahwa adanya nikel dalam 63 bill of lading ekspor besi ke China itu tak bisa dikenakan royalti.

Konsekuensinya, PT SILO pun tidak mendapatkan royalti dari ore nikel tersebut.  “Kita cepat-cepat tulis rekomendasi perbaikan. Yang ideal, apabila kirim besi ada [kadar] nikelnya, kenakan [royalti] saja dua-duanya. Iya dong. Baru untung,” tutup Pahala.

Adapun temuan ekspor 5,3 juta ore nikel ke China itu diduga terjadi selama Januari 2020 hingga Juni 2022.

Padahal, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebelumnya memberlakukan pelarangan ekspor nikel sejak 1 Januari 2020 melalui Peraturan Menteri ESDM No.11/2019.

Pelarangan eskpor demi penghiliran dalam negeri itu bahkan menuai gugatan dari Uni Eropa.  

Namun demikian, KPK melalui Satgas Korsup Wilayah V justru mengendus dugaan tersebut melalui data Bea Cukai China yang dikaji oleh lembaga antirasuah tersebut. Dari data kajian, ekspor ilegal ke China itu mencapai 5,3 juta ton ore nikel.

Back to top button