Market

6 Hari Pasca Kenaikan Suku Bunga Gagal Perkuat Rupiah, Kinerja Perry Cs Mulai Dipertanyakan


Enam hari pasca Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan (BI-7 Day Reserve Repo rate/BI-7DRRR), gagal menjadi ‘obat kuat’ bagi nilai tukar (kurs) rupiah.

Pertanda, kebijakan bank sentral yang dipimpin Perry Warjiyo gagal memperkuat dolar yang dampaknya cukup berat bagi perekonomian nasional.

Dikutip dari sebuah wawancana dengan TV Online, Jakarta, Selasa (30/4/2024), ekonom senior Faisal Basri menyayangkan kebijakan BI mengerek suku bunga acuan yang angkanya ‘nanggung’.

Menurut Faisal, suku bunga acuan sebesar 6,25 persen itu, masih belum menarik di mata para pemilik kapital atau investor.  Sehingga jangan kaget jika arus modal asing minggat dari Indonesia atau capital outflow dalam jumlah besar, tidak bisa dicegah.

“Saya kira, dosisnya yang kurang. Kalau kita lihat, sejak awal tahun ini, cadangan devisa sudah berkurang 6 miliar dolar AS. Selain itu, nilai ekspor kita anjlok sekitar 7 persen. Tak seimbang dengan impor yang hanya turun 1 persen,” papar Faisal.

Saat ini, kata dia, investor asing lebih tertarik untuk membelanjakan duitnya ke mata uang dolar AS, dan surat berharga AS atau US Treasury tenor 10 tahun. Ada banyak alasan menyangkut tren mereka. “Karena kekhawatiran para investor cukup tinggi, terutama menyangkut memanasnya Timur Tengah serta kebijakan suku bunga tinggi di AS,” terang Faisal.

Asal tahu saja, penutupan pasar spot pada Selasa (30/4/2024), nilai tukar rupiah semakin tersungkur ke level Rp16.259 per dolar AS. Jika dibandingkan kemarin (Senin, 29/4/2024), rupiah turun tipis 0,02 persen, atau senilai Rp16.255 per dolar AS.

Namun jika dibandingkan dengan posisi akhir Maret 2024, rupiah mengalami terjun bebas 2,53 persen. Kala itu kurs rupiah berada di angka Rp15.857 per dolar AS.

Masih kata Faisal, mahalnya dolar AS, berdampak kepada kenaikan harga barang atau inflasi. Kondisi ini jelas memicu anjloknya konsumsi alias daya beli masyarakat.

“Ini lebih membahayakan ekonomi (pertumbuhan), mengingat 54 persen Produk Domestik Bruto (PDB) masih tergantung konsumsi,” tegasnya.

Ekonom UPN Veteran Jakarta, Ahmad Nur Hidayat mengatakan, pelemahan mata uang rupiah berdampak kepada 3 hal. Yakni, membengkaknya utang luar negeri, defisit transaksi berjalan serta ketidakseimbangan neraca perdagangan yang persisten.

Ketiga faktor itu dinilai sebagai faktor fundamental yang menyebabkan nilai tukar rupiah bertengger lebih dari Rp16.200 per dolar AS. “Bukan tidak mungkin, rupiah terus melemah hingga akhir tahun ini, mencapai Rp16.900 per dolar AS,” ungkapnya. 

Dia mengatakan, ketidakseriusan pemerintah menyelesaikan pelemahan rupiah, mencerminkan kegagalan dalam mengatasi masalah ekonomi yang lebih kompleks. Fokus yang sempit pada perbandingan nilai tukar, dapat mengaburkan gambaran yang lebih besar, terutama masalah seperti ketergantungan yang tinggi terhadap utang luar negeri.

“Padahal utang ini membebani anggaran negara dengan pembayaran bunga yang besar, membatasi kemampuan pemerintah untuk berinvestasi dalam pembangunan ekonomi domestik,” jelas Matnur, sapaan akrabnya.

 

 

Back to top button