Kanal

Di Beranda Masjid Nabi

Pagi itu, Ahad, 4 Juni 2023, udara Madinah cukup hangat. Tidak panas, tetapi juga tidak dingin. Kelembapannya terasa bersahabat untuk orang dari iklim tropis seperti saya. Saya dan rombongan kloter JKS 25 mendarat di Bandara Prince Muhammad bin Abdulaziz pukul 08.30.

Keluar dari terminal bandara, serombongan petugas haji bandara Madinah sigap menyambut. Beberapa di antara mereka memburu jamaah lansia sambil menawarkan kursi roda. Kementerian Agama Republik Indonesia memang mendeklarasikan Haji 2023 sebagai Haji Ramah Lansia. Hampir 70% jemaah yang berangkat tahun ini berusia 65 tahun ke atas.

Dalam tulisan kali ini, saya tak akan membahas soal Haji Ramah Lansia. Saya ingin fokus dulu kepada Madinah al-Munawwarah. Kotanya Nabi Muhammad SAW. Kota suci pertama yang didatangi seluruh jemaah haji Indonesia gelombang pertama. Kami melakukan haji ‘tamattu’ dengan melaksanakan umrah terlebih dahulu. Miqat akan diambil di ‘bir ali’, sebagaimana contoh Nabi Muhammad SAW saat bertolak haji dari Madinah dulu.

Setelah urusan di bandara selesai, kami diarahkan untuk naik bus yang sudah disiapkan Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Madinah. Bus-bus yang kami tumpangi itu akan menuju hotel tempat kami akan menginap 8 hari di kota ini. Sebagian jemaah sudah tak sabar tiba di hotel untuk istirahat sejenak dan segera berkemas menuju Masjid Nabawi.

351106467 184017934293937 3084953283067509756 N - inilah.com

“Pengen tahu Masjidnya Nabi,” kata salah seorang jemaah. Polos. Padahal seandainya ia tahu makna Masjid Nabawi, arti kota yang dicintai Rasulullah, yang bahkan saat beliau pulang dari manapun sudah bergembira hanya dengan melihat gerbangnya saja—lalu mempercepat kudanya. ‘Anda semua adalah tamu-tamu Rasulullah. Selamat datang di tanah yang begitu dicintai baginda Nabi. Karena ada orang-orang yang dicintai Nabi di sini.’ Gumam saya dalam hati.

“Ayo kita shalawat! Kita memasuki kota Madinah.” Ajak saya. Hanya itu yang bisa saya sampaikan. Lagipula ini bukan waktunya berdiskusi. Alhamdulillah semua jemaah antusias menyambut ajakan itu, meski sebenarnya mereka lelah setelah belasan jam di perjalanan. Sontak ‘thala’al badru ‘alaina’ menggema di antara kami. Mengambangkan rindu dan cinta di udara, menghadirkan rasa yang luar biasa.

Tiba-tiba mata saya berair. Membayangkan gunung-gunung yang 14 abad lalu telah menjadi saksi manusia paling mulia pernah hidup di kota ini. Terlempar ke masa Nabi, tergambar bagaimana suasana warga kota ini saat menjemput Al-Mushthafa yang datang dari Makkah. Bagaimana Nabi bercengkrama dengan keluarga dan sahabatnya, dengan warga Madinah dari kaum Muhajirin dan Anshar. “Khuluquhu Alquran.” Akhlaknya adalah Alquran. Dialah baginda Muhammad, manusia paling mulia, kekasih Allah yang paling utama.

352224663 220196364156647 4099884510445430626 N - inilah.com

Di kejauhan, minaret-minaret Masjid Nabi sudah terlihat. Perasaan haru tiba-tiba menyeruak. Baru menaranya saja yang tampak, mengapa hati ini tak bisa menahan rindu? Bus kemudian memasuki terowongan kota, keluar di belantara hotel-hotel yang menjulang tinggi. Beberapa saat kemudian, kami tiba di tujuan.

“Masjid Nabawi tepat di belakang bangunan ini,” ujar petugas sektor yang menyambut kami. Tangannya menunjuk ke depan dan kemudian meliuk ke kanan, “Tinggal belok dan jalan lurus di lorong itu. Sudah masjid Nabawi,” lanjutnya. Hati tiba-tiba tak sabar ingin segala urusan koper dan kamar selesai.

Setelah memastikan semua urusan jamaah selesai, kamar sudah terbagi, koper sudah diturunkan, dan makan siang telah siap, saya bergegas menyempatkan diri menuju Masjid Nabawi untuk ‘melapor’ kepada Tuan Rumah kota ini. Ini bukan laporan gaya ‘kantoran’. Tetapi laporan rindu. “Rindu kami padaMu ya Rasul, rindu tiada terperi. Berabad jarak darimu ya Rasul, serasa dikau di sini.” Bait-bait lagu Bimbo rasanya berbeda pagi itu.

Di beranda Masjid Nabi, saya bersimpuh. Segala hal tentang diri tiba-tiba runtuh di hadapan manusia paripurna. ‘Innallaha wa malaaikatu yushalluna ‘alan-nabiy’. Bahkan Allah dan para malaikatpun bershalawat atas Nabi. Betapa bebal dan bodoh diri ini yang kerap lupa dan alpa kepada Baginda. Betapa kikir bibir ini bershalawat kepada Engkau. “Terima kasih masih berkenan menerima, terima kasih telah diperkenankan memasuki kota dan masjidMu, ya maulana.”

Kubah hijau, makam nabi, raudhah, hujratus-sharifah, jendela Aisyah, bab-jibril, jannatul baqi, segala tentang tempat ini indah belaka karena semua tentang Muhammad yang mulia. Shaf-shaf jamaah yang rapat, rindu dan ratap doa-doa, air mata yang tiba-tiba mengucur saat membaca nama Nabi dan para sahabat di tiang-tiangnya, burung-burung bercuit riang di atap masjid, menambah kesyahduan tempat ini. Betapa beruntung manusia yang pernah datang. Seandainya mereka tahu.

Menjelang Maghrib, Madinah yang semula terik, kemudian menjadi mendung. Hari pertama di Madinah, rindu dan bahagia bertalu-talu. Shalatullah salamullah, ‘ala thaha rasulillah. Shalatullah salamullah, ‘ala Yasin habibilllah. Wa kulli mujahidilillah bi ahlil badri ya Allah.

Bangun, bangunlah kekasih, berapa lama engkau tertidur? Tidur diharamkan bagi para pecinta!

Madinah, 13 Dzulqa’dah 1444H

FAHD PAHDEPIE

Back to top button